Krisis Energi Global dan Dampaknya terhadap Industri Batubara di Indonesia: Perspektif Borneo
Batubara dari perut bumi Borneo diangkut keluar. Dokpri. |
Peneliti: Rangkaya Bada
Institusi: Dayak Research Center
Lokasi Penelitian: Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur
Periode Penelitian: Januari–Mei 2025
I. PENDAHULUAN
Perkembangan geopolitik global seringkali memberikan dampak langsung terhadap sektor energi, termasuk batubara, yang hingga kini masih menjadi tulang punggung pasokan energi dunia. Salah satu peristiwa penting yang memicu krisis energi global terbaru adalah konflik bersenjata antara Israel dan Iran yang meletus pada akhir 2023. Konflik ini mengguncang pasar energi internasional, termasuk Indonesia sebagai eksportir batubara terbesar di dunia.
Kalimantan, khususnya Borneo bagian timur dan selatan, merupakan salah satu lumbung batubara utama di Indonesia. Aktivitas pertambangan di wilayah ini telah menjadi pilar ekonomi nasional, namun sekaligus menyisakan persoalan lingkungan dan sosial yang kompleks. Oleh karena itu, laporan ini hendak menjawab dua pertanyaan utama:
-
Bagaimana dinamika krisis energi global, khususnya yang dipicu oleh perang Israel-Iran, memengaruhi industri batubara Indonesia?
-
Apa respons strategis Indonesia dalam menghadapi krisis ini, dan bagaimana prospeknya ke depan, terutama dari perspektif lokal Borneo?
II. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan metode studi literatur, observasi lapangan di daerah pertambangan (Kutai Timur, Berau, dan Paser), serta wawancara mendalam dengan pelaku industri, pemerintah daerah, dan masyarakat adat Dayak terdampak.
Sumber data utama meliputi:
-
Publikasi dan data Kementerian ESDM Republik Indonesia
-
Data Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI)
-
Informasi pasar global dari World Energy Outlook
-
Dokumentasi lapangan dan wawancara kualitatif
III. KONDISI GLOBAL: KONFLIK DAN GEJOLAK PASAR ENERGI
Perang Israel-Iran yang berkepanjangan telah menyebabkan ketidakstabilan kawasan Timur Tengah, pusat pasokan minyak dunia. Meski batubara tidak secara langsung berasal dari wilayah tersebut, efek domino dari ketidakpastian geopolitik menyebabkan perubahan drastis dalam pola konsumsi dan harga komoditas energi global.
Berdasarkan data IEA (International Energy Agency), permintaan batubara global pada 2020 mengalami penurunan sebesar 8%—terbesar sejak Perang Dunia II. Fenomena ini juga berdampak pada pasar Asia, termasuk Tiongkok yang selama ini merupakan konsumen utama batubara Indonesia.
Penurunan konsumsi ini bukan semata disebabkan oleh konflik, melainkan juga oleh pergeseran strategis banyak negara ke arah energi terbarukan. Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, misalnya, mempercepat investasi di sektor energi surya dan angin, menjadikan batubara sebagai sumber daya yang mulai ditinggalkan.
IV. KONDISI NASIONAL: PRODUKSI MENURUN, STRATEGI DISEMPURNAKAN
Indonesia sebagai negara penghasil batubara terbesar di dunia (mengalahkan Australia dan Rusia) harus menghadapi kenyataan pahit: pasar ekspor utama seperti Tiongkok, India, dan Jepang mulai mengurangi pembelian. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mencatat bahwa pada tahun 2020 produksi batubara Indonesia turun 11%, dari 616 juta metrik ton menjadi 530 juta metrik ton. Pemerintah bahkan merespons dengan pemangkasan produksi tambahan hingga 480 juta ton untuk menstabilkan harga.
Harga Batubara Acuan (HBA) nasional anjlok ke titik terendah dalam empat tahun, yaitu US$52,98 per ton pada Juni 2020. Situasi ini diperparah oleh meningkatnya biaya produksi, menurunnya cadangan di beberapa tambang tua, serta kesulitan logistik akibat pandemi dan konflik global.
Sebagai respons, perusahaan-perusahaan raksasa seperti Bumi Resources, Adaro Energy, Arutmin, dan Kaltim Prima Coal menyepakati pemangkasan output. Hal ini bertujuan agar harga di pasar global kembali naik dengan prinsip pengendalian suplai.
V. BORNEO: SUMBER DAYA, KORBAN, DAN DILEMA
Borneo, khususnya Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, menyimpan cadangan batubara terbesar di Indonesia. Namun ironisnya, daerah ini sekaligus menjadi wilayah dengan tingkat kerusakan ekologis yang sangat mengkhawatirkan akibat pertambangan. Ribuan hektar hutan tropis yang menjadi rumah bagi biodiversitas dan komunitas adat Dayak terus dibabat demi ekspor energi murah.
Dari hasil observasi dan wawancara di Berau dan Kutai Kartanegara, ditemukan bahwa:
-
Lahan-lahan adat yang digunakan sebagai kebun dan hutan keramat kini berubah menjadi lubang tambang.
-
Air sungai yang dulunya bersih kini tercemar limbah tambang, merusak mata pencaharian masyarakat lokal.
-
Kompensasi dari perusahaan tambang sering tidak adil, bahkan banyak yang tidak transparan.
Seorang tokoh adat di Kutai Barat berkata:
"Kami bukan menolak pembangunan, tapi kami ingin tetap punya hutan, tanah, dan air bersih. Kami ingin anak cucu kami masih bisa hidup dari bumi ini tanpa harus pindah ke kota sebagai buruh kasar."
Krisis global semestinya menjadi momentum bagi pemerintah dan perusahaan untuk memikirkan ulang model ekstraksi sumber daya. Pendekatan yang mengabaikan keberlanjutan hanya akan memperparah krisis lingkungan dan ketimpangan sosial di masa depan.
VI. ANALISIS: DI PERSIMPANGAN KEBIJAKAN DAN TANGGUNG JAWAB
Krisis energi kali ini membuka mata bahwa meski batubara masih menjadi penyumbang utama energi global (30% pasokan energi dunia dan 40% pembangkit listrik), masa depannya makin tergerus. Tidak hanya karena isu harga dan permintaan, tetapi juga karena meningkatnya tekanan untuk menekan emisi karbon.
Dalam konteks Indonesia, terdapat dua arus besar yang harus diseimbangkan:
-
Kepentingan Ekonomi Nasional
Industri batubara menyumbang lebih dari Rp100 triliun per tahun bagi APBN. Ribuan tenaga kerja terlibat di sektor ini, mulai dari pekerja tambang, transportasi, hingga pelabuhan ekspor. -
Tanggung Jawab Ekologis dan Sosial
Eksploitasi batubara yang tidak terkendali menyebabkan kerusakan permanen. Perlu mekanisme transisi energi yang adil (just energy transition), khususnya bagi masyarakat adat dan lokal.
Pemerintah telah mencanangkan program energi bersih dan energi campuran (energy mix) dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dengan target pengurangan penggunaan batubara hingga 2050. Namun dalam praktiknya, ketergantungan terhadap batubara masih sangat besar.
VII. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan hasil temuan di lapangan dan analisis data, berikut beberapa rekomendasi yang disampaikan:
-
Diversifikasi Energi Nasional
Pemerintah perlu mempercepat investasi di sektor energi surya, panas bumi, dan biomassa. Khusus di Borneo, potensi PLTA dan energi matahari sangat besar namun belum digarap serius. -
Moratorium Tambang Baru
Penerbitan izin tambang baru di kawasan hutan primer dan wilayah adat harus dihentikan sementara untuk audit menyeluruh terhadap izin-izin lama. -
Skema Transisi Energi untuk Komunitas Adat
Perlu ada program pelatihan dan insentif ekonomi bagi komunitas lokal agar tidak hanya bergantung pada kompensasi tambang. Misalnya melalui agroforestri, wisata berbasis budaya, dan pengolahan energi lokal berbasis biomassa. -
Perbaikan Tata Kelola Ekstraksi
Transparansi dalam hal royalti, dana CSR, dan jaminan reklamasi tambang harus ditingkatkan. Pemerintah daerah harus diberi kewenangan lebih besar dalam pengawasan dan evaluasi tambang.
VIII. KESIMPULAN
Krisis energi global yang dipicu oleh konflik Israel-Iran telah membawa dampak sistemik terhadap pasar batubara, termasuk Indonesia sebagai pengekspor utama. Penurunan permintaan dan harga batubara menekan industri, tetapi sekaligus membuka peluang refleksi mendalam tentang arah pembangunan energi nasional.
Borneo, sebagai jantung sumber daya batubara, telah terlalu lama menanggung beban ekologis dari kemakmuran yang tak merata. Sudah waktunya pendekatan pembangunan yang lebih berkelanjutan, adil, dan menghargai kearifan lokal diimplementasikan secara konkret.
Jika Indonesia gagal bertransisi dari energi fosil secara terencana, bukan hanya ekonomi yang terancam—melainkan juga masa depan generasi di tanah Borneo yang sakral dan kaya ini.
Dokumentasi Lapangan:
-
Foto: Batubara dari perut bumi Borneo diangkut keluar. Dokpri.
-
Peta tambang aktif dan konsesi batubara di Kalimantan (2020–2024).
Penulis: Rangkaya Bada
Diterbitkan oleh: DAYAK TODAY | Pontianak
Tanggal: Juli 2025