Satu Hari, Satu Cerpen, Janji Sunyi Liu Ban Fo

Liu Ban Fo, Munaldus, Sastrawan Dayak, Cerpen Borneo, Literasi Kalimantan Barat, Munal Ketupung, Credit Union Keling Kumang, Penulis Dayak, CU
Liu Ban Fo, nama pena Munaldus.

Tiap pagi. Di sebuah sudut rumah yang tenang meski terletak di pusat Kota Pontianak. Seorang lelaki duduk menghadapi layar laptop. 

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAKTangan dan pikirannya berpacu dengan waktu sebelum hari menjadi riuh. Ia menulis. Satu cerpen setiap hari, tanpa henti. 

Hari ini, Rabu (9/7/2025), sudah genap hari ke-117 dari niat sunyinya: menulis 365 cerpen dalam 365 hari, tepat hingga ulang tahunnya yang ke-63, tahun depan.

Nama lelaki itu Munaldus. Namun di dunia literasi, ia lebih dikenal sebagai Liu Ban Fo; nama pena pemberian sahabatnya, Pak Mingku dari Sekadau. Di media sosial, ia menggunakan nama Munal Ketupung, yang makin dikenal di lingkaran komunitas sastrawan Dayak dan pegiat literasi Kalimantan. Namanya kini juga tercatat di Wikipedia sebagai salah satu sastrawan Dayak, bersama para penulis perintis dari Borneo lainnya.

“Setiap hari saya menulis, bukan karena selalu ada cerita,” ujarnya. “Kadang saya harus menggali ingatan, memutar ulang hidup, dan berdamai dengan sepi.” Ia mengatakannya saat membuka pelatihan Trik & Tips Menulis Cerpen bagi 22 peserta Sekolah Kepemimpinan dan Konglomerasi Koperasi (SK-3) pada pagi dinihari, 10 Juli 2025.

Munaldus tidak memulai hidupnya dari dunia fiksi. Ia adalah tokoh pemberdayaan yang telah lama bergiat di sektor ekonomi rakyat, terutama melalui gerakan Credit Union (CU). 

Sebagai pendiri Credit Union Keling Kumang dan inisiator Sekolah Kepemimpinan Koperasi (SK-3), namanya dikenal luas di Kalimantan Barat sebagai pembela masyarakat akar rumput.

Di masa awal gerakan CU berkembang di Indonesia, Munaldus adalah salah satu penulis yang memperkenalkan model CU melalui buku-buku edukatif. Beberapa di antaranya bahkan diterbitkan oleh kelompok Gramedia. Buku-buku itu membahas manajemen keuangan, penguatan komunitas, hingga etika koperasi—hal yang saat itu belum banyak ditulis oleh pelaku gerakan sendiri.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Munaldus justru memilih jalan lain: fiksi.

“Nonfiksi perlu data dan analisis. Tapi fiksi memberi saya ruang untuk mengungkapkan yang tak bisa dijelaskan oleh angka dan teori,” katanya.

Cerpen-cerpen Liu Ban Fo berkisah tentang dunia kampung: petani yang kehilangan ladangnya karena kebun sawit, anak-anak yang belajar membaca di pondok bambu, ibu-ibu penenun yang menyimpan kisah masa lalu di selembar kain. Bahasa yang digunakannya sederhana, tapi sarat makna. Ada ironi, ada kepedihan, ada keteguhan.

Ia tidak mengejar panggung sastra. Tidak pula menunggu penghargaan. Setiap pagi ia menulis, lalu menyimpannya dalam folder digital. Sebagian ia bagikan lewat grup WhatsApp komunitas atau unggahan singkat di Facebook. Namun sebagian besar masih menjadi simpanan pribadinya.

“Saya ingin suatu hari nanti, ada orang kampung membaca cerpen itu dan berkata, ‘Ini hidup kami’,” ucapnya pelan.

Munaldus ketika menjadi narsum, membawakan trik & triks menulis cerpen bagi peserta SK-3 di Puskhat, Jalan MT Haryono, Pontianak.

Laku menulis ini bukan hanya proyek sastra. Ia adalah spiritual journey, suatu perjalanan batin yang membuatnya lebih akrab dengan waktu, lebih peka terhadap perubahan, dan lebih jujur dalam melihat hidup.

Apa pun bisa menjadi inspirasi bagi Munaldus. Selembar daun kering di halaman, percakapan anak-anak di warung, ingatan samar tentang suara lonceng gereja, hingga bau tanah setelah hujan. “Banyak yang bisa diangkat,” ujarnya. “Asal kita punya mata untuk melihat, dan hati untuk mendengar.”

Dari kampung di Borneo, seorang lelaki menulis setiap hari. Dalam sunyi, ia berbicara tentang hutan, tentang manusia, tentang tanah yang perlahan hilang. Bagi Munaldus, menulis bukan soal menjadi penulis besar. Tapi tentang menjadi saksi atas apa yang terjadi di sekelilingnya, dan menuliskannya—setia, setiap hari.

Dengan nama pena Liu Ban Fo, Munaldus tengah menenun warisan dari pinggiran. Sebuah mozaik sunyi dari Borneo untuk generasi yang akan datang.

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar