Bologna Raut Wajah Senja | Cerpen Masri Sareb Putra
Ilustrasi oleh: Floren. Dok. Majalah Hidup. |
BOLOGNA sore itu basah setelah diguyur hujan.
Di sebuah tempat, tak jauh dari Piazza del Nettuno, sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga, Luciano duduk terpekur.
Tempat ini masih menyisakan bangunan-bangunan masa Renaisans, yang dahulu kala menjadi tempat persinggahan para maesenas (saudagar).
Mata Luciano terpanah pada rona pelangi yang menghiasi ufuk barat. Di bulan April, seperti di tempat lain di daerah pergunungan Alpen, waktu siang lebih panjang daripada malam. Tak heran, pukul 21.00 matahari masih memantulkan rona senja.
Dari berkas-berkas cahaya itu, Luciano seakan melihat sosok yang dicintainya. Dan kini sosok itu benar hadir, merasuk seluruh jiwa raganya. Perlahan, dikeluarkannya dompet dari saku blue jeansnya.
Di dalamnya masih tersimpan rapi selembar gambar. Semua masih jelas berwarna. Dipandanginya foto Ratih Kumala yang sedang tersenyum, seolah-olah hidup dan berbicara dengan manis. Diusap-usapnya foto itu dengan lembut.
Luciano dan Ratih dulu sering menyusuri Fontana di Nettuno di jantung kota Bologna, seusai menjalani perkuliahan yang padat.
Universitas Bologna memang sangat ketat menerapkan disiplin. Tak heran karena universitas ini sudah lama ada. Satu dari lima universitas tertua dunia, sejak imperium Romawi, yang dikelola secara profesional dan menerapkan kuliah umum. Menjadi cikal bakal studium generale.
Usai kuliah, mereka biasanya mampir di sebuah toko penyewaan novel sastra terkenal atau mencari sepotong pizza yang mudah ditemui di sepanjang jalan pedestrian.
Novel karangan Umberto Eco, Il Nome Della Rosa, yang menjadi terkenal setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, The Name of The Rose, habis mereka baca bersama-sama. Setelah itu, mereka bercengkrama bebas sambil memandangi mawar. Rosa dalam bahasa Latinnya, bunga-bunga cinta yang saat itu sedang tumbuh subur. Kemilau mentari senja yang jatuh menerpa bunga-bunga.
Luciano kini mengajar di almamaternya. Dari kampusnya, Luciano memilih berjalan kaki menuju tempat mereka dahulu biasa bercengkerama.
Perjalanan itu memberinya kesegaran. Bologna adalah kota yang sejuk dan indah. Jalan-jalan terlihat rapi.
Bangunan-bangunannya bergaya Eropa dengan arsitektur yang apik. Bunga-bunga ada di tiap sudut kota. Tapi lebih dari itu, ada keindahan yang menawan hati Luciano. Keindahan yang lebih indah dari Bologna. Keindahan seorang wanita Timur: Ratih Kumala.
Meski beda jurusan, di mana Luciano mengambil Filsafat Modern sementara Ratih mengambil Creative Writing, keduanya sering bertemu pada organisasi kegiatan mahasiswa. Ratih Kumala gadis yang cantik, cerdas, dan lincah. Juga seorang yang radikal pemikirannya. Gadis yang hebat, yang selalu memesona Luciano setiap kali bertutur kata.
Seringkali mereka terlibat dalam penggalangan dana untuk kegiatan sosial. Pernah juga terlibat protes terhadap kebijakan pemerintahan yang pro-perang dan protes anti-aborsi. Mereka sering bertemu, berdiskusi, berdebat, bertengkar, dan akhirnya saling jatuh cinta: sebuah rasa yang berjalan pelan dan akhirnya menjadi begitu dalam.
***
Setelah studinya selesai, Ratih kembali ke negaranya, Indonesia. Ia kemudian bergabung dengan partai oposisi di negaranya. Di sana, ia menjadi salah seorang aktivis antipemerintah yang giat menyuarakan demokratisasi. Sementara Luciano tetap di Bologna, melanjutkan studi program doktoralnya di Universitas Bologna. Kini Luciano menjadi pengajar di sana dan tengah menyusun disertasi mengenai teori Machiavelli dan praktiknya di Indonesia.
Sejak perjumpaan terakhir, mereka tak pernah bertemu lagi. Luciano tak pernah menerima kabar dari Ratih. Kabar yang ia dapatkan lebih banyak mengenai situasi genting politik di Indonesia.
Luciano sering melihat demo besar-besaran di Indonesia melalui jaringan televisi internasional. Terakhir, ia dengar bahwa Ratih dikenai cekal dan tidak bisa pergi ke luar negeri. Kabar itu memang samar-samar. Satu-satunya kabar dari Ratih yang pernah Luciano terima adalah setahun lalu lewat email yang memberitahukan bahwa Ratih sedang dalam tekanan dan sulit berhubungan dengan dunia luar. Ia bilang butuh bantuan. Bantuan macam apa, Luciano tak tahu. Tapi yang paling ia syukuri adalah Ratih masih hidup. Berarti ia masih punya harapan.
“Kau tahu Luciano, aku harus pergi. Jika harus memilih, aku ingin tetap bersamamu. Ingin terus membelai wajahmu. Ingin merapikan bajumu, ingin terus membaca bait-bait Umberto Eco bersamamu,” kata Ratih pada Luciano suatu pagi sebelum kembali ke negaranya.
“Tapi negaraku sedang gawat. Di sana rakyat semakin miskin. Pemerintahan sekarang ini diktator dan korup. Rakyatku menderita, Luciano. Aku harus bantu mereka. Mungkin aku tak bisa berbuat terlalu banyak untuk rakyatku, tapi aku tak akan tahan bila aku terus di sini mendengarkan rakyatku tiap hari mati dengan menyedihkan,” Ratih berkaca-kaca.
Tangan Ratih mengusap pipi Luciano. Sentuhan jemari lentik itu terasa damai. Ia berbisik lembut lagi hangat. “Aku cinta kamu, Luciano. Namun, aku juga cinta orang tua dan negaraku. Kita lakukan tugas dan panggilan masing-masing. Kuharap kita masih bisa bertemu lagi suatu saat nanti.”
Itulah ucapan terakhir Ratih pada Luciano. Luciano diam termangu. Tak berkata sepatah pun.
Sampai kini, Luciano masih menanti pertemuan seperti dulu. Sekali waktu, dalam sepekan, ia menyempatkan diri datang ke taman bunga sudut kota Bologna sekadar menghibur diri. Atau mengingat-ingat kenangan masa lalu. Saat Ratih masih bersamanya. Mungkin ini pengharapan yang sia-sia dan naif. Namun, ia terus mencobanya. Ia tak putus berharap. Semoga penantiannya berujung kenyataan.
Luciano terus mencari informasi perkembangan di Indonesia. Kabar terbaru yang ia dapat dari jaringan berita internasional ialah bahwa situasi Indonesia makin parah. Rakyat yang muak pada rejim Orde Baru mulai tak sabar.
Beberapa waktu yang lalu, tentara menembaki mahasiswa yang demo. Mereka menangkapi para oposan. Termasuk salah satu aktivis perempuan juga ditangkap.
“Mungkinkah Ratih?” Luciano benar-benar merasa takut itu terjadi. Segera ia buang bayangan itu. Bisa saja Ratih diculik. Lalu dibunuh.
Ratih diculik? Lalu tak kembali lagi? Inilah yang paling ditakutinya.
Luciano juga mendengar kabar bahwa demo besar-besaran di Jakarta belum mampu menumbangkan rezim yang otoriter. “Mungkinkah Ratih bisa bebas?” gumam Luciano dalam hati.
Ia coba mengontak Departemen Luar Negeri. Tapi belum juga dapat kabar soal Ratih. Luciano tak ingin terjadi apa-apa pada kekasihnya. Ia benar-benar putus asa.
“Apakah Ratih sudah mati?”
“Tidak! Tidak! Ratih tidak boleh mati,” Luciano menghibur diri. “Dia sudah berjanji bertemu denganku. Ratih tak pernah berdusta. Dan dia pasti selamat.” Kepala Luciano terasa berat. Ia limbung.
Ini tahun kelima sejak pertemuan terakhirnya dengan Ratih. Luciano masih sering pergi ke taman bunga itu. Sore itu, Luciano sengaja menambah jejak kaki baru di sana. Menelusuri kembali jalan kenangannya bersama Ratih. Ia ingin menenangkan diri. Mendinginkan kepala dan pikiran seusai kuliah.
***
Tadi malam, via Yahoo, Luciano menerima kiriman email dari Ratih.
Luciano Tardelli-ku yang baik,
Kita pernah sama-sama baca Il Nome Della Rosa karya Umberto Eco yang indah itu. Kita tahu, tokoh dalam novel itu unik. Satu hidup di balik tembok biara. Yang lainnya di luar. Namun, bisa menyatu karena cinta.
Perasaanku hari ini aneh sekali.
Aku merasa jadi seperti tokoh dalam novel itu. Kamu jadi Adso dan aku gadisnya. Tembok biara Benedictin memang kokoh dan tinggi. Namun, itu tak menghalangi dua manusia menjalin cinta. Meski terkotak oleh profesi dan pilihan hidup.
Ya, cinta memang lebih kuat dari segalanya. Bahkan, kadang lebih kuat daripada maut. Kita akan menjadi cinta.
Maafkan aku karena masih belum bisa menepati janji bertemu denganmu.
Best wishes,
Ratih Kumala Dewi
Jakarta, 26 November 2008.