Duri Cinta Kebun Sawit (14) | Menyesap Anggur bersama Para Eksekutif
Menyesap anggur bersama para eksekutif ilustrasu by AI.
Malam pun menjadi senjata.
Magdalena—perempuan dengan luka di jiwa dan bara di tubuh—mulai menguasai korporasi dan negara. Bukan dengan amarah, tapi dengan godaan.
Ia datang ke ruang-ruang kekuasaan mengenakan gaun hitam tipis dan tatapan yang tak meminta, tapi justru menundukkan.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (13) | Perusahaan dan negara Bersekongkol Dalam Diam
Ia menyesap anggur bersama para eksekutif yang lapar segalanya. Lalu, di ranjang mereka, ia berbisik tentang investasi hijau, pertumbuhan berkelanjutan—sambil mencuri peta tambang dan dokumen rahasia dari balik meja.
Tubuhnya menjadi mantra.
Jari-jarinya menyusuri dada jenderal yang haus kuasa, namun yang ia tinggalkan di sana bukan cinta—melainkan rasa takut: bahwa ia tahu lebih banyak dari yang mereka kira.
Setiap malam yang ia berikan, ia tukar dengan satu nama baru, satu informasi penting, satu pintu yang terbuka untuk rakyatnya.
Dan Janting—lelaki yang ia cintai dalam diam—selalu hadir di benaknya.
Saat ia membuka baju di hotel mewah, saat ia membuka rahasia para penguasa, hatinya tetap pulang ke Dayak.
"Aku menari di altar setan," bisiknya suatu malam,
"agar aku bisa membakar singgasana mereka dari dalam."
Ia tahu ini bukan cinta. Ini pengorbanan.
Tubuhnya bukan persembahan erotik, tapi senjata.
Sebab tanah-tanah itu telah dirampas—dengan paksa, dengan tipu daya hukum, oleh tangan-tangan berjas dan bersenjata.
Dan suatu pagi, ketika semua telah selesai,
Magdalena menanggalkan semua gaun malamnya.
Ia berjalan menuju gereja kecil di pinggir kampung, mengenakan kain putih, membawa tubuh yang letih—namun menang.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (12) | Misteri Sumur Tua Kamar 113
Ia berlutut di hadapan pastor tua dan berkata,
“Ampuni aku, Pastor.
Tubuhku telah menjadi alat dosa.
Tapi jiwaku selalu mencintai kebenaran.
Aku berdosa... demi tanah ini.
Demi rakyatku.
Demi lelaki yang kucintai, yang tak pernah kusentuh dengan cara yang sama.”
Magdalena—nama baptis lengkapnya: Maria Magdalena—menangis.
Bukan karena kalah. Tapi karena akhirnya: bebas.
Magdalena berdiri di atas bukit kecil di tepi hutan, malam yang terakhir.
Angin menyapu rambutnya.
Langit tak bertabur bintang, tapi penuh bisikan.
Leluhur memanggil. Tanah mendesah.
Ia mengenakan gaun putih tembus cahaya—bukan untuk menggoda, tapi sebagai simbol:
Tubuh yang telah menyelinap ke jantung kekuasaan, kini siap kembali menjadi tubuh tanah.
Tubuh perawan yang tidak suci, tapi justru sakral karena luka dan pengorbanan.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (9) | Permainan Tenis Dimulai
Janting datang diam-diam. Matanya tajam seperti tombak, namun redup oleh cinta yang dalam.
Ia menatap Magdalena seperti menatap dewi hutan yang turun hanya untuknya.
Mereka tidak bicara. Tak perlu.
Karena malam itu, kata-kata terlalu sempit untuk menampung api di dada mereka.
Magdalena membuka gaunnya perlahan.
Bukan karena malu, bukan karena nafsu—tapi karena tubuhnya bukan miliknya lagi.
Tubuh itu kini milik perjuangan.
Setiap bekas ciuman pejabat di lehernya kini jadi mantra.
Setiap bisikan di kasur hotel kini berubah jadi kutukan bagi kapital yang serakah.
Janting mendekat.
Tangan mereka bersentuhan seperti akar yang bertemu kembali di bawah tanah.
Tubuh bertemu tubuh—bukan untuk kenikmatan fana, tapi untuk menyatukan apa yang telah dipecah: tanah dan jiwa, adat dan cinta.
Mereka bercinta di tanah hitam yang pernah dibakar.
Dan saat tubuh Magdalena melengkung karena jeritan kenikmatan,
bumi pun retak perlahan.
Pohon-pohon bergetar.
Burung hantu menjerit.
Api spiritual meledak dari dalam tanah.
Dan di kejauhan—markas perusahaan itu—tempat rencana keji ditulis dengan pena emas, meledak dengan kobaran tak kasat mata.
Tak ada bom.
Tak ada tentara.
Hanya satu tubuh perempuan yang mencintai terlalu dalam, dan satu lelaki yang menjadi alasan semua ini.
Di langit, pelangi muncul meski belum waktunya.
Embun jatuh lebih cepat dari biasanya.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (4) | Terperangkap Kesunyian dan Pencarian Diri
Magdalena bangkit—tubuhnya basah oleh peluh dan tanah, matanya bercahaya seperti roh leluhur telah masuk ke dalam dirinya.
“Aku selesai,” katanya pelan pada Janting.
“Sekarang aku akan bertobat.
Tapi bukan untuk melupakan.
Melainkan untuk mengingat—dengan cara yang lebih terang.”
Dan saat mereka berjalan pulang ke kampung—telanjang, lelah, dan utuh—
tanah pun menerima mereka kembali, seolah berkata:
"Anak-anakku, kalian telah pulang.
Dan cinta kalian telah menyembuhkan tubuhku."
Pagi datang perlahan, menyelinap dari celah dedaunan.
Embun masih menggantung di ujung rumput, seperti air mata bumi yang enggan jatuh.
Dan di antara kabut tipis itu, Magdalena keluar dari hutan—telanjang, tenang, dan tak terjamah oleh dosa dunia.
Tubuhnya seperti diukir dari cahaya dan bara.
Punggungnya memancarkan garis-garis luka yang disusun waktu dan pengorbanan.
Lengannya mengayun seperti melodi. Dan setiap lekuk di tubuhnya menyimpan mantra yang hanya bisa dibaca oleh lelaki yang mencintai, bukan yang sekadar ingin memiliki.
Para lelaki desa melihatnya dari balik celah rumah dan jendela.
Ada yang tiba-tiba mengepalkan tangan.
Ada yang membetulkan letak sarungnya dengan gugup.
Ada pula yang hanya menunduk, merasa bersalah karena imajinasi mereka berlari lebih cepat dari moral.
Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)