Duri Cinta Kebun Sawit (11) | Magdalena Melahirkan Embun
Beberapa minggu setelah hilangnya Eric.
Hutan menjadi lebih tenang. Tapi juga lebih... hidup.
Orang-orang kampung mulai mendengar suara gemerisik yang tidak biasa. Kadang seperti ranting patah, kadang seperti tawa perempuan yang ditahan di tenggorokan.
Dan di antara pohon-pohon tua itu, sebatang batang pohon kapur berdiri lebih tinggi dari biasanya. Permukaannya basah, mengilap, dan berdenyut pelan. Seperti dada perempuan yang habis disentuh.
Magdalena mulai sering menghilang. Bukan ke hotel, bukan ke kota, tapi ke hutan.
Hanya Janting yang tahu, dan dia tidak cemburu. Karena setiap kali Magdalena kembali, bau tubuhnya berubah. Bukan minyak wangi. Bukan keringat. Tapi bau akar, tanah basah, dan mani roh.
Suatu malam, Janting yang sedikit diselimuti rasa penasaran mengikutinya diam-diam. Ia melihat Magdalena telanjang di tengah hutan, bersandar pada batang pohon yang basah itu. Tapi tubuhnya tidak pasif.
Dia mendesah. Meliuk. Menggeliat.
Batang pohon itu membungkus tubuhnya perlahan. Dahan-dahannya menelusuri kulitnya. Mengusap. Menyentuh. Menyatu.
Janting terpaku. Bukan karena takut. Tapi karena terangsang dan terharu sekaligus.
Itu bukan tubuh kekasihnya. Itu altar persembahan.
Dan malam itu, di bawah sinar bulan purnama yang menggantung seperti buah dada langit, pohon itu mengguncang tubuh Magdalena.
Menyemai benih.
Tiga minggu kemudian.
Perut Magdalena mulai membesar. Tapi bukan seperti hamil biasa.
Bentuknya bulat, keras, dan... berurat. Kadang berdenyut sendiri. Kadang berbisik.
Saat para dukun kampung memeriksanya, mereka tidak menemukan janin. Tapi mereka mencium bau yang sama seperti saat roh penjaga bangkit dulu: bau Eric.
“Dia hamil bukan dari laki-laki,” kata salah satu dukun.
“Dia hamil dari kehendak hutan. Anak ini bukan manusia. Tapi juga bukan iblis. Dia... penyambung.”
Sementara itu, korporasi tempat Eric bekerja mengirim tim pencari.
Mereka menyusuri hutan dengan drone, senjata, dan teknologi mutakhir.
Namun satu per satu, mereka hilang.
Beberapa ditemukan tergantung di pohon dalam posisi ganjil: seperti orgasme yang tak selesai.
Mulut terbuka. Mata putih. Celana robek di bagian depan.
Seorang teknisi bahkan ditemukan dengan testisnya mengering seperti biji kopi, dengan senyuman aneh di wajahnya.
Dan di tengah semua kekacauan itu, Magdalena melahirkan.
Tanpa suara. Tanpa darah. Hanya embun. Dan desir daun.
Anak itu lahir dengan mata biru seperti Eric. Tapi kulitnya hijau lumut, dan tubuhnya hangat seperti batang kayu muda. Bayi itu lahir ke dunia tidak menangis. Ia mengerang pelan, lalu... tertawa.
Magdalena menggendongnya.
Janting berdiri di samping, tak berkata-kata. Tapi tangannya menggenggam erat pasak tua yang pernah ia tancapkan sendiri di bawah tempat tidur mereka.
Pasak itu kini bersinar lembut.
Karena ia tahu: anak ini akan melanjutkan perang.
Perang bukan dengan senjata. Tapi dengan tubuh, gairah, dan akar yang menyusup ke dalam kapitalisme.
Erotik?
Ya.
Karena bumi tidak pernah menolak sentuhan. Ia hanya menunggu tubuh-tubuh yang bisa merasakan denyutnya.
Dan saat Janting mencapai puncaknya, ia merintih—bukan karena klimaks, tapi karena merasa... akhirnya diterima oleh alam.
Tubuhnya luruh di atas Magdalena. Tapi mereka tidak terlelap.
Mereka hanya diam.
Mendengarkan bagaimana akar-akar baru mulai tumbuh di sekitar mereka.
Akar yang tumbuh dari tubuh. Dari gairah. Dari cinta.
Dari perang yang kini dimenangkan dengan pelukan dan desahan.
Pagi menjelang.
Kabut belum habis.
Magdalena berdiri di tepi sungai kecil, telanjang. Tubuhnya gemetar bukan karena dingin, tapi karena sesuatu di dalam dirinya masih terus berdenyut. Ia membuka pahanya, merasakan sesuatu menetes perlahan dari liang hidupnya.
Bukan darah. Bukan air mani. Tapi cairan bening kehijauan yang harum dan hangat, seperti getah pohon yang baru disayat. Ia tahu, tubuhnya sedang menanam sesuatu.
Janting memandang dari kejauhan, lalu menunduk dan mencium tanah yang telah mereka tiduri semalam. Bau tubuh Magdalena masih melekat di situ. Dan dalam ciuman itu, ia merasa bumi tak lagi dingin. Ada kehangatan, ada kehidupan. Ia tak hanya mencium tanah—ia mencium rahim bumi.
Sementara itu, anak mereka tidur dalam keranjang rotan, tersenyum dengan mata setengah terpejam. Di ujung lidahnya yang kecil, ada tunas hijau yang tumbuh seperti lidah daun pertama musim hujan.
Hari itu, pohon-pohon mulai berbunga lebih awal.
Hutan tidak lagi diam. Ia mengerang pelan. Meliuk.
Mengeluarkan aroma yang membangkitkan.
Seperti perempuan yang sedang jatuh cinta, dan tahu: tubuhnya bukan dosa. Tapi doa.
Dan bagi siapa pun yang masuk hutan mulai hari itu, harus siap:
Siap disentuh.
Siap disetubuhi.
Siap menjadi bagian dari semesta yang... tidak lagi malu untuk menggoda.
Karena sejak tubuh perempuan bersatu dengan batang pohon dan lelaki bersatu dengan akar,
hutan tidak lagi butuh penjaga.
Ia telah menciptakan sendiri gairahnya.
Ia telah menjadi tubuh yang hidup.
Dan setiap desah angin di antara dedaunan kini mengucapkan satu kalimat yang membuat lutut lelaki goyah:
"Masuklah, tanpa senjata. Hanya tubuhmu... yang kubutuhkan."
Roman simbolik: Masri Sareb Putra
(Berambung)