Wasiat Tjilik Riwut kepada Dayak agar Jadi Tuan di Tanah Sendiri
Pesan Tjilik Riwut pada Dayak agar jadi tuan di Tanah Sendiri sebab tanah Dayak lebih dulu ada. Penampakan dari atas salah satu wilayah Kalimantan Tengah. Dokpri. |
Tjilik Riwut berpesan dengan kalimat sederhana tetapi sarat
makna:
“Ela tempun kajang tapi bisa puat. Ela tempun uyah tapi
batawah belai. Tuntang ela ketun cuma tempun tandak ah, tapi uluh je tempun
talatak ah.”
Orang yang mendengarnya terdiam. Ada yang mengangguk, ada
pula yang menunduk. Kata-kata itu seolah ringan, namun mengguncang hati.
Jika diterjemahkan, maknanya kira-kira demikian ini:
Jangan sampai
punya tanah, tetapi tidak bisa berladang di atasnya. Jangan punya atap, tetapi
tetap kehujanan. Jangan punya garam, tetapi masakan sendiri hambar. Jangan
hanya memiliki ceritanya, sementara orang lain yang merasakan manfaatnya.
Itu bukan sekadar petuah, melainkan wasiat. Wasiat seorang
pemimpin yang melihat bangsanya terpinggirkan di tanah sendiri. Wasiat agar
Dayak berdiri tegak, agar Dayak tidak sekadar pewaris nama, tetapi pewaris
makna.
Tanah Sebagai Identitas dan Kehidupan
Bagi orang Dayak, tanah adalah sumber kehidupan. Dari tanah
lahir hutan, sungai, dan ladang. Dari tanah pula tumbuh padi, rotan, dan pohon
buah. Tanah bukan hanya tempat berpijak, melainkan juga tempat kembali.
Itulah sebabnya petuah Tjilik Riwut terasa tajam. Apa
jadinya bila Dayak hanya memegang sertifikat, tetapi ladang tak lagi bisa
diolah? Apa gunanya tanah diwarisi, tetapi tidak dinikmati anak cucu?
Sejak ribuan tahun, Dayak mengenal cara berladang yang arif.
Ladang dibuka, ditanami, lalu dibiarkan beristirahat agar subur kembali. Hutan
diberi waktu bernapas, manusia menjaga keseimbangan. Itu semua lahir dari
penghormatan kepada tanah.
Kini kenyataan berubah. Banyak tanah Dayak masuk konsesi
sawit dan tambang. Jalan besar dibangun, namun kampung-kampung justru makin
terpinggir. Ironis sekali, pemilik sah tanah sering berakhir sebagai buruh di
tanahnya sendiri.
Pesan Tjilik Riwut semakin relevan. Tanah tidak cukup hanya
diwarisi. Tanah harus dikuasai, dijaga, dan dikelola. Tanpa itu, Dayak akan
kehilangan identitas. Karena jika tanah hilang, budaya pun ikut runtuh.
Dari Petuah ke Tindakan Nyata
Pertanyaannya kemudian, bagaimana Dayak bisa sungguh menjadi
tuan di tanah sendiri?
Pertama, melalui ekonomi komunitas. Lihatlah gerakan Credit
Union. Bermula dari semangat menabung bersama, kini berkembang menjadi kekuatan
ekonomi rakyat. Dari CU, banyak keluarga Dayak bisa menyekolahkan anak,
membangun rumah, bahkan membuka usaha. CU membuktikan bahwa dengan jujur dan
belarasa, keuntungan dapat diraih.
Kedua, lewat pendidikan. Anak-anak Dayak harus belajar
setinggi-tingginya. Namun tujuan pendidikan bukan untuk meninggalkan kampung
halaman. Pendidikan adalah bekal untuk kembali mengelola tanah dengan bijak.
Bayangkan bila anak muda pulang dengan ilmu pertanian modern, teknologi
informasi, atau pengetahuan hukum. Mereka tidak lagi hanya menjadi pekerja,
melainkan pemilik usaha dan pengambil keputusan.
Ketiga, dengan kesadaran politik. Tjilik Riwut sendiri
menapaki jalan politik demi bangsanya. Ia sadar, tanpa suara politik, Dayak
akan selalu jadi objek pembangunan. Maka generasi Dayak sekarang pun harus
berani bersuara, menentukan arah kebijakan, dan memperjuangkan hak atas tanah
leluhur.
Keempat, dengan menjaga adat. Tanpa adat, tanah kehilangan
roh. Upacara, hukum adat, pantun, dan nyanyian adalah pengikat manusia dengan
tanah dan leluhur. Mengabaikan adat sama saja dengan memutus akar.
Relevansi untuk Generasi Kini
Wasiat Tjilik Riwut lahir puluhan tahun lalu. Namun bagi
generasi kini, pesannya justru semakin terang.
Anak muda Dayak hidup di tengah globalisasi. Mereka merantau
ke kota, bekerja di berbagai sektor, sering lupa pada kampung halaman. Padahal
tanah tetap setia menunggu. Ia tidak pernah meninggalkan. Ia tetap ada, meski
hutan digunduli dan sungai tercemar.
Wasiat itu memanggil generasi muda. Jangan lepaskan tanahmu.
Jangan biarkan orang lain menguasainya. Jangan hanya bercerita tentang tanah,
tapi pastikan tanah itu memberi kehidupan nyata.
Menjadi tuan di tanah sendiri bukan berarti menolak
modernitas. Bukan pula menutup diri dari dunia luar. Sebaliknya, Dayak harus
terbuka, belajar, berjejaring, tetapi tetap berpijak di tanah leluhur.
Modernitas bisa diadopsi, asalkan akar tidak diputus.
Pesan ini sejatinya berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.
Betapa sering sumber daya alam dikuasai segelintir orang, sementara rakyat
kecil hanya menonton. Wasiat Tjilik Riwut adalah pengingat. Jangan sampai kita
hanya punya cerita, sedangkan manfaatnya dinikmati pihak lain.
Menjadi tuan di tanah sendiri artinya berdaulat. Berdaulat
secara ekonomi, politik, budaya, dan spiritual. Itulah inti pesan Tjilik Riwut,
yang hingga kini masih relevan.
“Ela tempun kajang tapi bisa puat. Ela tempun uyah tapi
batawah belai. Tuntang ela ketun cuma tempun tandak ah, tapi uluh je tempun
talatak ah.”
Sebuah wasiat, bukan sekadar kalimat. Peringatan, sekaligus
harapan.
Jangan sampai Dayak hanya pewaris nama. Jangan sampai hanya
pemilik cerita. Jadilah pewaris makna, pewaris manfaat, tuan di tanah sendiri.
Penulis Masri Sareb Putra
0 Comments