Duri Cinta Kebun Sawit (30) | Malam Gemuruh Penuh Peluh

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat,

Duri Cinta Kebun Sawit (30)
 Malam gemuruh penuh peluh. Ilustrasi by AI.

Magdalena segera meninggalkan ruang rapat. Ia bergegas menuju kantor pribadi. 

Semua orang tampak sibuk dengan tugas masing-masing, tetapi Magdalena hanya ingin keluar dari kantor itu. Ia perlu bertemu dengan Janting. Tak ada yang bisa memahaminya lebih baik daripada pria itu.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (29) | Ujian di Tempat Kerja

Magdalena tiba di rumah Janting, kali ini lebih cepat dari biasanya. Begitu ia masuk ke dalam, Janting sudah menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi wajah yang serius, tetapi matanya memancarkan sesuatu yang lebih: semacam api yang menyala, yang mengundang. Menunggu.

"Ada apa?" tanya Magdalena, suaranya cemas, terpotong oleh getaran yang ia coba pendam.

Janting mengangkat tangannya, menenangkan. "Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, Magdalena. Kudengar rumor tentang pengkhianatan yang melibatkan orang-orang terdekatmu."

Magdalena merasakan darahnya berdesir, bergolak. Ia tahu itu bukan sekadar rumor. 

Ada sesuatu yang lebih nyata, lebih berbahaya, dan lebih menggoda di balik kata-kata Janting. Sesuatu yang bisa menghancurkan semuanya, dan membangkitkan api yang lebih liar.

"Kita harus bergerak cepat," lanjut Janting. "Aku bisa membantumu, tapi kau harus bisa mempercayai aku."

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (28) | Duri Sawit yang Mulai Melukai

Magdalena menatapnya dalam-dalam. Merasakan intensitas hubungan mereka yang semakin mendalam. Mata Janting yang penuh rahasia itu menyelam lebih dalam ke dalam dirinya, seperti ingin menembus lapisan-lapisan tersembunyi yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun.

"Aku percayakan semuanya padamu, Janting. Tapi aku juga harus melindungi perusahaan ini."

Janting mendekat, menurunkan suaranya menjadi lembut, begitu lembut, seolah-olah suara itu sendiri adalah godaan. "Kau tak perlu berpikir sendirian. Kita bisa menghadapinya bersama-sama."

Magdalena merasakan cengkeraman hasrat dan ketegangan yang begitu kuat. Meski dunia luar menuntut keseriusan dan keteguhan hati, ia tak bisa melupakan bagaimana tubuhnya merespons Janting. Ciuman mereka yang memabukkan, sentuhan yang menggoda, setiap helaan napas yang seperti janji yang belum terlunasi. Magdalena tahu ia tak hanya jatuh hati pada Janting. Ia jatuh ke dalam dunia yang lebih besar dari sekadar cinta.

Namun, ia juga tahu pertarungan yang lebih besar menantinya. Yakni pertempuran untuk mempertahankan dua dunia yang sekarang saling beradu. Dunia yang tak lagi hanya terdiri dari angka dan kalkulasi, tetapi juga dari tubuh yang saling mendamba.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (25) | Sentuhan yang Mengerti

Udara malam terasa pekat, nyaris seperti beludru hitam yang membungkus rumah itu dalam keheningan yang menggoda. Setiap desahan angin berbisik dengan suara lembut, penuh hasrat yang tak terucap.

Di kamar yang remang, Magdalena berdiri membelakangi cermin besar. Perempuan muda itu hanya mengenakan kemeja putih milik Janting yang terlalu kebesaran di tubuh langsing semampainya. Rambutnya tergerai, sedikit kusut, membingkai wajahnya yang dipenuhi kecemasan dan keinginan. 

Pipinya memerah, bukan karena malu, tetapi karena denyut darah yang terus mengalir deras sejak percakapan terakhir mereka. Setiap detik, tubuhnya terasa lebih terjaga, seperti akan meledak.

Janting muncul dari balik kamar mandi, rambutnya masih basah, hanya mengenakan handuk yang menggantung rendah di pinggang. Ia menatap Magdalena dengan mata seperti bara yang menyala: panas, sabar, tapi siap membakar apa pun yang menyentuhnya. Lirikan itu seperti undangan, dan Magdalena tahu betul, dia tak akan bisa menolaknya.

Magdalena memutar tubuh perlahan. Mata mereka bertemu. Tak ada kata yang perlu diucapkan. Yang ada hanya ketegangan. Tarikan. Sebuah hasrat yang lebih kuat dari sekadar nafsu. Ini adalah keterikatan. Kebutuhan yang terpendam terlalu lama, hingga tak bisa lagi dibendung.

"Sepertinya kamu datang bukan hanya untuk bicara strategi, Magda..." suara Janting serak, nyaris berbisik, menggantung di udara.

Magdalena berjalan mendekat, setiap langkahnya tergerus ketegangan yang semakin mencekik. Satu per satu kancing kemeja itu terlepas, seperti tubuhnya ingin membebaskan dirinya sendiri dari semua tekanan dunia luar. Ia melepaskan ikatan antara tubuh dan akalnya, dan hanya membiarkan naluri yang berbicara.

"Mungkin aku datang... untuk memastikan bahwa satu-satunya hal yang masih membuatku waras... tetap di sini," katanya, suara rendahnya seperti beludru di kulit, merayap masuk ke dalam setiap sela ruang yang ada di antara mereka.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Janting menatap lekat, dan dengan langkah sigap, ia mendekap Magdalena dari belakang. Tangan besarnya menyusuri lekuk pinggang wanita itu, jari-jarinya bermain-main di garis batas kewarasan. Napasnya menghangatkan tengkuk Magdalena, menambah gelombang yang sudah begitu menggoda. Setiap embusan nafasnya membuat tubuh Magdalena bergidik, bukan karena dingin, tapi karena rasa nyaman yang berbaur dengan ancaman.

"Aku ingin kamu," bisik Janting, lidahnya nyaris menyentuh kulit leher Magdalena, "tapi aku juga ingin melindungimu. Dunia yang kita hadapi tak mengenal belas kasih."

Magdalena membalik tubuhnya, menatap pria itu, menyentuh wajahnya dengan lembut, tetapi tegas. Seperti ingin memastikan bahwa tidak ada lagi keraguan antara mereka.

"Kalau begitu, cium aku. Dan buat aku lupa... walau hanya malam ini... bahwa besok mungkin dunia akan terbakar."

Janting tidak menunggu. Ciumannya datang seperti badai yang sudah lama ditahan. Liar, dalam, tak terukur. Bibir mereka menyatu, lidah mereka saling menari, mengeksplorasi, mengklaim. Tubuh mereka saling mencari, mengisi ruang yang telah lama kosong. Setiap ciuman seperti melepaskan sesuatu yang telah lama terkurung, dan seiring dengan itu, mereka terjerat dalam pusaran nafsu yang semakin tak terkendali.

Ketika ia mengangkat Magdalena dan membaringkannya di ranjang, dunia di luar mereka menghilang. Tak ada merger. Tak ada pengkhianat. Hanya detak jantung, napas yang memburu, dan suara tubuh yang bersatu dalam irama purba. Begitu dalam, begitu liar, seakan-akan mereka adalah satu, tak terpisahkan oleh waktu.

Namun di balik gemuruh gairah itu, sebuah bahaya menyusup perlahan. Di luar rumah, seseorang sedang memotret dari kejauhan. Lensa kamera membidik tepat ke jendela kamar. Sebuah klik pelan terdengar, disertai senyum dingin dari seseorang dalam bayang-bayang.

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar