Duri Cinta Kebun Sawit (18) | Sosok yang Menunggu depan Lift Kaca

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

 

Duri Cinta Kebun Sawit

Anike mengecup bibirnya. Singkat. Tapi cukup untuk mengguncang by AI.


Sore menurunkan dirinya seperti tirai beludru kelabu.

Langit kota Pontianak menggantung. Berat oleh awan. Dan lebih berat lagi oleh intrik yang nyaris meledak.

Di sebuah ruangan coworking elit di kota Pontianak, Magdalena duduk berhadapan dengan Dito. Hanya meja kayu dan dua cangkir espresso yang sudah dingin memisahkan mereka.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (17 | Berdiri Telanjang, Jujur sebelum Jatuh

“Server utama ada di lantai 7. Tapi mereka sudah enkripsi ulang jalurnya,” kata Dito, cepat dan cemas.
“Aku bisa bantu kalian masuk... tapi hanya sepuluh menit. Setelah itu, sistem akan deteksi IP asing.”

Magdalena menyelipkan rambut ke belakang telinga. Gerakannya lembut, tapi matanya tajam seperti silet.

 “Kita tidak butuh sepuluh menit. Cukup lima. Tapi aku harus pastikan: tidak ada pengkhianat di antara kita.”

Dito terdiam. Sekilas, ia ingin tertawa. Tapi ia tahu ini bukan saatnya.
“Kalau aku pengkhianat, kamu sudah ditangkap sejak kemarin malam. Atau lebih buruk—ditembak saat masih telanjang bersama Janting.”

Kalimat itu membuat Magdalena mengangkat alis. Ia tidak marah. Hanya mengingat.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (16 | Iman yang Digoyang Amplop dan Janji
Satu malam. Satu keputusan. Tapi ia tidak menyesal.

“Jangan sebut-sebut itu seperti aib. Itu satu-satunya hal jujur dalam dunia yang penuh dusta,” jawabnya.

Di lantai 7 gedung BayarTech, lampu-lampu menyala biru. Senyap. Steril.

Janting melangkah sendirian. Setelan jas abu-abu. Earpiece kecil terpasang.
Suaranya pelan saat bicara ke mikrofon yang tersembunyi di dasinya.
“Lena, aku masuk” 
katanya. Kadang juga ia menyapa demikian selain: Magda.

Di ujung lain, suara Magdalena terdengar.
“Jaga detak jantungmu. Kamera pakai heat-sensor.”

Tapi yang membuat detaknya naik bukan sistem pengamanan.
Melainkan sosok yang menunggu di depan lift kaca: Anike.

Wanita itu mengenakan blazer hitam dan heels berwarna darah.
Tubuhnya seperti ditarik dari arsip masa lalu Janting—mulus, beracun, dan terlalu cantik untuk dibiarkan lewat begitu saja.

“Sudah lama, Jan,” katanya.
Suaranya rendah, bergelombang seperti lagu yang dulu ia nyanyikan telanjang di atas dada Janting.

Janting ingin menepis semua kenangan. Tapi Anike terlalu dekat. Terlalu tahu.
“Aku sedang buru-buru,” katanya.

Anike mendekat. Bibirnya nyaris menyentuh telinga Janting.
“Buru-buru mencuri? Atau buru-buru mati?”

Tubuh mereka nyaris bertabrakan. Anike tak bergeming, hanya memandangi wajah Janting seolah sedang membaca password di matanya.

“Aku tahu kamu bawa keylogger di jam tanganmu. Aku tahu Magdalena ada di belakang layar.
Dan aku tahu... kau masih bisa berdiri seperti dulu—walau dunia ini sebentar lagi akan menjatuhkanmu.”

Janting mendesah. Marah dan terangsang pada waktu yang sama.
Anike: wanita yang pernah ia cintai dan khianati demi ‘nilai-nilai.’
Tapi kini, nilai-nilai itu tak lebih dari slogan kosong.

“Aku bisa menembakmu sekarang,” bisik Anike.

“Tapi kau belum puas melihatku hancur,” jawab Janting.

Ia melangkah maju. Terlalu dekat. Tubuh mereka bersentuhan.
Masih ada percikan. Masih ada godaan. Tapi juga pisau yang belum ditarik.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Anike mencium bibirnya. Sebentar. Tapi cukup untuk membingungkan.

Lalu ia berkata, dengan nada nyaris kasihan:
“Aku akan beri kamu waktu lima menit. Karena aku ingin melihat bagaimana orang idealis jatuh… dalam keadaan basah.”

Magdalena mendengar semuanya dari earpiece. Tapi ia tidak bicara. Tidak menegur. Tidak cemburu.
Ia tahu permainan ini. Di dunia mereka, tubuh adalah alat. Godaan adalah senjata.

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar