Gelombang di Senayan: Dari Seruan Aksi ke Bentrokan

 

Rakyat protes dan marah karena ditintas sang penguasa negerinya.
Rakyat protes dan marah sebab hidup makin dipersulit: pajak dan kesulitan ekonomi.

Dalam dua hari terakhir (28–29 Agustus 2025), kawasan Senayan kembali menjadi etalase keresahan publik. Ribuan mahasiswa, pelajar, jurnalis, hingga kelompok buruh memadati gerbang Kompleks DPR/MPR.

Narasi yang mengemuka berlapis: protes percepatan rapat RUU Penyiaran, penolakan rencana kenaikan tunjangan anggota DPR, hingga kritik lebih luas atas mutu tata kelola negara. 

Rakyat protes dan marah hidup makin susah, terhimpit pajak pula

Di lapangan, situasi beberapa kali memanas; barikade polisi didorong, gas air mata dibalas dengan yel-yel dan poster tuntutan. Laporan lapangan menyebut kericuhan pecah pada Kamis, 28 Agustus, lalu seruan aksi susulan beredar untuk Jumat, 29 Agustus 2025. Aparat Polda Metro menyiapkan pengamanan berlapis; beberapa kanal berita menayangkan kondisi pasca-aksi di sekitar parlemen.

Di dalam gedung, roda rapat DPR tidak sepenuhnya berhenti, namun ritmenya tersendat. Komisi I mempercepat agenda Rapat Dengar Pendapat Umum RUU Penyiaran, sebagian karena kalkulasi risiko terjebak massa. Ada pula rapat yang tetap berjalan walau di luar pagar suhu aksi naik. Keputusan-keputusan teknis semacam ini memperlihatkan betapa tensi di jalan kini ikut menyetel metronom parlemen.

RUU Penyiaran: Simpul Kontestasi Informasi dan Kuasa

Sumbu aksi 2025 tidak lahir di ruang hampa. Sejak Mei 2024, komunitas pers dan masyarakat sipil menolak sejumlah pasal rancangan revisi UU Penyiaran yang dinilai berpotensi memperluas kontrol negara atas konten, memperketat ruang media independen, dan membuka pintu sensor yang dampaknya bukan hanya ke newsroom, tapi juga ke jurnalisme warga dan ekosistem kreator digital. 

Demonstrasi jurnalis di depan DPR kala itu menyuarakan tiga nada besar: henti pembahasan, hilangkan pasal bermasalah, dan libatkan publik secara bermakna. Setahun berlalu, draf yang terus bergerak dengan klaim modernisasi dan adaptasi teknologi—tetap menyisakan skeptisisme: publik bertanya, modern untuk siapa, dan sejauh mana akuntabilitasnya? (CNBC Indonesia, detiknews, CNN Indonesia, aji.or.id, MerahPutih)

Pada pekan ini, percepatan rapat RUU Penyiaran justru memantik amarah baru. Di luar pagar, spanduk menegaskan “jangan atur siaran sesuka selera penguasa”; di ruang rapat, agenda dipangkas. 

Sementara itu, otoritas penyiaran daerah mengimbau agar media tidak menyiarkan aksi secara langsung demi menghindari eskalasi emosi massa—imbauan yang di mata sebagian aktivis dianggap mengaburkan hak publik atas informasi real-time. Polemik kian terasa bahwa negara ingin mencegah kerusuhan, publik ingin menjaga visibilitas aspirasi. (Samarinda Pos, Radar Surabaya, waspada.co.id)

Tumpukan Bahan Bakar Ketidakpuasan

Selain isu penyiaran, rencana kenaikan tunjangan anggota DPR di tengah tekanan ekonomi menjadi bensin yang cepat menyambar. Seruan “revolusi rakyat” yang mengaitkan beban hidup dengan insentif politikus menggema di pagar Senayan. 

Bagi banyak orang, wacana kenaikan tunjangan menegaskan jarak emosional antara “wakil” dan “diwakili.” Di sinilah demonstrasi berubah dari single-issue protest menjadi payung keluhan makro: daya beli, pelayanan publik, hingga rasa keadilan yang timpang.

Layer lain yang sulit diabaikan adalah rentetan keputusan dan dinamika elektoral sejak 2023–2024 dari putusan usia calon, hingga persidangan hasil pilpres yang menyisakan residu ketidakpercayaan pada institusi demokrasi, termasuk DPR. Di jalanan, isu-isu itu kembali diangkat sebagai bukti bahwa reformasi kelembagaan berjalan tersendat dan sering kali responsif terhadap “kalkulasi penguasa” ketimbang partisipasi warga. Boleh jadi, bukan satu kebijakan yang memicu ledakan, melainkan akumulasi rasa “tidak didengar

Ke Mana Arah Parlemen & Publik? Empat Jalan Keluar

Pertama, buka naskah dan jejak rapat secara proaktif. Sengkarut RUU Penyiaran memperlihatkan bahwa transparansi bukan kemewahan, melainkan prasyarat legitimasi. Publikasi draf terkini, daftar perubahan pasal, serta notula/rekaman rapat akan menurunkan suhu kecurigaan, dan memberi ruang kritik yang berbasis teks, bukan rumor. Ketika Komisi I mempercepat rapat, konsekuensi komunikasinya harus setara: ringkasan keputusan dan alasan percepatan disiarkan tepat waktu. (Samarinda Pos, Antara News)

Kedua, evaluasi kebijakan yang menyentuh “keadilan simbolik.” Rencana kenaikan tunjangan—apa pun argumennya—kontraproduktif saat warga mencubit pengeluaran. Mekanisme penundaan, review independen, atau skema berbasis kinerja yang terukur (performance-linked) dapat meredakan persepsi elitis. Parlemen yang sensitif pada momentum sosial akan lebih dipercaya untuk mengurus isu-isu besar.

Ketiga, jaga hak mengetahui sekaligus keselamatan publik. Imbauan agar tidak menyiarkan aksi secara live perlu disertai standar akuntabilitas: kapan pembatasan dipandang sah, siapa yang menilai, dan bagaimana remedinya. Tujuan mencegah provokasi dapat dimaklumi, tetapi prinsip keterbukaan informasi adalah pondasi demokrasi. Di sini, dialog antara regulator, redaksi, dan komunitas pers menjadi krusial agar keselamatan tidak menjadi alasan “cekik” transparansi. (waspada.co.id)

Keempat, kanal partisipasi yang bermakna. Aksi jalanan adalah alarm, bukan akhir. DPR dan pemerintah dapat memfasilitasi dengar pendapat publik lintas kota, membuka kanal pengajuan perbaikan pasal berbasis bukti, serta memastikan keterwakilan kelompok terdampak yakni jurnalis, kreator, akademisi, pelajar, buruh. Pengalaman 2024 menunjukkan, ketika masyarakat sipil diajak duduk setara, tensi mereda dan kualitas regulasi meningkat. (CNBC Indonesia, CNN Indonesia, detiknews)

Gelombang demonstrasi di DPR pekan ini bukan sekadar episode periodik; ia cermin retak yang memperlihatkan jarak antara kebijakan dan denyut warga. 

Parlemen yang memilih mendengar mendokumentasikan, menjelaskan, dan mengoreksi akan menemukan kembali mandatnya. Sebaliknya, bila pagar lebih cepat menaik dari dialog yang dibuka, maka Reformasi jilid II segera membukakan pintunya.

Rakyat marah karena dihimpit dan dihinakan

Kevulgaran sejumlah wakil rakyat di Senayan yang dengan enteng menyebut rakyat sebagai “tolol” telah memicu gelombang kemarahan yang tak terbendung. Ucapan itu tidak hanya melukai hati publik, melainkan juga menegaskan betapa jauhnya sebagian elite politik dari denyut kehidupan orang banyak. Sosok yang melontarkan penghinaan tersebut sontak menjadi public enemy, dianggap menentang amanat yang semestinya ia junjung. Alih-alih menyalurkan aspirasi, ia justru menertawakan mereka yang telah memberinya mandat dan gaji dari uang negara.

Kemarahan itu kian terasa sebagai sebuah ironi. Demokrasi yang semestinya menghadirkan ruang dialog, kini justru dipenuhi nada arogan dari kursi kekuasaan. Rakyat yang seharusnya diperlakukan sebagai mitra, didorong ke pinggir sebagai objek cemoohan. Kalimat “tolol” yang meluncur dari bibir wakil rakyat bukan sekadar retorika kasar, melainkan cermin dari kegagalan memahami substansi keterwakilan. Yang tergores bukan hanya harga diri publik, melainkan juga wibawa lembaga politik yang mestinya dihormati.

Di saat yang sama, masyarakat menghadapi beban baru: pajak yang kian mencekik. Kebijakan pengetatan disertai ancaman penggunaan aparat keamanan untuk menagih, telah menambah perih di hati warga. Pajak yang pada hakikatnya adalah instrumen gotong royong membangun negara, kini terasa lebih sebagai alat pemaksaan. Bagi rakyat kecil yang hidup pas-pasan, ancaman itu seperti menambah derita yang sudah panjang.

Belum lagi, muncul pernyataan pejabat negara yang mengancam akan mempersulit administrasi bila kewajiban pajak tak dipenuhi. Ancaman itu seolah menempatkan masyarakat bukan sebagai pemilik kedaulatan, melainkan sekadar obyek yang bisa ditekan. Relasi negara dan rakyat berubah menjadi relasi kuasa yang timpang: penguasa memegang palu, rakyat dijadikan kayu yang siap dipukul. Inilah yang kian mengobarkan rasa marah dan frustrasi di kalangan luas.

Pada akhirnya, rangkaian peristiwa ini menunjukkan jurang yang kian melebar antara elite dan rakyat. Penghinaan dari Senayan, ditambah kebijakan pajak yang dirasa menindas, memperlihatkan kegagalan sebagian pengelola negara dalam memahami rasa keadilan. Rakyat bisa bersabar, tetapi juga tahu kapan harus bersuara. Dalam sejarah, setiap kali suara rakyat dipandang remeh, badai perlawanan selalu lahir dari bawah. Dan kini, tanda-tanda itu mulai terasa, meski masih berupa desah, namun kian hari kian membesar.

Senayan akan terus menjadi panggung rutin untuk amarah yang berputar. Saatnya mengubah pola: dari “mengamankan kerumunan” menjadi “mengamankan kepercayaan.” (Hukum Online, CNBC Indonesia, Antara News)

X-5/Tim Redaksi

 

0 Comments

Type above and press Enter to search.