Duri Cinta Kebun Sawit (23) | Magddalena: Lukisan yang Tahu Dirinya Fana
Magddalena: Lukisan yang tahu dirinya fana by AI. |
Janting masih terlelap. Bibirnya tenang, seperti lelaki yang tak pernah berdusta. Tapi di dada Magdalena, kepercayaan sudah rontok jadi abu. Tidak ada satu pun yang masih utuh, selain tubuhnya sendiri—dan itu pun, kadang, ia ragukan milik siapa.
Ia menarik selimut, membungkus diri. Tapi dingin itu bukan dari udara. Ia datang dari dalam. Dingin yang tumbuh seperti racun: pelan, namun pasti.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (22) | Magdalena Memegang Rahasia Project Cassandra
Janting menggeliat. “Lena?” gumamnya, matanya masih setengah gelap. Magdalena menoleh. Ada letupan di dada, seperti ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya desah tanpa suara.
Janting bangkit, mendekat. Tangannya—yang kasar tapi tahu persis bagaimana menyentuh—mendarat di pinggang Magdalena. Gerakan itu familiar, terlalu familiar. Tubuhnya masih ingat jalan. Masih mencari Magdalena seperti laut mencari muara.
Dan Magdalena? Ia tetap membuka diri. Tetap meleleh. Meski otaknya sudah penuh alarm dan tanda tanya. Karena mungkin, lelaki ini bukan pelindung… tapi predator dengan topeng cinta.
Mereka bercinta lagi. Lambat. Dalam. Seperti dua tentara yang tahu ini pertempuran terakhir mereka. Gerakan yang pernah hangat, kini seperti ritual sebelum pengkhianatan. Di antara lenguhan, ada air mata. Magdalena menangis. Tapi Janting tak berhenti. Mungkin tak sadar. Mungkin sengaja.
Usai. Napasnya tak beraturan. Di sebelahnya, Janting tertidur cepat. Seolah seks adalah doa yang meninabobokkan, bukan pertempuran batin.
Magdalena membuka ponsel. Jari-jarinya gemetar.
"Aku siap bertukar posisi. Jika dia dalangnya, aku ingin jadi algojo terakhirnya. Tapi beri aku satu malam lagi. Satu pelukan terakhir."
Malam turun seperti tirai sutra hitam. Vila tua di lereng gunung itu sunyi. Dindingnya ditumbuhi lumut. Jendelanya besar, seolah mengundang malam masuk tanpa izin. Dan ranjangnya… masih menjadi altar untuk tubuh-tubuh yang saling menggigit antara cinta dan pengkhianatan.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (21) | Magdalena bisa berdansa dengan siapa saja
Magdalena menyisir rambut pelan, telanjang di depan cermin. Payudaranya mengayun lembut, refleksinya seperti lukisan yang tahu dirinya fana. Di belakang, Janting menyalakan rokok. Tubuhnya setengah terbalut, punggungnya penuh luka.
Dulu, luka-luka itu terlihat heroik. Sekarang, Magdalena mulai curiga: apakah itu bekas perjuangan, atau desain untuk memancing simpati?
“Besok kita ke Sempadan,” gumam Janting.
Magdalena masih menyisir. “Kenapa ke sana?”
“Karena di sana kita bisa mulai ulang. Nama baru. Hidup baru.”
Seharusnya kata-kata itu menenangkan. Tapi yang tumbuh hanya curiga. Ia mendekat. Duduk di atas pangkuan Janting. Tubuhnya menempel. Lembut. Hangat. Tapi juga penuh siaga.
“Apa kau percaya padaku?” bisiknya.
“Percaya itu kemewahan,” Janting menjawab. “Tapi aku tetap memilih tidur di sisimu setiap malam.”
Kalimat itu puitis. Namun juga dingin. Seperti pisau yang dibungkus beludru.
Magdalena mencium bibirnya. Dalam. Lalu lebih dalam. Tangannya menjelajahi tubuh Janting—bukan untuk mengingat, tapi memetakan titik-titik lumpuh. Jika saatnya tiba, ia harus tahu di mana menikam, seberapa dalam, dan secepat apa menghilang.
Dan tubuh Janting masih... menyambut. Masih keras. Masih seperti tongkat api yang pernah membuat Magdalena ketagihan.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (20) | Antara Cinta dan Pengkhianatan
Sialnya: ia masih menikmati. Di tengah gelombang gairah, ia berpikir, mungkin ini memang kutukan: mencintai lelaki yang mungkin harus ia bunuh.
Tapi bukankah cinta yang sejati, memang selalu dekat dengan maut?
Mereka bercinta sampai tubuh keduanya basah oleh peluh dan cairan yang tak bisa disebut dengan sopan. Erangan berubah jadi mantra. Setiap desahan menyembunyikan kepedihan. Tapi mereka tetap saling melahap. Seolah gairah bisa menebus semua dusta.
Magdalena bangkit ketika Janting tertidur lagi. Masih telanjang. Masih berlumur bekas cinta yang nyaris menjijikkan kalau bukan karena rasa.
Ia menyalakan ponsel gelap. Jari-jarinya cepat.
"Besok pukul 03.30. Koordinat sama. Aku akan pastikan dia tidak bangun lagi."
Ia kembali ke ranjang. Memeluk Janting dari belakang. Tubuhnya menyatu—bukan karena rindu, tapi karena luka. Karena kesedihan yang terlalu besar untuk dipisahkan dari gairah.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Ia mencium tengkuknya. Lembut. Dan berbisik:
“Kalau semua ini harus berakhir… biar aku yang mengakhirinya.”
Tapi yang ia tak tahu: Janting, yang tampaknya tertidur, justru tersenyum. Samar. Licik. Seperti lelaki yang tahu bahwa cinta paling berbahaya… adalah cinta yang pura-pura kalah.
Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)