Ladang Orang Dayak antara Fakta dan Tuduhan Palsu
Ladang Dayak: tradisi sejak 10.000 tahun lalu.Yang merusak hutan Kalimantan adalah usaha tambang dan perusahaan sawit. Dok. Sinta-datak-tv.
Oleh Rangkaya Bada
Tidak banyak orang tahu, peladangan Dayak memiliki sejarah
yang amat panjang. Mochtar Lubis (1980:9) menulis bahwa orang Kalimantan sudah
mengenal budaya ladang sejak sepuluh ribu tahun silam. Itu berarti, jauh
sebelum istilah pertanian modern dikenal, masyarakat Dayak sudah membangun
sistem bercocok tanam yang teratur.
Ladang bukan sekadar tempat menanam padi atau jagung,
melainkan juga menjadi pusat kehidupan sosial dan budaya.
Bayangkan sebuah perkampungan di pedalaman. Hutan rimba
mengelilingi rumah panjang. Di sana, orang-orang Dayak membuka sebidang lahan,
rata-rata hanya dua hingga tiga hektar luasnya. Tidak besar. Tidak serakah.
Ladang itu mereka kelola bersama keluarga, dengan prinsip menjaga keseimbangan
alam. Sejak dulu, mereka tahu bahwa alam bukan musuh, melainkan sahabat.
Prinsip itu membuat ladang Dayak berbeda dari praktik
eksploitasi lahan berskala besar. Tanah yang dibuka tidak digarap dengan mesin
berat, melainkan dengan parang, cangkul, dan tenaga manusia. Hutan tidak
ditebang habis, hanya semak belukar dan pepohonan kecil yang dipilih untuk
dibuka. Pohon-pohon besar biasanya tetap berdiri sebagai penyangga. Cara ini
membuktikan bahwa peladangan Dayak adalah tradisi yang berakar kuat pada
pengetahuan ekologis.
Membakar Ladang, Bukan Membakar Hutan
Salah satu mitos yang paling sering didengungkan adalah
bahwa orang Dayak merusak hutan karena membuka ladang dengan cara membakar.
Kata “bakar” sering dipahami secara salah. Gambaran yang muncul di benak orang
kota: api membesar, hutan habis terbakar, asap mengepul ke udara. Padahal
kenyataannya jauh berbeda.
Dayak membakar ladang dengan teknik tradisional yang
diwariskan turun-temurun. Ada aturan adat yang ketat. Api hanya digunakan untuk
membersihkan ranting dan semak belukar. Batas lahan dipastikan jelas. Orang
kampung akan berjaga di sekitar ladang untuk memastikan api tidak merembet
keluar. Mereka tahu bagaimana angin berembus, kapan saat yang tepat menyalakan
api, dan kapan harus berhenti. Semua dilakukan dengan cermat.
Hasilnya, lahan yang sudah dibakar justru menjadi subur. Abu
sisa pembakaran berubah menjadi pupuk alami. Dalam beberapa bulan, tanah itu
menumbuhkan padi, jagung, ketela, serta berbagai sayuran. Lebih menarik lagi,
setelah panen, ladang tidak ditinggalkan begitu saja. Alam bekerja kembali.
Tanaman liar, tumbuhan obat, bahkan pohon buah, tumbuh subur. Setelah lima
belas tahun, lahan itu bisa diladangi lagi dalam kondisi tetap sehat.
Kearifan ini sering diabaikan dalam narasi modern tentang
deforestasi. Padahal, jika dibandingkan, skala ladang Dayak sangat kecil dan
siklusnya justru menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan kata lain, Dayak
membakar ladang, bukan membakar hutan.
Ladang sebagai Sumber Hidup dan Budaya
Ketika kita mendengar kata “ladang,” yang terbayang mungkin
hanya padi atau jagung. Namun bagi Dayak, ladang jauh lebih dari sekadar sawah
kering. Di sanalah mereka menemukan sumber pangan, inspirasi budaya, sekaligus
jati diri.
Di ladang, orang Dayak tidak hanya menanam padi gunung. Ada
juga sayuran, ubi, buah-buahan, hingga tanaman obat. Semua kebutuhan hidup
tersedia. Tidak ada yang terbuang. Sistem bercocok tanam mereka tidak
mengandalkan pupuk kimia, melainkan kesuburan alami. Hal itu membuat hasil
panen sehat, sekaligus menjaga tanah tetap kuat.
Lebih dalam lagi, ladang melahirkan seni. Banyak tarian,
nyanyian, dan ritual adat lahir dari siklus bercocok tanam. Saat menugal,
menanam benih padi, biasanya ada doa dan lagu yang mengiringi. Saat panen, ada
pesta gawai. Semua anggota kampung terlibat. Anak-anak belajar makna kerja
sama. Orang tua mengajarkan pantang larang. Setiap tetes keringat di ladang
berubah menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan lintas generasi.
Dengan kata lain, ladang Dayak tidak hanya memberi beras
untuk dimakan, melainkan juga memberi identitas. Ia mengikat komunitas,
meneguhkan hubungan manusia dengan alam, dan menjaga kesinambungan budaya. Jika
ladang hilang, sebagian besar dari kebudayaan Dayak pun ikut terancam.
Mitos dan Fakta Deforestasi
Sayangnya, dalam wacana publik, peladangan Dayak sering
dituding sebagai penyebab deforestasi di Borneo. Inilah mitos besar yang terus
diulang. Padahal, bukti lapangan menunjukkan bahwa kerusakan hutan justru
disebabkan oleh praktik industri: tambang batubara, perkebunan sawit, dan
konsesi kayu skala besar.
Perusahaan membuka ratusan ribu hektar hutan sekaligus.
Bulldozer meratakan bukit. Ekskavator menggali tanah. Api digunakan tanpa
kendali. Lahan yang tadinya hutan rimba berubah menjadi kebun monokultur.
Sungai keruh oleh lumpur dan limbah. Binatang kehilangan habitat. Desa-desa
kehilangan tanah ulayat. Semua itu bukan ulah peladangan Dayak, melainkan
akibat kerakusan industri.
Namun mitos telanjur mengakar. Orang kota yang tidak pernah
ke ladang lebih mudah percaya bahwa asap kebakaran hutan berasal dari orang
kampung. Narasi itu menguntungkan perusahaan, sebab perhatian publik
teralihkan. Padahal, peladangan Dayak sudah terbukti lestari selama ribuan
tahun.
Hari ini, orang Dayak harus terus menjelaskan bahwa
peladangan berpindah adalah bagian dari kearifan lokal. Ia ramah lingkungan,
berkelanjutan, dan tidak menyebabkan deforestasi. Fakta ini harus dipahami agar
masyarakat luas tidak lagi menyalahkan korban. Sebab yang merusak bukanlah
ladang kecil di desa, melainkan industri raksasa yang mengeksploitasi hutan
tanpa batas.
Peladangan Dayak adalah contoh bagaimana manusia bisa hidup
selaras dengan alam. Fakta-fakta menunjukkan bahwa sistem ini sudah ada sejak
sepuluh ribu tahun lalu, berskala kecil, menggunakan teknik bakar terkendali,
serta menciptakan lahan subur yang bisa dipakai berulang. Lebih dari itu,
ladang melahirkan seni, tradisi, dan identitas yang mengikat masyarakat Dayak.
Mitos yang menyebut peladangan sebagai penyebab deforestasi jelas tidak sesuai kenyataan. Justru industri tambang dan sawitlah yang menggerus hutan. Saatnya publik memahami perbedaan ini. Menghargai kearifan lokal adalah langkah awal untuk menjaga hutan Borneo tetap hidup. Sebab tanpa ladang, tanpa hutan, dan tanpa budaya Dayak, Borneo akan kehilangan rohnya.
0 Comments