Duri Cinta Kebun Sawit (31) | Pengkhianatan Itu Nyata di Dunia Kerja
Duri Cinta Kebun Sawit: Pengkhianatan itu nyata di dunia kerja/AI. |
Sementara itu. Di dalam sebuah kamar yang terkunci rapat....
Magdalena dan Janting tenggelam dalam dunia mereka sendiri—dunia yang tak membutuhkan bahasa. Kulit, napas, dan suara menjadi medium yang cukup untuk saling memahami.
Ketika tubuh mereka akhirnya menyatu, Magdalena mengeluarkan erangan pelan, bukan semata karena kenikmatan, tapi juga kelegaan. Seolah seluruh tekanan dunia bisnis dan luka pengkhianatan bisa luruh dalam pelukan satu pria—yang justru paling tak seharusnya ia cintai.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (30) | Malam Gemuruh Penuh Peluh
Namun, kenikmatan itu tak akan berlangsung lama.
Magdalena tahu, di balik semua ini, seseorang tengah merencanakan sesuatu—sesuatu yang akan mengubah malam ini menjadi malam terakhir dalam ketenangan.
Setelah pertemuan yang penuh ketegangan di kantor, Magdalena pulang ke rumah. Tapi setibanya di sana, hatinya mencelos: pintu rumah terbuka.
Degup jantungnya makin cepat. Ia melangkah masuk dengan waspada. Di ruang tamu, matanya menangkap sesuatu di atas meja: sebuah amplop.
Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu. Di dalamnya ada sebuah foto: foto dirinya dan Janting, sedang berpelukan di hutan.
Di bawah foto, tertera tanda tangan. Ia mengenalnya. Tanda tangan seorang kolega lama, seseorang yang dulu ia percayai sepenuh hati. Kini jelas sudah: pengkhianatan itu nyata. Seseorang di dalam perusahaannya telah berkomplot dengan pihak luar. Dan yang paling mengerikan: mereka tahu semuanya—termasuk hubungan gelapnya dengan Janting.
Magdalena duduk di tepi ranjang, menggenggam amplop itu erat-erat. Sebuah pilihan kian mendesak: akankah ia menghadapi kenyataan dan menghancurkan kariernya? Atau tetap berjuang demi cinta… dan demi tanah yang selama ini mereka perjuangkan bersama?
8
Jalan Salib Itu
Pagi menyapa dengan hangat, tapi bagi Magdalena, embun pagi tak mampu memadamkan bara semalam. Ia terbangun dalam pelukan Janting. Kulit mereka masih bersentuhan, napas lelaki itu menghangatkan bahunya. Tapi mata Magdalena menatap langit-langit kamar—seolah ada salib tak kasatmata menggantung di atas ranjangnya.
Salib pertama: beban hidup.
Ia sadar, hidup ini adalah pilihannya sendiri. Ia memilih menikah muda demi cinta yang ia kira abadi. Ia membangun karier dari nol, mendobrak stereotip, membuktikan bahwa perempuan bisa berdiri di puncak menara perusahaan. Tapi di balik layar: anak-anak yang ia tinggalkan setiap hari, suami yang sibuk mabuk proyek dan perempuan lain, serta berita-berita palsu yang menghantamnya tanpa ampun.
Namun ia tetap bertahan. Seperti ia memilih mengenakan high heels 12 cm dan lipstik merah darah di setiap rapat penting—semuanya adalah bagian dari panggung hidup yang ia mainkan sendiri.
Salib kedua: jalan fitrah manusia.
Di sudut kamar, ponselnya berbunyi. Belasan notifikasi menanti. Ia kembali menjadi direktris. Ia kembali menjadi homo faber—manusia yang mencipta dan bekerja demi upah.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (29) | Ujian di Tempat Kerja
Hari ini, rapat besar menantinya. Dokumen merger harus diteken. Tapi bocoran foto dirinya dan Janting mulai beredar. Musuh dalam selimut. Mata-mata yang selama ini tak terlihat, kini mulai mencuat.
Ia mandi, lalu mengenakan baju dalam berenda hitam, jas putih gading, dan sepatu yang sama saat ia pertama kali mengikuti wawancara kerja, dua belas tahun lalu. Sebelum jadi CEO. Sebelum jadi lambang kekuatan dan daya pikat yang membuat semua mata tertuju padanya.
Salib ketiga: jalan belarasa.
Saat Janting terbangun dan menatapnya dengan mata cemas, Magdalena tahu: cinta ini bukan sekadar tubuh dan sentuhan. Cinta ini adalah panggilan. Ia ingin menebus luka Janting—pria yang pernah difitnah, dipecat, dan dibuang hanya karena kejujurannya. Ia ingin dunia sedikit lebih adil, meski jalan yang ia pilih penuh risiko.
“Pakai jasmu,” katanya lembut, menyentuh pipi Janting. “Kita akan melawan mereka. Bersama.”
Janting tersenyum. Ada luka dalam senyum itu, tapi juga secercah harapan. Mereka bukan pasangan sempurna, tapi mereka saling menanggung.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (28) | Duri Sawit yang Mulai Melukai
Di ruang rapat yang dingin dan modern, Magdalena berdiri. Kamera keamanan merekam setiap geraknya. Lawan-lawannya hadir, duduk manis, menyusun jebakan.
“Merger ini… saya tolak,” katanya tenang, tapi tajam.
Ruangan seketika gaduh. Tapi Magdalena tetap tegak. Seperti Kristus menapaki bukit Golgota, ia tahu: jalan yang ia pilih hari ini adalah jalan salib ketiga—panggilan untuk membela mereka yang tak bersuara.
Rapat bubar dalam kegaduhan.
“Uwah huh….!”
Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)