PASKAH | Saya dan Jokpin dengan Celana-nya yang Lucu
Saya dan Jokpin (kiri) dengan Celana-nya yang lucu itu. Dokpri.
Oleh: Masri Sareb Putra
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Tiap Paskah, saya teringat bukan saja nama, tetapi karya, dan terutama: sosoknya yang ugahari, namun cerdas dan bernas di dalam diksi puisi!
Vita brevis, ars longa.
Ya, hidup itu singkat, namun seni: abadi. Begitulah kira-kira makna ungkapan Latin klasik itu.
Dalam hidup yang ringkas ini, kita berlomba meninggalkan jejak—bukan harta, bukan kuasa, melainkan karya. Puisi, misalnya, adalah jalan sunyi yang menjanjikan keabadian.
Setiap kali Paskah tiba, saya teringat seorang kawan akrab: penyair yang menjadikan hidupnya sebagai puisi, dan puisinya sebagai hidup. Kami memiliki selera yang sama terhadap sastra, dan terutama puisi yang menyentuh sisi-sisi terdalam manusia—baik yang lucu, getir, maupun suci.
Kami pernah bekerja dan duduk di kantor yang sama: PT Grasindo, awal 1990-an. Letaknya di Jalan Palmerah Selatan 22–28, Jakarta. Sebuah kantor penerbitan yang pada masanya sedang tumbuh, meski masih sederhana.
Kantor kami berada di lantai II, di atas koperasi karyawan. Tidak mewah, bahkan terkesan seperti bedeng bertingkat. Tapi justru di sanalah puisi hidup—membuat kami hidup, dan menghidupkan suasana kerja. Tak ada sekat antara ruang sunyi editor dengan ruang gaduh tawa para penyair. Semua lebur. Dan di antara kami ada satu nama yang terus bersinar bahkan setelah ia pergi: Joko Pinurbo. Jokpin.
Di ruang kecil itulah kami bersama belajar meracik kata, menyunting naskah, dan mempercakapkan hidup lewat puisi. Bersama Pamusuk NST—sang redaktur legendaris yang selalu punya pujian dan canda dalam satu kalimat—kami seperti ditempa untuk tidak hanya bekerja sebagai editor, tetapi berpikir sebagai penyair, dan hidup sebagai manusia yang peka.
Hari-hari itu kini tinggal kenangan, tetapi kehadiran Jokpin dalam ingatan saya tak pernah pergi. Puisi-puisinya—yang lugu, jujur, dan dalam—selalu menjadi pengingat bahwa hidup memang singkat, tapi puisi bisa membuat segalanya bertahan lebih lama. Vita brevis, ars longa.
Ya. Philipus Joko Pinurbo—penyair lugu, lucu, dan jenaka dalam bahasa, tapi dalam dalam makna—telah menghadap “Puisi Abadi” pada 27 April 2024.
Jokpin, begitu ia biasa disapa, adalah penyair yang menuliskan hal-hal sederhana: celana, kamar, tubuh, ibu, dan doa. Tapi dari hal-hal kecil itu, lahirlah puisi-puisi besar. Puisinya tidak menggurui, tetapi menyentuh. Tidak menghakimi, tetapi menggugah.
Salah satu puisinya yang paling membekas adalah “Celana Ibu” (2004), puisi tentang kasih Maria kepada Yesus yang bangkit. Lucu dan menyentuh.
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Lucu? Ya. Tapi juga dalam. Itulah Jokpin. Ia memaknai Paskah dengan cara yang membumi, kontekstual, dan sangat manusiawi. Dalam puisi itu, celana bukan sekadar celana. Ia adalah simbol kasih, penghiburan, dan martabat insani. Jokpin mengajak kita melihat Yesus bukan hanya sebagai figur ilahi, tapi juga manusia—yang bisa telanjang, bisa disayang ibunya, bisa memakai celana sebelum naik ke surga.
Sebagai seorang Katolik, Jokpin menyisipkan refleksi iman dalam puisinya bukan lewat dogma atau khotbah, melainkan melalui narasi ringan, simbol-simbol harian, dan ironi halus. Ia menghadirkan Tuhan dalam bahasa sehari-hari, dalam benda-benda rumah, dalam tubuh manusia, bahkan dalam tawa.
Tentu saja, bagi sebagian orang, puisi ini bisa terasa mengguncang. Tapi justru di situlah kekuatannya. Jokpin tak sedang menghina iman, ia sedang mengajak kita merenung lebih jujur.
“Celana Ibu” adalah bentuk kontemplasi yang membongkar formalitas iman, lalu menggantinya dengan kedalaman rasa.
Banyak penyair menulis untuk dikenang, tapi tidak semua menulis untuk menemani.
Jokpin menulis untuk keduanya. Puisinya menemani kita—dalam tawa, dalam hening, dalam pencarian makna hidup.
Jokpin memang telah pergi,
tapi puisinya tetap tinggal.
Dan setiap kali kita membaca “Celana Ibu”,
kita akan tersenyum pelan,
dan diam-diam merenung.
Selamat jalan, Jokpin.
Terima kasih telah menuliskan keindahan dari celana dan kehidupan.
Abadi namamu dalam karya sastra!
Jakarta, Paskah, 20 April 2025