Duri Cinta Kebun Sawit (22) | Magdalena Memegang Rahasia Project Cassandra

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

Duri Cinta Kebun Sawit
Magdalena memegang rahasia Project Cassandra by AI.

Hujan turun seperti dendam di kota khatulistiwa.

Magdalena berlari menembus gang sempit di belakang terminal Kampung Bali. Hujan menampar kulitnya seperti bisikan dosa. 

Kaus V-neck hitam kesayangannya sudah basah kuyup, melekat seperti kulit kedua. Memperlihatkan cetakan dari payudara yang bergetar tiap kali ia menarik napas. 

Rok blue jean yang selalu 20 cm di atas lutut menampakkan paha yang licin dan menggigil, tapi tetap teguh melangkah. Rambut hitamnya tergerai liar, mengilap di bawah lampu-lampu jalan yang remang. 

Sepatunya tergelincir. Tangannya berdarah. Tapi di genggamannya: chip data penuh rahasia kotor BayarTech.

Duri Cinta Kebun Sawit (21) | Magdalena bisa berdansa dengan siapa saja

Suara sepatu mengejar dari belakang. Sirene meraung. Teriakan menggema.

Tapi tak ada Janting.

Magdalena sempat takut. Mungkin lelaki itu sudah tertangkap. Mungkin sistem gagal. Mungkin Dirga lebih cepat.

Lalu, dari bayangan tembok yang basah, suara familiar menyusup masuk.

"Ke sini."

Pelan. Tapi penuh listrik.

Magdalena berbalik. Janting berdiri di bawah seng bocor, tubuhnya basah kuyup, kaus tipisnya menempel erat di dada bidangnya, membentuk bayangan otot dan luka. Tapi sorot matanya tetap panas seperti bara yang belum padam.

Dia menggenggam tangan Magdalena. Menyeretnya masuk ke dalam bangunan tua tak berpenghuni.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (20) | Antara Cinta dan Pengkhianatan

Di dalam, dingin. Bau tanah lembap dan besi karatan. Tapi mereka tak bicara. Hanya napas.

"Kenapa kau lambat?" bisik Magdalena, setengah marah.

"Kenapa kau masih hidup?" tanya Janting, lebih marah.

Mereka saling menatap. Mata melawan mata. Tubuh melawan rindu.

"Aku lihat rekamanmu dengan Dirga."

Magdalena tertawa dingin. “Cemburu?”

"Curiga."

"Lalu?"

"Aku tetap mencarimu. Tetap menyelamatkanmu. Itu cukup menjawab, bukan?"

Mereka diam.

Di luar, hujan makin deras. Tapi di dalam, mereka lebih basah dari cuaca.

Tubuh Magdalena menggigil. Entah karena hujan atau karena Janting. Ia membuka jaketnya, menyisakan hanya kaus V-neck basah yang nyaris transparan, dan rok yang masih membungkus pahanya yang mengkilap air. Bukan untuk menggoda, tapi karena dingin. Tapi Janting… tak bisa diam.

Tangannya menyentuh lengan Magdalena. Kulit yang dulu hanya ia jamah dalam kesunyian kamar hotel, kini seperti medan perang baru. Tangan itu naik. Ke pundak. Ke leher. Ke rahang yang sedikit terluka. Jemarinya berhenti sebentar di garis dada Magdalena yang naik-turun cepat di balik kaus tipis, lalu turun perlahan ke pinggang dan berhenti di batas rok denim itu.

“Kenapa kamu selalu kembali ke aku, Lena?” tanya Janting.

Karena kamu satu-satunya yang tahu... cara membuat tubuhku bicara, pikir Magdalena. Tapi yang keluar hanya,

"Aku lelah berlari sendirian."

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (18) | Sosok yang Menunggu depan Lift Kaca

Dan di saat itu juga mereka berhenti bersembunyi dari satu sama lain. Janting mencium Magdalena. Liar. Rakus. Tapi juga penuh luka. Ciuman yang bukan hanya hasrat, tapi juga pertanyaan. Apakah ini akhir? Atau awal dari kekalahan?

Tubuh mereka menempel. Basah. Hangat di tengah dingin. Magdalena melepaskan rok jeansnya, menyisakan hanya kaus yang menempel seperti kabut di kulit. Janting menariknya ke lantai berdebu. Tak ada tempat tidur. Tak ada selimut. Tapi ada kulit yang saling mengingat.

Janting masuk ke dalam dirinya seperti menemukan rumah yang pernah hilang. Dan Magdalena melenguh pelan. Masih pas.

Masih satu-satunya pasak yang bisa menancap sampai ke dasar.

Tubuh Magdalena berguncang tiap gerakan Janting. Kaus hitam itu tergulung ke atas, memperlihatkan dada yang mengeras oleh udara dingin dan sentuhan panas. Di antara napas yang tersengal dan suara hujan yang mengamuk di luar, hanya lenguhan dan desir kulit yang berbicara.

Setelahnya, mereka terbaring di lantai. Tubuh mereka berkeringat, tapi dingin. Di luar, sirene makin dekat.

“Kita akan dikejar terus,” kata Magdalena.

“Lalu?”

“Kalau harus mati, aku mau mati seperti ini. Dalam pelukan orang yang membuat aku ingin hidup.”

Janting tersenyum. Tapi matanya penuh bayangan.

Di layar kecil di sakunya, muncul peta pergerakan tim taktis BayarTech. Mereka dikepung. Tapi Janting punya rencana.

Dan di benaknya, satu kalimat berulang seperti mantra: kalau dunia harus hancur, biarlah aku tenggelam di tubuh Magdalena dulu.

Subuh di perbatasan….

Langit masih biru kelam. Udara bau tanah dan rahasia. Magdalena duduk menyandar di dinding bangunan kayu tua, kulitnya masih hangat dari tubuh Janting. Kaus V-neck-nya belum diganti, kusut dan terbuka di dada, menyisakan bayangan kenangan semalam. Ia memandangi lelaki itu: tertidur setengah telanjang di atas matras tipis, napasnya tenang, seolah tak ada dunia yang mengejar mereka.

Tapi ada yang mengusik benak Magdalena.

Semalam, saat mereka melarikan diri dari Pontianak, Janting terlalu mudah menembus sistem. Terlalu cepat membaca gerakan Dirga. Terlalu siap. Seperti seseorang yang tahu jalan, karena ikut merancang peta.

Magdalena bangkit perlahan. Telanjang kaki, melangkah pelan menuju tas Janting. Ada laptop kecil. Flashdisk hitam. Dan satu hal yang membuat jantungnya mencelos: akses biometrik BayarTech.

Bukan level peretas. Ini level eksekutif.

Tangannya gemetar. Jari-jari yang tadi malam menari di tubuh Janting, kini mencoba membuka folder-folder rahasia. Dan di dalamnya, nama itu muncul:

Project Cassandra.

Ia klik.

Muncul dokumen video. Wajah Dirga. Wajah Dito. Dan di antara mereka: Janting, duduk dengan tenang. Memberi briefing. Tentang sistem sabotase. Tentang memanfaatkan Magdalena sebagai pion.

"Apa dia tahu?" tanya Dirga.

Janting menjawab, "Belum. Tapi dia akan tetap di sisiku. Tubuhnya sudah kecanduan. Dan kalau tubuhnya lekat, pikirannya akan mengikuti."

Magdalena menutup laptop. Tangannya dingin. Tubuhnya basah oleh keringat, bukan gairah.

Dirga menatap layar rekaman dari kamera tersembunyi yang tertanam di bangunan tua itu. Suara gemuruh hujan memantul di speaker, bercampur dengan napas dan lenguh yang tak asing baginya. Ia melihat tubuh Magdalena—basah, nyaris telanjang, dan hidup seperti bara api di tengah malam dingin.

Kaus V-neck hitam itu melekat erat di dadanya, transparan, memperlihatkan lekuk yang dulu hanya bisa ia bayangkan dalam mimpi basah tak berkesudahan. Rok blue jean yang selalu 20 cm di atas lutut kini tergeletak di lantai, seperti bendera putih dari perang hasrat yang tak bisa dimenangkan.

Matanya menyipit. Rahangnya mengeras.

Sialan.

Janting.

Bajingan itu yang kini mencicipi madu dari tubuh Magdalena. Bibir itu. Dada itu. Pinggul itu. Lekuk punggung yang meliuk tiap kali mencapai klimaks—semuanya sekarang milik Janting.

Dirga memejamkan mata sejenak. Tapi justru bayangan tubuh Magdalena semakin jelas. Cara perempuan itu menggeliat di bawah Janting. Suara napasnya yang tercekat. Lenguhan panjang saat ia ditarik masuk, perlahan, dalam-dalam. Kulit lembab dan gerakan ritmis yang tak bisa dia dengar tanpa merasa tubuhnya sendiri ikut menegang.

Ia pernah memeluk tubuh Magdalena. Pernah mencium lehernya. Tapi hanya sampai batas. Magdalena selalu mundur. Menjaga jarak. Menjaga tubuhnya… dari Dirga. Tapi tidak dari Janting.

Kenapa?

Apa karena Janting lebih garang? Atau karena dia tahu cara menyentuh bukan dengan tangan, tapi dengan luka?

Dirga bangkit dari kursi. Tubuhnya panas. Celana dalamnya menegang, dibanjiri rasa yang campur aduk—gairah, marah, dan cemburu.

Ia berjalan ke jendela kantornya. Hujan masih turun. Tapi dalam pikirannya, hanya satu yang turun deras: tubuh Magdalena, dalam gerakan lambat, naik-turun di atas tubuh Janting, dengan rambut hitam panjang yang menutupi payudaranya, dan mata yang setengah tertutup, mabuk oleh kenikmatan.

Dirga menggertakkan gigi. Kedua tangannya mengepal.

“Aku akan merebutmu kembali, Lena,” bisiknya lirih. “Bahkan jika tubuhmu sudah milik dia, aku akan pastikan jiwamu... tetap milikku.”

Tangannya meraih layar. Diperbesar. Titik merah lokasi mereka sudah terkunci.

Waktu hampir habis.

Tapi sebelum sistem menangkap mereka, Dirga ingin satu hal: melihat Janting mati dengan tubuh Magdalena masih melekat di pelukannya. Dan melihat mata perempuan itu… kosong, saat tahu ia kehilangan dua kali—dirinya, dan kebebasan.

Tapi mungkin…

Mungkin sebelum itu, dia bisa lebih dulu menyentuh tubuh itu, sebelum dingin mencurinya dari dunia.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Surga dunia itu tak boleh hanya dirasakan oleh Janting. Harus ada pembalasan.

Dan dalam pikirannya, tubuh Magdalena kini bukan hanya gairah. Tapi juga obsesi.

Magdalena duduk di atas sepeda motor trail yang dibawa Janting, tubuhnya masih mengenakan kaus V-neck hitam kesayangan dan rok blue jean yang selalu 20 cm di atas lutut. Angin dini hari menyapu paha dan lehernya, membekukan udara tapi justru membakar tubuh siapa pun yang menatapnya terlalu lama. Termasuk Dirga, dari balik layar.

Ia tahu ada mata yang mengikuti. Ia tahu Dirga masih memantau. Karena Magdalena sengaja membiarkan satu kamera tetap hidup.

Pekan lalu, di kamar hotel di Singkawang, Magdalena pernah berdiri hanya dengan lingerie tipis warna merah darah di depan Dirga—lampu mati, mata nyala. Tapi saat laki-laki itu hendak mendekat, jarinya menempel di bibir Dirga.

“Jangan pernah berpikir kau bisa memiliki tubuh ini, Dirga,” bisiknya dengan senyum separuh dosa. “Fantasi, ya. Tapi realita? Jangan mimpi.”

Ia tahu Dirga merintih malam itu. Tangan kirinya gemetar di balik selimut. Tapi itu saja yang ia dapat: rindu yang tak pernah bertemu, dan rasa ingin yang dipelihara seperti kutukan.

Magdalena berdiri sekarang, tubuhnya membungkuk ke arah Janting, membisikkan sesuatu yang tak terdengar. Tapi wajah Janting tegang, lalu mencair. Tangannya naik ke paha Magdalena, membelai pelan sambil menatapnya seperti hendak menelan seluruh langit Borneo. Ia tidak minta. Tapi Magdalena memberikan.

Di tempat yang sunyi itu, Janting merengkuh tubuhnya seperti laki-laki yang pulang dari perang dan menemukan satu-satunya peradaban yang layak disembah: kulit Magdalena.

Perempuan itu duduk di pangkuan Janting, merapatkan tubuhnya, membiarkan pinggulnya menggoyang perlahan. Kaus V-neck-nya sudah basah, bukan karena hujan, tapi karena keringat dan gairah. Janting menariknya turun, melepas satu-satu seperti membuka amplop rahasia negara. Dan di bawah kain tipis itu: dada yang gemetar karena rindu, leher yang basah karena lidah, dan paha yang selalu membuat Janting lupa arah utara.

“Tadi malam kau menggigitku di sini,” bisik Magdalena, menempelkan jarinya ke bawah telinganya. “Tapi belum cukup. Aku masih haus.”

Janting menjawab bukan dengan kata. Tapi dengan tangan. Lidah. Tubuh. Ia membawa Magdalena kembali ke dunia tempat napas adalah senjata dan orgasme adalah kebebasan.

Di seberang sana, di markas BayarTech, Dirga menatap layar. Bibirnya terbuka sedikit. Tangannya mencengkeram meja. Ia melihat tubuh Magdalena bergerak di atas tubuh Janting seperti puisi yang dikhianati koma.

Matanya panas. Dadanya sakit.

Ia ingin berteriak. Ingin masuk ke layar. Ingin menjadi Janting. Tapi dia tahu, dia takkan pernah bisa.

Karena tubuh itu… hanya tunduk kepada satu nama.

Janting.

Dan Magdalena tahu betul apa yang ia lakukan.

Ia memainkan fantasi Dirga seperti boneka tali. Tapi saat malam tiba, saat pintu terkunci, saat dunia berhenti—ia menelanjangi dirinya hanya di depan satu orang. Dan dari dalam dirinya, satu nama selalu ia panggil dalam desah paling sunyi: “Janting…”

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar