Herwinesastra dan Sore yang Tak Sekadar Singgah
![]() |
Herwinesastra (kiri) dan saya: bicara tentang buku yang mengikat ilmu. Ist. |
Sore jelang senja itu, 9 Juli 2025. Langit Pontianak menggantungkan jingga yang mulai ditingkap warna pudar perlahan.
Kota ini, yang dikenal karena garis khatulistiwanya, selalu punya cara merangkul waktu.
Di sinilah, di jantung Kalimantan Barat, saya bertemu kembali dengan sahabat lama: Dr. Herwinesastra, lektor kepala, seorang pendidik, peneliti, dan penulis yang bagi saya lebih dari sekadar akademisi.
Pertemuan terjadi tanpa seremoni. Ia menyapa saya dengan kehangatan khasnya, sebagaimana seorang teman lama menyapa seseorang yang tak pernah benar-benar asing.
Kami bertemu di Warkop Asiang, suatu tempat sederhana yang sejak dulu jadi tempat berbagai macam percakapan: mulai dari hal remeh sampai yang menyentuh akar filsafat hidup.
Di meja kayu yang agak lengket oleh uap kopi dan percakapan lama, kami bicara ngalor-ngidul. Tapi seperti biasa, pembicaraan kami akhirnya tiba pada rumah yang sama: literasi, buku, dan ilmu.
Ada yang terbit di benaknya sore itu. Ia menyebut niatnya untuk kembali menerbitkan buku. Ya, buku baru.
Buku yang barangkali lahir dari keheningan dan pengamatan panjang. Judulnya sudah ditetapkan: Pemimpin Inovatif: Dari Tradisi Menuju Transformasi Gereja Lokal.
Ada sesuatu dalam judul itu yang bukan hanya menyimpan gagasan, tapi juga pergulatan. Ia bicara tentang kepemimpinan, tapi bukan yang keras dan kaku. Ia bicara tentang perubahan, tapi bukan yang membuang masa lalu. Ada harmoni di sana—antara tradisi yang dihormati dan transformasi yang tak terhindarkan.
Saya mendengarnya bukan sebagai editor yang dulu pernah mengedit dan menerbitkan bukunya (Pengembangan Kecakapan Kepemimpinan melalui Mentoring, 2019, LLD), tapi sebagai sahabat yang tahu: Herwinesastra bukan tipe yang menulis untuk pujian. Ia menulis karena percaya bahwa ilmu harus mengalir, harus tiba di tangan yang membutuhkan, harus hadir dalam pergumulan umat. Buku-bukunya bukan menara, tapi jembatan.
Kami menutup sore dengan makan malam di warung nasi campur, Jalan Diponegoro. Tak mewah. Tapi seperti semua hal yang bermakna, kesederhanaan justru memperdalam rasa.
Di sela nasi, obrolan kami tetap berdenyut: soal generasi baru, soal bagaimana STT bisa menjadi mata air pemikiran, bukan sekadar lembaga pemberi ijazah.
Kami bicara tentang murid, tentang dosen yang tak hanya mengajar, tapi hadir sebagai mentor. Kami, dua sahabat bibliophiliac, saling menyadari: betapa literasi bukan proyek, tapi perjalanan panjang, kadang sunyi, kadang sepi, tapi tak pernah sia-sia.
Yang menarik, Herwinesastra tak pernah merasa cukup hanya dengan gelar dan jabatan. Ia lebih tertarik pada dampak. Pada perubahan yang tidak gegap-gempita, tapi perlahan mengendap di relung pemikiran mahasiswa dan jemaat. Ia tahu, kata-kata bisa menumbuhkan. Ia tahu, buku bisa menjadi benih, meski tak segera tumbuh. Di ruang kelas, di meja baca, bahkan di sela ibadah, ia hadir dalam bentuk paling sederhana: seorang guru yang bersetia.
Saya pulang malam itu dengan perasaan lega. Seperti seseorang yang tahu bahwa masih ada yang menjaga api. Herwinesastra bukan sekadar lektor kepala. Ia, dalam cara yang tenang dan tak menuntut sorotan, adalah penjaga bara: menulis, membimbing, dan terus menyusun jembatan-jembatan kecil yang menghubungkan tradisi dan masa depan.
Pertemuan itu mungkin tak penting bagi dunia. Tapi bagi saya, itu semacam perayaan kecil: bahwa di tengah zaman yang serba cepat dan dangkal, masih ada orang yang menulis dengan iman, berbicara dengan makna, dan berjalan dengan kompas yang tetap.
Saya bersyukur mengenalnya.
Lebih dari itu, saya bersyukur pernah berjalan bersamanya di jalan sunyi yang disebut literasi.
Pontianak, 09 Juli 2025