Manusia dan Buku yang Mengubah Hidup

Burke Hedges, buku, pertemuan, membaca, manusia, mengubah hidup, Derrida, Socrates, tacit knowlewdge, Read & Grow Rich, Burke Hedges, Apai Janggut,

 

Manusia dan Buku yang Mengubah Hidup
Saya bersama Bandi anak Ragae (Apai Janggut) bertemu dan baca buku. Komplet. Dokpri.

Di antara halaman dan pertemuan. Kita menulis ulang siapa diri kita. Perlahan, dengan kata-kata. Atau hanya dengan diam. Hari ini perjumpaan dengan sesama bisa di ruang maya seperti di WAG ini. Dan buku bisa berarti membaca dan mengemulasi narasi ini dan pesan singkat isi ponsel kita.

Kita tidak pernah tahu, dari mana hidup berubah. 

Mungkin dari sebuah kalimat yang tak sengaja terlempar dalam obrolan malam. 

Mungkin dari satu buku tipis yang kita pungut dari rak berdebu di toko buku yang nyaris sepi. 

Atau dari seseorang yang kita temui hanya sekali, tetapi namanya menetap dalam ingatan seperti embun di daun yang tak pernah mengering.

Harvey Mackay menulis:

“Our lives change in two ways: through the people we meet and the books we read.”

Saya percaya itu!

Tapi seperti halnya semua hal yang sederhana, kalimat itu menyimpan kedalaman yang nyaris tak terjelaskan. Sebab hidup tak hanya berubah. Ia ditata ulang, perlahan, diam-diam, oleh hal-hal kecil yang sering kita abaikan. Seperti tatapan mata yang membuat kita tiba-tiba merasa dilihat. Atau selembar laman bacaan, yang membuat kita merasa dikenal oleh kata-kata.

Saya ingat pertemuan-pertemuan yang tidak saya rencanakan, tapi justru menetap lebih lama dari yang saya sangka. Seorang lelaki tua di pedalaman Borneo, yang bicaranya tenang seperti arus sungai musim kemarau. Ia tak pernah membaca Socrates, tapi ia tahu apa itu keheningan. Ia tidak mengutip Derrida, tapi ia tahu bahwa bahasa bisa gagal menyampaikan luka. Ia bicara pelan-pelan, tapi di dalamnya ada dunia yang pelan-pelan juga terbuka.

Seorang tua arif-bijaksana, yang menggengagm tacit knowlewdge luar biasa itu disapa: Apai Janggut.

Di hadapannya saya merasa kecil. Bukan karena ia lebih tahu, tetapi karena ia lebih hadir. Di situlah saya belajar bahwa pertemuan tidak harus spektakuler untuk mengubah hidup. Kadang yang diperlukan hanya kehadiran yang utuh, mata yang benar-benar melihat, dan waktu yang tak tergesa.

Dan tentang buku.

Saya tidak ingat pasti buku apa yang pertama kali mengguncang saya. Tapi saya ingat sensasinya: seolah dunia yang saya kenal selama ini, dengan semua keteraturannya, retak sedikit. Dan dari retakan itu, masuklah cahaya.

Burke Hedges pernah menulis Read & Grow Rich. Sebuah judul yang terdengar seperti promosi seminar motivasi, tapi ternyata lebih lembut dari itu. Ia bicara tentang kekayaan yang tak bisa dihitung dengan kalkulator. Ia bercerita bagaimana buku bisa menyelamatkan seseorang dari kehilangan dirinya sendiri.

Saya tidak sedang memuji buku, seperti seorang pustakawan tua yang memuja lemari. Saya hanya ingin mengatakan: pernah, dan mungkin akan selalu, saya menemukan bagian-bagian dari diri saya sendiri—yang paling utuh dan paling luka—di antara kalimat-kalimat yang ditulis orang asing, yang tak pernah saya temui.

Antara orang dan buku, saya mulai mengerti satu hal: bahwa hidup ini bukan hanya soal tujuan, tapi tentang bagaimana kita ditata ulang. Dibentuk, diruntuhkan, dibangun kembali oleh hal-hal yang kita izinkan masuk. 

Pertemuan dan halaman-halaman buku itu adalah dua cara semesta membentuk kita dengan cara yang tak bisa kita tolak sepenuhnya.

Orang mungkin datang, tinggal sebentar, lalu pergi. Buku mungkin dibaca, ditutup, dan kembali ke rak. Tapi keduanya, jika menyentuh pada waktu yang tepat, tak pernah benar-benar pergi.

Saya tidak tahu mengapa saya menulis ini. Mungkin karena saya rindu satu pertemuan yang tidak lagi bisa saya ulangi. Atau mungkin karena saya baru saja menutup sebuah buku, dan merasa sedikit kehilangan. Tapi saya percaya: dari semua kehilangan itu, saya justru sedang diingatkan bahwa saya pernah hidup, dengan lebih penuh.

Mungkin, seperti yang ditulis seseorang di catatan pinggirnya, “Kita tidak hanya dibentuk oleh yang hadir, tapi juga oleh yang tinggal diam di dalam kita.”

Dan mereka yang diam itu. Kadang datang sebagai sahabat, kadang datang sebagai kalimat.

Jakarta, Minggu pagi 29 Juni 2025.

LihatTutupKomentar