Duri Cinta Kebun Sawit (16 | Iman yang Digoyang Amplop dan Janji

Novel, roman, Chairil Anwar, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, tulah, bala

 

Duri Cinta Kebun Sawit
Iman yang digoyang amplop dan janji. Ilustrsi by AI.

MALAM itu Janting nyaris tak tidur sama sekali.

Angin yang biasanya hanya lewat sebagai bayangan, kini menampar-nampar dedaunan seperti ingin memberitahu sesuatu.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (15) | Bukan Tubuh Biasa

Dari jauh....

Suara burung hantu terdengar lebih dekat. Lebih jernih. Seolah ia bertengger pada ambang jendela.

Hutan yang pernah ia bela mati-matian, kini seperti menggigil. Bukan oleh dingin, tapi oleh keraguan.

Beberapa warga, teman seperjuangan, satu per satu mulai oleng. Imannya digoyang amplop dan janji: tanah ganti rumah, tunjangan anak sekolah, motor kredit lunas.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (14) | Menyesap Anggur bersama Para Eksekutif

“Apakah kamu benar-benar siap mempertaruhkan segalanya hanya untuk sebongkah tanah?” tanya mereka. Mata mereka seperti cermin yang berkabut.

Janting hanya diam. Karena dalam diam, kata-kata yang benar justru tumbuh.

“Kita tidak hanya mempertaruhkan tanah. Kita mempertaruhkan identitas kita sebagai bangsa.”
Ia berkata akhirnya. Lirih. Tapi pohon di belakangnya bergerak pelan, seolah mengangguk.

Namun dunia bukan dongeng. Kesetiaan bisa dibeli, apalagi kalau hidup sudah lelah. Ia tahu, malam akan semakin berat. Tapi ia tidak sendiri.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (13) | Perusahaan dan negara Bersekongkol Dalam Diam

Magdalena muncul. Seperti cahaya kecil yang datang dari ujung lorong hotel, mengenakan blus tipis warna tanah dan tatapan yang tak bisa dibaca siapa-siapa.
Ia tidak bicara soal cinta. Ia bicara soal bukti.
Perusahaan besar itu tidak hanya membeli tanah. Tapi juga menghancurkan tubuh bumi. Limbah. Penipuan. Suap.

“Aku punya data semuanya,” bisiknya lewat telepon, seperti mendesah di telinga kekasih.


“Aku tahu siapa yang dibayar. Berapa. Termasuk yang sedang menggerogoti kamu dari dalam.”
Suaranya membuat jantung Janting nyeri, seperti baru saja dikisap.
“Ini bukan lagi soal tanah. Ini soal masa depan.”

Malam itu, Magdalena menunggu Janting di kamar 113. Lagi-lagi di sini. Kamar bertuah, yang meberi bukan hanya kehidupan, juga kenikmatan.

Ia tidak berpakaian seperti aktivis. Tapi seperti perempuan yang tahu bagaimana tubuh bisa menjadi pernyataan politik. Matanya menyalakan api. Bibirnya pelan-pelan retak karena haus terlalu lama.
Magdalena, ibu satu anak, yang di rumah selalu terbangun sendirian pukul dua dini hari.

Suaminya tidur dengan berkas. Cinta mereka mati pelan-pelan oleh rapat dan jabatan.

Maka malam itu, ia tidak hanya memberi Janting berkas dan bukti, tapi juga tubuhnya. Tubuh yang sudah lama terabaikan, kini melampiaskan seluruh rasa dalam satu ledakan yang sunyi: tapi mengguncang.

Mereka bercinta seperti dua gunung yang bertubrukan. Tak ada yang disembunyikan. Tak ada yang ditahan.
Magdalena membuka dirinya bukan hanya sebagai perempuan, tapi sebagai medan perang.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (9) | Permainan Tenis Dimulai

“Cinta yang dibakar oleh perlawanan… jauh lebih tahan lama dari kenangan,” katanya setelahnya, masih dengan napas terengah.

Di luar kamar 113....

Pohon-pohon tampak lebih tegak. Langit lebih jernih. Tubir gelap membukakan kelopaknya sedikit perlahan-lahan untuk datangnya fajar yang lebih dini.

Dan malam, untuk pertama kalinya sejak lama, terasa tidak hanya gulita. Tapi juga hidup.

Hujan turun perlahan di dusun itu.
Bukan gerimis yang malu-malu, tapi bukan pula hujan deras yang menggila.
Magdalena berdiri di bawah pohon ara tua. Tubuhnya setengah basah, namun ia tak menggigil. Ada sesuatu dalam dirinya yang lebih panas dari hujan: nafsu birahi dan kerinduan yang lama dipendam, membuncah melebihi segala logika.

Janting muncul dari balik kabut, tubuhnya penuh aroma hutan dan tanah basah. Mata mereka bertemu. Tak ada dialog panjang. Dunia di sekitar mereka seperti menghilang.


Magdalena, wanita kota dengan status profesional mentereng, luluh dalam pelukan lelaki Dayak itu.


Tubuhnya disentuh seperti hujan yang ia rindukan. Liar, jujur, dan tak bisa dikendalikan. Ia menyerahkan segalanya, bukan karena lemah, tapi karena di hadapan Janting, ia merasa utuh.


Seluruh dirinya yang selama ini kering dalam pernikahan formalitas akhirnya disiram hidup-hidup oleh cinta yang membara, yang seolah-olah menetes langsung dari talang-talang langit surga.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan


"Janting, apa kau tahu, tubuhku ini seperti milikmu bahkan sebelum kita bersentuhan?" Magdalena berbisik setelahnya, ketika mereka terbaring dalam pondok kecil yang remang.


"Aku tak perlu tahu, Magdalena," jawab Janting pelan. "Aku hanya percaya bahwa hujan tak akan jatuh sia-sia."

Namun malam itu tak abadi. Tak pernah. Ia hanya mampir. Lalu kabur. Lalu kembali lagi. Lalu kabur.


Seperti pacar selingkuhan yang tak pernah jadi milik. Tapi justru karena itu, detaknya jadi candu.


Karena malam-malam berikutnya sudah menanti di belakang pintu, sembari mengasah kuku, mencium bibirnya sendiri, dan berkata:
"Ayo, main lagi!"

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar