Duri Cinta Kebun Sawit (25) | Sentuhan yang Mengerti

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

Duri Cinta Kebun Sawit (25)
Magdalena menyerahkan dirinya pada sesuatu yang lama ia rindukan by AI.


Sofa di ruang tamu itu bukan lagi sekadar tempat duduk. Ia menjelma altar sunyi, tempat Magdalena menyerahkan dirinya pada sesuatu yang lama ia rindukan: sentuhan yang mengerti.

Ketika Janting menyentuh bagian dalam lengannya, Magdalena memejamkan mata. Kulitnya bereaksi seperti lembar surat yang dibaca perlahan. Urat nadinya berdetak kencang. Tubuhnya—yang selama ini hanya menjadi alat bagi rutinitas rumah tangga—kini terasa hidup, peka, dan liar dalam diam.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (24) |Terikat Sesuatu Lebih Besar dari Sekadar Hasrat

Ia menarik napas panjang, lalu melepaskannya seperti helaan doa.
Pelan, Janting menyusuri tubuhnya. Ia mencium bagian bawah telinga Magdalena—tempat paling sepi, yang hanya disentuh angin dan kenangan. Magdalena menggeliat kecil. Bukan karena geli, tapi karena tubuhnya seperti sedang belajar bahasa baru: bahasa yang tak diajarkan dalam rumah tangga, tak ditemukan dalam doa malam. Bahasa tubuh yang lama terkubur di balik kesetiaan yang sunyi.

“Jangan berhenti…” bisiknya, nyaris seperti rintihan.
Dan Janting mendengar.
Ciumannya turun ke bahu Magdalena, lalu menyusuri garis tulang selangkangan yang menonjol tipis. Kulit Magdalena hangat dan menguap, seolah pori-porinya membuka diri, menyambut musim yang baru—musim disentuh.

Tubuhnya menegang saat Janting menggenggam pinggangnya, menariknya lebih dekat. Tak ada lagi jarak. Payudara Magdalena menempel di dada Janting yang hangat dan berdebar. Ia merasa seperti remaja, namun juga seperti perempuan dewasa yang tahu persis apa yang ia inginkan.
Dan malam itu, ia menginginkannya semua. Tidak setengah. Tidak separuh. Semua.
Magdalena mengerang pelan—bukan karena nyeri, melainkan kenikmatan yang lembut, mengalir seperti air hangat di tubuhnya yang beku selama bertahun-tahun. Ia melingkarkan kakinya di pinggang Janting, membiarkan dirinya dituntun oleh ritme yang tak bisa ia kendalikan, tapi justru ingin ia serahkan sepenuhnya.

Seperti air pasang yang mencapai puncak, tubuh Magdalena mendesir, menggigil, dan—meledak dalam diam yang megah.
Ia mengejang.
Dan sekejap kemudian, dunia menjadi putih. Kosong. Hening.

Jujur, Magdalena belum pernah merasa seperti ini. Tidak dalam pernikahannya. Tidak dalam pelukan suaminya. Ini berbeda. Ini bukan sekadar seks. Ini adalah penemuan diri. Ia baru saja menemukan dirinya sendiri—yang selama ini terkunci di balik kesopanan, kewajiban, dan kamar yang dingin.

Janting menatapnya. Tak berkata. Hanya menggenggam tangannya, seolah ingin menyampaikan: aku di sini. Untukmu. Sepenuhnya.

Malam terus berjalan, tapi waktu seolah berhenti untuk mereka.
Magdalena terbaring di dada Janting. Napasnya mulai teratur, meski tubuhnya belum benar-benar tenang. Ia menatap langit-langit ruang tamu seperti sedang mencari makna dari segalanya. Tangannya masih menggenggam jari-jari Janting—jari yang tadi menyusuri tubuhnya dengan kesabaran seorang seniman.

Ia baru saja merasakan kenikmatan yang utuh. Bukan sekadar fisik, tapi kenikmatan menjadi diinginkan.
Tak pernah sebelumnya ia merasa sepenting ini. Dalam pelukan suaminya yang dingin dan penuh diam, tubuh Magdalena hanyalah benda. Tapi tadi malam, tubuhnya menjadi cerita—medan perasaan yang dibaca perlahan, dipahami, dihormati, bahkan disembah.

Namun bersama kenikmatan itu datang suara kecil dari dalam dirinya.
"Apa yang kau lakukan, Magdalena?"
Ia menggigit bibirnya sendiri, lalu membalik tubuh, memandangi wajah Janting yang setengah tertidur. Cahaya lampu sudut menyoroti garis rahangnya, bayangan tipis jenggot, dan napasnya yang dalam. Lelaki itu bukan hanya kekasih sesaat. Ia adalah bahaya. Ia adalah kemungkinan. Ia adalah sesuatu yang nyata dan menggoda untuk terus didekati.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (23) | Magddalena: Lukisan yang Tahu Dirinya Fana

Janting membuka matanya.
“Aku tahu wajah itu,” gumamnya setengah bangun. “Kau sedang merasa bersalah.”
Magdalena menunduk. “Aku seharusnya tidak membiarkan ini terjadi. Tapi… aku juga tak bisa menahannya.”
“Kau tak membiarkannya. Kau menginginkannya.”

Sunyi. Tapi bukan sunyi kosong. Ini sunyi antara dua orang yang tahu: mereka telah melewati batas. Dan tak ada jalan kembali yang sama seperti dulu.

“Kenapa kau diam saja waktu aku sentuh?” tanya Janting, pelan.
Magdalena menarik napas panjang. “Karena tubuhku lebih jujur dari pikiranku. Ia merindukan sesuatu yang bahkan tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Dan kau… datang membawa bahasa itu.”

Janting bangkit perlahan, duduk, dan menatapnya.
“Magdalena, kalau ini hanya soal gairah, kita berhenti di sini. Tapi kalau ini soal kau yang merasa hidup kembali… maka jangan berpaling.”

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Magdalena tak menjawab. Ia hanya menatap Janting—dan tiba-tiba tubuhnya bergetar pelan. Bukan karena dingin. Tapi karena ia tahu: ia akan kembali membiarkan dirinya tersesat malam ini.

Dan benar saja.
Ciuman Janting datang lagi.
Kali ini lebih dalam, lebih lembut, lebih seperti pengakuan.
Seperti kata "aku mencintaimu" yang belum berani diucap, tapi telah menetes dari setiap sentuhan mereka.

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar