Dayak Serempak Kompak Menolak Program Transmigrasi : Ujud Perlakuan Negara yang Tidak Adil dan Berpotensi Memicu Konflik Horizontal
Dayak menolak tunduk dan menunduk. Ist. |
Sejak era Orde Baru, lebih dari 500.000 hektare lahan adat Dayak di Kalimantan telah beralih status akibat transmigrasi dan proyek-proyek terkait, menggusur komunitas lokal dan mengancam biodiversitas kawasan.
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Masyarakat Dayak di berbagai wilayah Kalimantan menunjukkan penolakan tegas terhadap program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah, menyatakan bahwa dampak negatif program tersebut jauh melebihi manfaat yang ditawarkan.
Penolakan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap kehilangan tanah leluhur, degradasi lingkungan, dan ancaman terhadap identitas budaya mereka.
Pada pukul 09:44 AM WIB, Rabu, 16 Juli 2025, suasana di beberapa wilayah Kalimantan Barat masih tegang menyusul aksi damai yang digelar sehari sebelumnya.
Sejumlah tokoh adat dan aktivis lingkungan, intelektual, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) setempat, menegaskan bahwa transmigrasi telah menyebabkan konflik sosial dan eksploitasi sumber daya alam.
"Hutan kami yang menjadi sumber kehidupan dan warisan leluhur dirusak oleh ekspansi perkebunan dan pertambangan yang sering menyusul program ini," ujar para pengunjuk rasa yang merasa sudah "nek" dan tak ada lagi jalan untuk kompromi.
Data dari AMAN menunjukkan bahwa sejak era Orde Baru, lebih dari 500.000 hektare lahan adat Dayak di Kalimantan telah beralih status akibat transmigrasi dan proyek-proyek terkait, menggusur komunitas lokal dan mengancam biodiversitas kawasan.
Di Kabupaten Kapuas Hulu, warga Dayak Iban menggelar aksi damai pada Senin (14/7/2025), membawa spanduk bertuliskan "Hentikan Transmigrasi, Selamatkan Tanah Adat," sebagai bentuk protes terhadap rencana pemukiman baru yang mengancam hutan lindung mereka.
"Dialog Inklusif: Jalan Keluar Menuju Keadilan Sosial": Pemerintah sudah tak dipercaya Dayak
Pemerintah, melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, menyatakan bahwa program transmigrasi bertujuan menyeimbangkan distribusi penduduk dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, suara dari Kemenenterian Transmigrasimengakui adanya tantangan pelaksanaan dan berjanji akan mengevaluasi dampak sosial-ekologi.
Namun, masyarakat Dayak tak percaya pada kilah Pemerintah. Dan memandang pemerintah dan negara sebagai Leviathan, ancaman bagi keberadaan dan keberlangsungan Dayak, bukan kemakmuran dan kemajuan Dayak.
Dayak tidak percaya pada apa pun argumen dan kata Pemerintah lagi. Sebab terbukti sebab warga Dayak merasakan langsung dampak negatif Program Transmigrasi selama ini.
Baca Identitas, Politik, dan Transformasi Sosial Dayak : Sebuah Tinjauan Kepustakaan
Penolakan Program Transmigrasi ini juga didukung oleh organisasi lingkungan seperti Walhi Kalimantan, yang mencatat peningkatan deforestasi sebesar 15 persen di wilayah transmigrasi sejak 2020.
Koordinator Walhi menyoroti bahwa ekspansi perusahaan sawit dan tambang sering kali menjadi efek domino dari transmigrasi, memperparah tekanan pada komunitas Dayak.
Di tengah dinamika ini, masyarakat Dayak menyerukan dialog inklusif dengan pemerintah untuk menghentikan program yang dianggap merugikan.
"Kami bukan menolak pembangunan, tetapi menuntut pembangunan yang menghormati hak adat dan alam kami," tegas Hendrikus.
Penolakan serempak Program Transmigrasi ini menjadi panggung penting bagi Dayak untuk merebut kembali narasi dan kontrol atas tanah leluhur mereka. Seiring sejalan dengan semangat dekolonisasi yang semakin menguat di era digital.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Dayak kini tak tinggal diam. Mereka berbuat. Mereka bertindak. Dayak pantang tunduk, apalagi menunduk dengan kekuatan dan oligarki.
X-5/dayaktoday.com