Duri Cinta Kebun Sawit (4) | Terperangkap Kesunyian dan Pencarian Diri

Novel, roman, cerita berdambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

uri-duri Cinta di Kebun Sawit (4) | Terperangkap Kesunyian dan Pencarian Diri
Magdalena terperangkap kesunyian dan pencarian diri. Ilustrasi AI.

Magdalena berdiri di dekat jendela besar kamar hotel bintang enam, membelakangi ranjang, membelakangi dirinya sendiri. 

Matanya menerobos senja, tapi pikirannya bukan di luar. Di dalam. Di dada. Di paha. Di garis-garis halus yang dibentuk kaos putih tipis yang terlalu jujur.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (3) | Kamar 113 pukul 2:47 dini hari

Ia tidak bergerak. Tapi dunia di sekitarnya menggeliat. Angin AC menyusupkan aroma tubuhnya yang seperti campuran kopi dan dosa. Rambut panjangnya jatuh dari pundak seperti malam yang lupa diberi bintang.

"Ah," gumamnya.

Tak ada yang menjawab. Bahkan dirinya sendiri bungkam.

Di belakangnya, wine merah menunggu. Pura-pura sabar. Di meja kaca yang bening seperti pengakuan. Sebuah kursi kulit cokelat mengintip dengan nakal, berharap tubuh Magdalena singgah sebentar, meletakkan lelah, meletakkan hasrat.

Tapi Magdalena tak mau duduk. Magdalena tidak duduk. Ia hanya berdiri, dengan rok blue jean pendek sejengkal di atas lutut, seperti keputusan yang tidak ingin disesali.

Hotel ini terlalu mewah. Terlalu hening. Terlalu licin. Tapi Magdalena tak peduli. Ia sudah terbiasa berdiri di tepi segala hal—tepi jendela, tepi kenangan, tepi pertanyaan yang tak pernah selesai: siapa dia sebenarnya?

Ia cantik. Ya. Seksi? Tentu. Tapi itu kata orang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus menerus menjerit diam-diam: "aku ini siapa, sebenarnya?!"

Lalu senja makin jatuh. Bayangan bukit bergeser. Dan Magdalena, masih berdiri. Tak bergeming. Tapi dunia di dalam dirinya terus berputar. Dan wine merah, akhirnya menyerah.

Langit-langit terus menghitam. Suara-suara tak kasatmata berputar-putar seperti gasing rusak di dalam kepala Janting. Matanya liar. Tangannya mencari-cari pegangan. Tapi dinding itu terasa seperti daging. Lembut. Hangat. Bergerak.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (2) | Misteri K-113

Sementara itu, Magdalena—atau siapa pun yang kini menghuni tubuhnya—berdiri tenang, seperti tiang suci di altar kuil tua yang sudah dilupakan manusia. Matanya kini dua warna: satu gelap seperti dasar sumur, satunya lagi bening, tapi kosong, seolah seluruh isi dirinya telah dipinjam oleh entitas yang tak bernama.

"Aku bukan mimpi burukmu," katanya dengan nada netral. "Aku adalah apa yang kau panggil ketika kau sendirian, ketika kau kesepian, ketika kau bilang ‘tolong’... tanpa sadar. Kau pikir tidak ada yang mendengar. Tapi kami mendengar."

Dia menyentuh dada Janting dengan telapak tangan yang kini menghitam seluruhnya. Sekilas, kulitnya seperti terbuat dari malam, dari langit sebelum cahaya pertama. Di tempat ia menyentuh, dada Janting terasa cekung, seperti direnggut perlahan dari dalam. Tapi anehnya, bukan rasa sakit yang datang lebih dulu—melainkan kenikmatan. Sebuah rasa pasrah yang nikmat. Gairah yang salah alamat.

"Jangan takut," bisik Magdalena. "Ketakutan adalah bentuk cinta tertua."

Lalu tiba-tiba semuanya terdiam. Televisi padam. Lampu gantung berhenti bergoyang. Tirai kaku. Dunia seperti berhenti bernapas.

Dan... hanya ada suara degup jantung. Bukan milik satu orang, tapi dua. Tiga. Mungkin lebih. Banyak. Seperti ada sekelompok orang yang berdiri di balik dinding, mematung, menunggu aba-aba. Mereka tidak terlihat. Tapi mereka ada.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

“Magdalena,” lirih Janting, terakhir kali menyebut nama itu seperti mantra yang tak lagi mujarab. Ia tahu… itu bukan lagi dia.

“Nama itu,” kata perempuan itu—“hanyalah gaun. Aku bukan itu. Aku sesuatu yang sudah lama ada sebelum nama ditemukan.”

Ia mencium kening Janting. Sebentar. Tapi bekasnya seperti terbakar. Lalu ia menarik tubuh lelaki itu ke dalam pelukannya, dan seperti pusaran air di tengah laut mati, semuanya perlahan tenggelam. Dinding kamar menjadi kabur. Ranjang mencair. Lantai meleleh menjadi cahaya gelap.

Mereka tidak lagi berada di kamar 113.

Mereka berada di tempat lain.

Di mana waktu tidak hanya berhenti—ia tidak pernah ada.

Ruangan itu bukan lagi kamar hotel. Ia bukan lagi tempat yang memiliki batas, struktur, atau bentuk yang bisa dikenali. Keberadaan Janting dan Magdalena kini seperti dua entitas yang terperangkap di antara dunia yang terbelah—tempat yang tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu.

Di sekeliling mereka, hanya ada gelap dan kesunyian. Tanpa suara. Tanpa gerakan. Tanpa napas yang bisa ditangkap. Bahkan udara pun tampak rapuh, seolah-olah takut untuk mengganggu kedamaian yang terputus ini.

Namun, ada satu hal yang terus berdenyut di sana. Satu hal yang hadir lebih kuat dari semuanya. Rasa itu. Rasa yang menarik, membelit, dan menyedot.

Janting merasa dirinya terombang-ambing dalam pusaran yang semakin kencang. Setiap langkah yang ia ambil membawa beban yang semakin berat. Setiap napas terasa lebih sulit, dan pikirannya penuh dengan gambar-gambar kabur—bayangan-bayangan yang menggetarkan.

Magdalena, atau entitas yang ada dalam tubuhnya, berdiri diam. Seperti sosok yang lebih besar dari kehidupan itu sendiri. Seperti dewa yang tidak mengenal waktu. Matanya menatap Janting, bukan dengan kasih sayang, bukan dengan kebencian, tetapi dengan keinginan.

Keinginan yang melebihi segalanya.

“Apakah kau merasa itu?” Magdalena bertanya, suaranya jauh, seolah datang dari dimensi lain. “Apa yang datang untukmu… bukanlah milikmu. Itu adalah milik kami. Semua yang kau lihat, kau rasakan—semuanya milik kami.”

Janting hanya bisa diam, tubuhnya kaku. Ia ingin berteriak, tetapi mulutnya terasa terkunci. Segala yang ada di sekitar mereka terasa semakin mengerikan. Di balik gelap, ia bisa merasakan sesuatu yang bergerak. Sesuatu yang tidak bisa dilihat. Tapi ada.

"Aku membuka pintu," kata Magdalena, dan Janting mendengar itu lagi. Kali ini, suara itu terdengar begitu nyata. Begitu akrab. Seperti sebuah pengingat—pengingat tentang sesuatu yang sudah lama dilupakan.

Magdalena melangkah maju, menuju kegelapan yang lebih dalam. Setiap langkahnya menggema, menyentuh dinding tak tampak, menembus udara yang telah mengeras. Janting, meskipun ketakutan, merasa seperti terikat—tertarik—ke dalam langkah itu. Ke dalam jendela yang tidak terlihat.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Janting, suara parau, terengah-engah.

Magdalena berhenti. Ia menoleh, dan senyuman itu kembali muncul di wajahnya. Senyum itu bukan milik Magdalena—bukan milik siapa pun yang ia kenal. Itu adalah senyum yang telah ada selama berabad-abad, senyum yang mengandung segala rahasia dunia yang hilang.

“Kau sudah tahu jawabannya,” katanya dengan lirih. “Apa yang kau ingin lihat lebih dalam… adalah cermin dari hatimu sendiri. Cermin yang kau sembunyikan begitu lama, karena kau takut melihatnya.”

Matanya menyala—bukan dengan api, tapi dengan kedalaman yang bisa menelan seluruh langit.

"Ini bukan lagi tentang aku, atau kau," lanjutnya. "Ini tentang kita. Tentang apa yang kita tinggalkan di belakang dan apa yang datang untuk menuntutnya."

Langit di atas mereka tiba-tiba retak. Sebuah celah muncul, besar dan gelap, menyisakan kekosongan yang menelan semuanya. Dan dari celah itu, suara-suara datang—suara tangisan yang terjepit, jeritan yang tersembunyi, dan bisikan-bisikan yang penuh dengan nama-nama yang tidak lagi ada.

“Apa yang kau takuti?” tanya Magdalena, tubuhnya membungkuk sedikit, tatapannya tajam. “Kau takut akan kehilangan dirimu sendiri, bukan? Kau takut pada apa yang akan ditemukan, yang selama ini tersembunyi. Tetapi, Janting... ini saatnya.”

Saatnya.

Suara itu seperti guntur yang menggelegar, memecah keheningan. Janting merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Sebuah suara muncul dalam pikirannya—lembut, penuh teka-teki, seperti peringatan yang terlambat.

Kau harus memilih. Kembali atau teruskan...

Ia menatap ke arah Magdalena, yang kini tampak jauh lebih asing. Tubuhnya bukan lagi sekadar tubuh manusia. Itu adalah bentuk yang lebih besar, lebih purba, yang menggenggam setiap napas dan detak jantungnya.

"Janting," Magdalena berkata sekali lagi, dan kali ini, suaranya begitu keras, begitu nyata, seperti seruan dari dunia lain. "Maukah kau membuka pintu itu? Pintu yang akan membawamu ke sisi yang lain. Dunia yang lebih gelap. Dunia yang lebih nyata."

Janting menggigit bibirnya. Ketakutannya menggigit lebih keras, lebih dalam. Ia ingin lari. Tapi tubuhnya tak bisa bergerak.

Pintu itu terbuka.

(bersambung)

LihatTutupKomentar