CSR Perusahaan di Wilayah Dayak: Simbolisme, Konflik, dan Ketimpangan

CSR Perusahaan di Wilayah Dayak: Simbolisme, Konflik, dan Ketimpangan, Rekognisi Hukum Adat

 

CSR Perusahaan di Wilayah Dayak: Simbolisme, Konflik, dan Ketimpangan
Banyak CSR perusahaan di Kalimantan sekadar simbolisme. Ist.


Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan di Wilayah Dayak umumnya bersifat insidentil dan simbolik. CSR dijalankan lebih sebagai formalitas pemenuhan regulasi ketimbang komitmen etis terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

📝 Oleh : Togap Jalaenoh


Pendahuluan

Kalimantan, pulau ketiga terbesar di dunia dan tanah leluhur masyarakat Dayak, menyimpan kekayaan sumber daya alam luar biasa: batubara, emas, zirkon, hutan tropis, dan keanekaragaman hayati. Namun, ironi mencolok muncul: meski tanah ini dieksploitasi habis-habisan, masyarakat Dayak kerap tak mendapatkan manfaat ekonomi yang setara. 

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Salah satu instrumen yang seharusnya menjembatani ketimpangan ini adalah Corporate Social Responsibility (CSR). Namun, apakah CSR benar-benar dijalankan secara adil, berkelanjutan, dan berdampak?

CSR yang Simbolik dan Kurang Optimal

Penelitian Wahyuningsih dkk. (2023) di Kutai Kartanegara mencatat bahwa program CSR perusahaan batubara umumnya bersifat insidentil dan simbolik. CSR dijalankan lebih sebagai formalitas pemenuhan regulasi ketimbang komitmen etis terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Misalnya, kegiatan penanaman pohon atau pelatihan singkat bagi warga dilaksanakan sekali-dua kali dalam setahun tanpa kesinambungan. Secara lingkungan, ini tak cukup mengimbangi dampak ekologis akibat tambang terbuka berskala besar.

CSR yang Tidak Membangun Kemandirian Ekonomi

Studi Mega Silvana & Suparjan (2015) di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa program CSR cenderung menjadi aksi charity semata, seperti pemberian sembako atau perbaikan jalan sementara. Masyarakat Dayak menjadi penerima pasif, bukan pelaku aktif pembangunan. CSR gagal menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi jangka panjang. 

Baca Long Midang dan Misteri Era Megalitikum

Alih-alih membangun koperasi, pelatihan kewirausahaan, atau pendampingan agribisnis lokal, CSR lebih menonjolkan citra baik perusahaan di media.

Seruan Audit Dana CSR oleh Organisasi Dayak

Keresahan atas tidak transparannya dana CSR mendorong berbagai organisasi Dayak angkat bicara. Ketua Persatuan Pemuda Dayak Kalimantan Timur pernah secara terbuka meminta audit menyeluruh terhadap dana CSR perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah adat. Mereka mendesak agar dana CSR dialokasikan secara proporsional dan terukur kepada masyarakat adat yang terdampak langsung, bukan sekadar menguntungkan elit lokal atau pihak ketiga.

CSR Budaya: Pelestarian Bernilai Simbolik

PT Silva Rimba Lestari, misalnya, melalui program CSR-nya mendukung pelestarian tari adat Dayak Tunjung. Dukungan ini patut diapresiasi, tetapi menimbulkan pertanyaan: sejauh mana pelestarian budaya berdampak pada kesejahteraan ekonomi masyarakat marginal? Pemberian dana untuk kegiatan budaya sering kali tidak disertai pembangunan ekosistem ekonomi kreatif yang menjamin keberlanjutan pendapatan bagi seniman lokal, pengrajin, dan komunitas adat.

Kerusakan Lingkungan: Tambang Rakyat dan Merkuri

Di sisi lain, kerusakan lingkungan yang parah akibat penambangan emas rakyat juga menjadi perhatian. Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah, misalnya, menjadi salah satu lokasi terparah pencemaran merkuri. Diperkirakan ratusan ton merkuri dilepaskan ke aliran sungai tiap tahun, meracuni air, ikan, bahkan rantai makanan masyarakat setempat. Ironisnya, CSR perusahaan tambang besar tak menyentuh upaya mitigasi bencana lingkungan yang diciptakan langsung atau tidak langsung oleh industri tambang.

Konflik antara Hukum Adat dan Izin Tambang

Salah satu konflik mencolok terjadi di Desa Jangkang, di mana masyarakat Dayak menyegel lokasi tambang yang beroperasi tanpa persetujuan adat.

Cornelis Mengaum di Mimbar Forum Munas II ICDN dan Bongkar Eksploitasi Borneo Masa ke Masa

Kasus ini memperlihatkan bahwa hukum adat seringkali diabaikan dalam proses penerbitan izin tambang. Perusahaan hanya bermodalkan izin negara, tanpa konsultasi dan persetujuan dari pemangku adat, yang sesungguhnya menjadi pemilik sah tanah secara kultural dan historis.

Evaluasi dan Rekomendasi

CSR idealnya menjadi ruang partisipatif antara perusahaan dan masyarakat adat. Namun realitas di Kalimantan menunjukkan bahwa banyak CSR tidak lebih dari citra korporasi. Hal ini mengancam kepercayaan masyarakat Dayak terhadap lembaga negara dan korporasi.

Rekomendasi:

  1. Audit dan Transparansi
    Audit independen terhadap dana dan pelaksanaan CSR harus diwajibkan, dengan laporan terbuka yang dapat diakses publik, termasuk komunitas adat.

  2. Partisipasi Komunitas Adat
    CSR harus disusun bersama masyarakat adat, bukan sepihak. Proyek harus menjawab kebutuhan mereka, seperti penguatan pertanian lokal, pendidikan, dan infrastruktur dasar.

  3. CSR Berbasis Ekonomi Berkelanjutan
    Perusahaan harus berpindah dari charity ke pembangunan ekonomi jangka panjang: misalnya, membangun UMKM berbasis hasil hutan bukan kayu, atau mendirikan pusat pelatihan teknologi pertanian.

  4. CSR Budaya Berbasis Ekosistem
    Pelestarian budaya tidak cukup dengan menggelar acara seremonial, tapi perlu investasi dalam sistem produksi budaya: rumah budaya, pelatihan, pemasaran kerajinan, dan digitalisasi tradisi.

  5. Rekognisi Hukum Adat
    Negara dan perusahaan wajib mengakui hak masyarakat adat atas wilayahnya. Tanpa rekognisi ini, CSR hanya akan menjadi tempelan baik di atas luka yang dalam.

Penutup

Di tanah yang kaya ini, masyarakat Dayak tak seharusnya terus-menerus menjadi penonton. CSR yang ideal bukan sekadar program, tetapi komitmen moral untuk keadilan. 

Jika perusahaan masih menjalankan CSR sebagai formalitas tanpa makna, maka mereka bukan hanya mengeksploitasi bumi, tetapi juga mengabaikan martabat manusia yang tinggal di atasnya.


Daftar Pustaka

  • Wahyuningsih, dkk. (2023). Analisis Implementasi CSR Perusahaan Tambang di Kutai Kartanegara. etd.repository.ugm.ac.id

  • Mega Silvana & Suparjan. (2015). Kebijakan CSR dan Dampaknya terhadap Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah. etd.repository.ugm.ac.id

  • Kaltimtoday.co. (2022). “Audit Dana CSR: Tuntutan Masyarakat Adat”.

  • Kompasiana. (2021). “Pelestarian Tari Dayak Tunjung: Simbolisme CSR?”

  • Reddit.com. (2023). “Pencemaran Merkuri di Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah”.

  • Wikipedia.org. “CSR di Indonesia dan Wilayah Adat.”

  • Kaltimkita.com. (2022). “Konflik Tambang dan Masyarakat Adat di Desa Jangkang.”

LihatTutupKomentar