Bukan hanya Koes Plus Mania

Murry dan saya: bukan sekadar Koes Plus mania
Murry dan saya: bukan sekadar Koes Plus mania.

Sejak masa SD, saya sudah mengenal Koes Plus. 

Warna musik mereka unik. Khas sekali. Koes bersaudara dengan Murry sebagai plusnya itu adalah kelompok musik yang datang lebih awal dari banyak hal lain dalam hidup saya. Ia masuk, merasuk diam-diam. Rentak irama yang tinggal lama. Bahkan sampai hari ini, jejaknya masih jelas membekas dalam ingatan saya.

Tahun 70-an di kampung kami adalah masa yang tenang. Masa ketika banyak hal masih sederhana. Masa ketika barang-barang tertentu terasa seperti kekayaan besar. Pick-up piringan hitam, misalnya. Atau yang banyak disebut sebagai pemutar piringan hitam. Hanya beberapa keluarga yang memilikinya. Benda itu bukan sekadar alat musik. Ia semacam penanda status sosial. Jika sebuah rumah punya pick-up piringan hitam, orang akan menganggap penghuninya berada sedikit lebih tinggi dari yang lain.

Salah satu yang memilikinya adalah Pak Amok. Ia kepala SD Subsidi tempat saya bersekolah. Sosoknya pendiam, tetapi berwibawa. Rumahnya tidak jauh dari sekolah. Di rumah itu tersimpan pick-up piringan hitam yang menjadi sumber suara yang sering mengalir ke halaman rumah kami. Suaranya mengusik rasa ingin tahu saya sejak kecil. Seakan ada dunia lain yang terdengar dari piringan hitam itu.

Namun ada satu orang lagi yang menghadirkan musik dalam hidup kami. Bruder Frans Palland. Ia orang Belanda bertubuh tinggi besar. Tangan dan tubuhnya dibentuk oleh kerja-kerja tukang bangunan. Ia membangun gereja paroki kami. Orang kampung memanggilnya Pran. Panggilan itu melekat. Seakan ia telah menjadi bagian dari kampung. Tidak lagi sekadar orang asing yang datang dari jauh.

Bruder Frans punya pick-up piringan hitam juga. Dan ia menggunakannya hampir setiap sore. Pastoran menjadi tempat berkumpul kami. Anak-anak kecil duduk rapi. Bangku kayu berat menopang tubuh kami. Suara musik mengisi ruangan empat persegi itu. Sore-sore di kampung berubah menjadi sesuatu yang lebih hangat. Lebih cerah. Lebih hidup. Gembira sukaria bersama ala anak-anak yang masih nir-beban hidup.

Saya masih ingat detailnya. Serambi pastoran itu. Cahaya sore yang masuk dari jendela kayu. Aroma debu halus yang terangkat ketika kami duduk. Suara burung yang kadang terdengar di luar. Lalu musik mengalun. Musik itu datang dari piringan hitam yang berputar perlahan. Jarum di ujung tonearm menyentuh lempeng hitam dengan hati-hati. Getar lembut lahir. Lalu berubah menjadi suara. Semua terjadi begitu saja. Dan kami, anak-anak kampung, merasa seperti menyaksikan keajaiban kecil setiap sore.

Inilah pengalaman pertama saya mendengarkan Koes Plus. Tidak dari radio. Tidak dari kaset. Tetapi dari piringan hitam. Dari mesin bernama turntable yang kala itu terasa seperti alat canggih yang hanya orang-orang tertentu punya. Pada masa itu, turntable adalah teknologi yang menurut kami sangat maju. Motor listrik memutar piringan dengan kecepatan konstan. Tonearm bergerak pelan. Jarum mengikuti lekuk spiral yang tertanam di permukaan piringan. Setiap getaran dibawa naik menjadi sinyal listrik. Lalu menjadi suara.

Namun kampung kami belum punya listrik. Jangkang baru akan merasakan aliran listrik bertahun-tahun kemudian. Karena itu Pran memutar turntable dengan baterai. Sumber tenaga sederhana, tapi cukup untuk membuat musik mengalir. Ini membuat pengalaman itu terasa lebih istimewa. Musik seperti muncul dari kesunyian. Dari rimba. Dari tempat yang jauh dan asing. Lalu tiba-tiba menyentuh telinga kami.

Kami menyukai semua lagu yang diputarnya. Namun bagi saya, satu lagu menancap paling dalam. “Aku Tak Perduli.” Lagu itu menempel pada saya hingga SMA. Dan sampai sekarang, ketika saya mendengarnya, ada gerakan kecil dalam hati saya. Seolah masa lalu datang kembali. Duduk sebentar. Lalu pergi.

Musik Koes Plus memberi ruang untuk kami bermimpi. Ia menghibur kami. Tetapi lebih dari itu, ia mengajarkan tentang kehidupan. Tentang cinta yang tidak terlalu rumit. Tentang harapan kecil yang ingin dipeluk. Musik mereka jujur. Musik mereka langsung. Tidak banyak hiasan. Tidak banyak basa-basi. Mungkin itu sebabnya kami cepat menyukainya.

Saya tumbuh sebagai penyuka berat Koes Plus. Bukan sekadar penggemar. Saya pengagum. Maniak. Musik mereka seakan membentuk pola rasa dalam hidup saya. Setiap lagu punya ruang tersendiri. Dan setiap ruang punya cerita.

Itu sebabnya pertemuan saya dengan Yon, Yok, dan Murry pada tahun 1997 menjadi peristiwa yang sulit dilupakan. Waktu itu, Kompas Gramedia mengadakan acara syukuran tahun baru di belakang kantor. Saya hadir. Saya tidak tahu bahwa ketiga personel Koes Plus akan datang. Tidak ada firasat. Tidak ada angan. Bahkan bermimpi pun tidak.

Ketika mereka muncul, saya seperti kehilangan pijakan sebentar. Ini legenda. Ini orang-orang yang suaranya menemani sore-sore saya di serambi pastoran. Dan kini mereka ada di depan saya. Nyata. Bernapas. Menatap.

Saya merangkul Yon. Ia tidak setinggi bayangan saya selama ini. Tetapi rambutnya tetap seperti dulu. Model rambut yang saya suka sejak lama. Saya tidak banyak bicara. Saya hanya merasakan momen itu. Mengambil sedikit bagian dari seorang legenda yang hidup dalam kepala saya sejak kecil.

Sampai sekarang saya masih sering menyanyikan lagu-lagu mereka di karaoke. Tidak peduli suara saya biasa saja. Tidak peduli nada kadang meleset. Yang penting adalah rasa. Musik itu memberi kebahagiaan kecil yang tidak bisa dicari di tempat lain. Di kampung, ketika ada pernikahan, saya sering diminta naik panggung. Saya tidak bisa menolak. Saya nyanyikan lagu-lagu mereka dengan senang hati. Karena musik itu adalah bagian dari identitas saya.

Suatu kali, rekaman saya saat menyanyikan “Kembali ke Jakarta” masuk ke YouTube. Itu mungkin hal kecil bagi orang lain. Tetapi bagi saya, itu seperti hadiah. Bukti kecil bahwa cinta saya pada musik ini tetap hidup.

Setelah puluhan tahun menjadi pemuja Koes Plus, saya menyusun daftar pribadi. Top Ten lagu Koes Plus yang paling saya suka. Daftar ini berubah kadang-kadang. Tetapi beberapa lagu menetap di sana seperti batu tua.

  1. Aku Tak Perduli

  2. Melati Biru

  3. Bahagia dan Derita

  4. Glodok Plaza Biru

  5. Kutunggu-tunggu

  6. Senja Demi Senja

  7. Ayah

  8. Kembali ke Jakarta

  9. Kolam Susu

  10. Hatimu Hatiku

Daftar ini sederhana. Tetapi ia menyimpan cerita panjang tentang kehidupan saya. Tentang masa kecil. Tentang kampung. Tentang sore-sore yang temaram. Tentang suara musik yang datang dari piringan hitam. Tentang seorang Bruder Belanda yang menghidupkan turntable dengan baterai karena kampung kami belum punya listrik.

Semua ingatan itu masih utuh. Mungkin karena musik memang punya cara sendiri untuk menyimpan masa lalu. Ia menyimpan bau. Suara. Warna kayu. Langit sore yang cahayanya menjelang temaram. Senyum teman. Keheningan yang tiba-tiba pecah oleh nada. Dan semua itu kembali dengan satu sentuhan kecil: lagu yang diputar.

Rambut bisa sama hitam. Tetapi selera tetap berbeda. Namun bagi saya, Koes Plus adalah pilihan yang tidak pernah berubah. Ia seperti bagian pertama yang membentuk diri saya. Bagian yang sederhana. Bagian yang jujur. Bagian yang akan tetap saya simpan, sampai kapan pun.

Masri Sareb Putra

0 Comments

Type above and press Enter to search.