Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (1)
![]() |
kredit gambar: Matius Mardani. |
Bab 1
Dari Fujian Kwee Seng Ong Datang
Kwee Seng Ong[1] berdiri di pinggir laut yang bergemuruh.
Sorot matanya tajam. Namun, ia menatap kosong ke arah horizon yang gelap. Seakan-akan dunia ini terhenti sejenak.
Agin malam yang kencang menggigit kulitnya, membawa bisikan dari alam yang tak terlihat, seakan ingin menyampaikan pesan dari waktu yang terlewat. Hatinya diliputi kebimbangan, sepotong kalbunya terguncang oleh suara yang tak tampak, namun begitu nyata dalam kedalaman jiwanya.
Sinar bulan, yang tadinya terang benderang, kini menghilang dalam balutan selubung awan kelam. Laut hitam yang luas memantulkan gemuruh yang menghantam seakan ingin menghapus segala ingatan.
Keheningan malam terasa sepi, namun dalam diam itu ada suara yang mengintai, mengusik ketenangannya. Suara yang datang dari jauh, namun begitu dekat, seperti napas seorang dewa yang sedang menatapnya.
Perkampungan Fujian[2] yang terlihat begitu kecil dari kejauhan, tampak rapuh, seolah tidak ada yang tahu, kecuali dirinya, rahasia yang terkubur di dalamnya.
Angin berbisik lebih keras, mengitari tubuhnya seperti roh yang tak terlihat. Kwee merasakan ada sesuatu yang memanggil, sebuah panggilan yang datang dari kedalaman bumi dan langit, memecah kesunyian malam, membangkitkan gejolak yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Tiba-tiba, seorang guru tua muncul di hadapannya. Matanya penuh rahasia, seakan menahan kekuatan yang begitu besar. Embusan angin mengelilinginya, seolah alam sendiri memberikan restu.
Guru itu mengenakan pakaian longgar, langkahnya seirama dengan dentuman jantung Kwee yang semakin keras.
"Kwee Seng Ong," suara guru itu berbicara pelan namun terdengar jelas di telinga Kwee, "Kehidupan bukan hanya tentang tempat yang kau tuju. Tetapi lebih-lebih mengenai harmoni semesta yang lebih besar, tentang menemukan keseimbangan di tengah kekacauan."
Kwee merasa tubuhnya bergetar. Kata-kata itu seolah mengoyak segala ketenangannya, membuka ruang yang selama ini tersembunyi dalam dirinya. Sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, sesuatu yang lebih gelap dan lebih terang, bersembunyi dalam setiap detak jantungnya. Guru itu menatap Kwee dengan tatapan yang mengandung kebijaksanaan yang tak dapat untuk dilukiskan dengan kata-kata.
“Keberanian bukan hanya tentang melawan,” kata guru itu, “Keberanian adalah tentang mendengar, memahami, dan menerima kenyataan yang tak tampak. Semua yang kau lihat adalah bayangan. Untuk menemukan kebenaran, kau harus menembus gelapnya dunia ini.”
Kwee hanya bisa mengangguk, namun hatinya semakin gelisah. Ada panggilan yang lebih besar dari dunia ini, lebih kuat dari segala yang dapat dipahami oleh akalnya. “Aku akan melangkah lebih jauh,” pikirnya, “Aku tak akan terhenti.”
Maka atas restu ibunya, Kwee berlayar. Kapalnya menghantam ombak yang ganas, memecah keheningan malam yang mencekam. Langit begitu gelap, seolah semua bintang menghilang. Lautan seolah menginginkan sesuatu darinya, sebuah pengorbanan yang belum ia pahami sepenuhnya. Keheningan dihancurkan oleh suara ombak yang melolong, mengingatkan pada kekuatan alam yang tak terjangkau oleh manusia.
Tiba-tiba, kegelapan malam pecah dengan datangnya sekelompok bajak laut. Keheningan terhancur seketika, digantikan oleh teriakan dan benturan pedang. Kwee berdiri tegak, tubuhnya tenang seperti batu yang tercelup dalam air tenang, menghadapi kekacauan yang melanda sekitarnya. Bajak laut mengelilinginya, pedang mereka berkilat dalam cahaya yang hampir redup.
“Serahkan harta atau mati!” teriak pemimpin bajak laut dengan suara menggelegar.
Kwee menatapnya dengan tatapan yang tajam, seakan menembus segala kekerasan dunia.
“Apa yang kau cari?” tanyanya, suaranya tenang, namun mengandung kekuatan yang tak tampak.
Bajak laut itu terdiam sejenak, bingung. “Apa maksudmu?” tanyana. Pancaran sinar matanya dipenuhi kebingungan dan amarah.
Kwee menatapnya lebih dalam, seolah bisa melihat ke dalam jiwa mereka. “Harta hanya sementara,” katanya dengan suara penuh kebijaksanaan.
“Apa kau ingin abadi? Harta yang kau kejar
tak kan membawamu ke mana-mana.”
Pemimpin bajak laut tertegun. Pedangnya mulai gemetar, seakan terjebak dalam dilema yang tak terungkapkan. “Kau bicara bodoh,” katanya dengan suara marah, namun ada sedikit keraguan yang terlihat di matanya.
Kwee tersenyum, namun senyumnya tak mengandung kebahagiaan. “Kau punya pilihan,” katanya dengan lembut, namun ada kekuatan yang tak bisa dipungkiri dalam kata-katanya.
Serangan bajak laut terus datang bertubi-tubi, namun Kwee menghindar dengan kelincahan yang luar biasa, setiap serangan yang datang hanya menyentuh udara kosong. Ia bergerak seperti angin yang tak terjangkau, seperti bayangan yang tak tampak. Setiap gerakan membawa ketenangan yang mengalir dalam aliran darahnya.
“Pikirkan hidupmu,” kata Kwee dengan suara yang dalam dan penuh makna, “Kesengsaraan menunggu mereka yang tak mampu melihat kebenaran.”
Pemimpin bajak laut itu terhenti, ragu. Pedangnya terkulai lemas di tangannya, hampir jatuh. “Apa yang harus kulakukan?” tanyanya. Matanya kini penuh kebingungan dan ketakutan.
Kwee melangkah maju, mendekatinya dengan tenang. “Mulailah dengan dirimu,” katanya dengan suara yang seperti keluar dari kedalaman bumi, penuh dengan kebijaksanaan yang seakan menembus segala kegelapan.
Bajak laut itu terdiam. Seakan-akan waktu berhenti, dan akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti abad, pemimpin itu menjatuhkan pedangnya.
“Kami menyerah,” katanya. Suaranya lemah, namun ada perubahan dalam dirinya, seperti sebuah pintu yang terbuka menuju kebenaran yang baru ditemukan.
Kwee tersenyum, namun tidak ada kebahagiaan dalam senyumnya. “Mulailah dengan kebaikan,” katanya, memberi mereka harapan yang tak terungkapkan.
Setelah berkata demikian, Kwee
dipersilakan meneruskan pengembaraanya mengarungi samudera yang ganas.
(Bersambung)
Catatan kaki:
[1] Karena indah, bagus, sekaligus pas memerankan
kisahan dalam novel ini, Kwee Seng Ong dipilih sebagai tokoh protagonis migran dari Fujian ke
Nusantara dan selanjutnya ke Varuna-dvipa (Borneo/ Kalimantan). Namun, silakan
pembaca menjelajah dunia maya, lewah Mbah Google, atau Chat-pintar, siapa tahun
bertemu informasi bagus dan menarik terkait dengan nama ini. Intinya adalah
bahwa dalam teori novel, ada yang namanya “plausibility”, yakni nama pemeran
setting, serta peristiwa mesti berkesuaian. Itulah” logika cerita.
[2] Fujian adalah provinsi di tenggara
Tiongkok yang terkenal dengan pegunungan dan kota-kota pesisirnya. Di Xiamen,
sebuah kota pelabuhan dan bekas konsesi asing, pulau Gulangyu memiliki
jalan-jalan yang hanya dapat dilalui pejalan kaki dan vila-vila kolonial abad
ke-19. Fuzhou, ibu kota provinsi, merupakan pusat transportasi untuk
tujuan-tujuan seperti kota Quanzhou. Pernah dikunjungi oleh Marco Polo, kota
ini menawarkan kuil-kuil, kawasan kota tua, dan Museum Maritim.