Mengelola Keuangan Negara, Beda dengan Kas RT

Mengelola Keuangan Negara, Beda dengan Kas RT
 Mengelola Keuangan Negara, Beda dengan Kas RT: perlu relasi dan kerendahan hati bekerja sama tingkat dewa.

Mengelola keuangan negara bukan pekerjaan sederhana. Ia jauh berbeda dengan sekadar mengatur uang belanja rumah tangga atau rapat kecil di tingkat rukun tetangga. Skalanya begitu luas, melibatkan ratusan juta warga, ribuan pejabat dari Jakarta hingga ke kecamatan, juga aktor-aktor besar yang bermain di panggung ekonomi dunia. 

Di situ ada institusi internasional dengan agenda masing-masing, ada oligarki dengan kepentingannya sendiri, dan tentu saja ada para pengambil kebijakan yang kadang lebih condong pada kompromi politik ketimbang rasionalitas ekonomi.

Maka, tak heran bila mengelola keuangan negara lebih mirip sebuah orkestra raksasa. Semua instrumen mesti dimainkan pada tempo yang pas, dengan harmoni yang tak boleh sumbang. Satu nada melenceng saja: defisit membengkak, inflasi tak terkendali, atau kurs rupiah terguncang. Bedanya, jika orkestra salah nada hanya membuat telinga perih, maka kesalahan dalam mengelola keuangan negara bisa mengubah nasib jutaan orang.

Sosok yang Pernah Ada

Bangsa ini, sebenarnya, pernah punya sosok yang mampu memainkan orkestra rumit itu dengan baik. Nama-nama seperti Ali Wardhana, JB Sumarlin, dan Radius Prawiro adalah contoh hidup bahwa integritas dan kecakapan bisa bersanding dalam satu tubuh. Mereka bukan hanya pejabat teknokrat dengan gelar akademik tinggi. Lebih dari itu, mereka dikenal jujur, disiplin, dan berani mengambil keputusan yang kadang tak populer.

Ali Wardhana, misalnya, diingat sebagai Menteri Keuangan yang begitu konsisten menjaga stabilitas ekonomi pasca-Orde Lama. Saat itu, Indonesia baru saja keluar dari hiperinflasi. Harga-harga melambung, kepercayaan publik runtuh. Ali Wardhana datang dengan kebijakan fiskal yang keras, bahkan getir, tetapi berhasil menurunkan inflasi dari ratusan persen ke angka satu digit. Itu bukan sekadar hitung-hitungan kertas, melainkan keberanian moral.

JB Sumarlin, di masa berikutnya, menorehkan jejak serupa. Ia dikenal dengan gaya bicara tegas, bahkan keras, ketika berhadapan dengan penyimpangan anggaran. Di balik sosoknya yang disiplin itu, ada satu hal yang tak bisa dibantah: kejujurannya. Baginya, mengelola uang negara sama artinya dengan menjaga amanah rakyat. Uang negara bukan milik pejabat, apalagi milik kelompok tertentu.

Lalu Radius Prawiro, yang dikenal sebagai figur berkelas internasional, dihormati oleh lembaga-lembaga keuangan dunia. Ia mampu berdialog sejajar dengan IMF dan Bank Dunia, bukan sebagai pengemis pinjaman, melainkan mitra yang tahu apa yang dibutuhkan bangsanya. Keberaniannya menyuarakan kepentingan Indonesia membuat dunia melihat bahwa bangsa ini punya orang yang bisa diandalkan.

Belum Seujung Kuku

Sekarang, mari kita tengok ke belakang lalu bandingkan dengan situasi hari ini. Apakah pejabat-pejabat yang kita punya mampu menandingi ketiganya? Jujur saja, banyak di antara mereka bahkan belum seujung kuku Ali Wardhana, JB Sumarlin, atau Radius Prawiro. Dari segi kiprah, pengalaman, dan rekam jejak, jaraknya terlalu jauh.

Ada yang memang pintar. Gelar akademiknya panjang. Bahkan ada yang dihormati di forum internasional. Tetapi persoalan kita bukan hanya soal kepintaran. Yang lebih mendesak adalah soal kejujuran dan keberanian moral. Uang negara terlalu besar untuk dikelola dengan sekadar kecerdikan teknis tanpa integritas. Di sinilah perbedaan mencolok itu tampak.

Mengingat, untuk Belajar

Bukan berarti kita harus selalu bernostalgia, lalu menutup mata pada potensi generasi baru. Tetapi mengingat nama-nama seperti Ali Wardhana, JB Sumarlin, dan Radius Prawiro bukan sekadar romantisme masa lalu. Ia adalah pengingat keras, bahwa bangsa ini sebenarnya pernah punya teladan. Bahwa pernah ada orang-orang yang menganggap uang negara sebagai titipan yang suci, bukan pundi-pundi untuk kepentingan kelompok.

Hari ini, di tengah hiruk pikuk politik dan gemerlap proyek-proyek besar, kita butuh figur yang serupa. Bukan berarti harus sama persis, sebab zaman sudah berbeda. Tetapi spirit kejujuran, integritas, dan keberanian dalam membuat keputusan tetap relevan sepanjang waktu.

Mengelola keuangan negara memang bukan urusan gampang. Tetapi sesungguhnya, yang kita butuhkan bukan sekadar teknokrat yang pandai berhitung. 

Kita perlu sosok yang membuat publik percaya bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar kembali untuk rakyat. Dan itu, sayangnya, masih langka.

Rangkaya Bada

0 Comments

Type above and press Enter to search.