Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Magdalena Mariani, Direktur Keuangan Perusahaan Sawit keluar dari mobil by AI. |
Romansa dan cinta, dua anasir senantiasa saja hadir seperti desir angin yang tak kentara namun menggerakkan dedaunan. Ia bukan inti, tapi tanpa itu, suatu cerita akan kering, seperti tanah gambut tanpa hujan. Sejak Sitti Nurbaya, narasi tentang dua manusia—yang terjebak atau memilih untuk saling mengingini—menjadi semacam siasat sastra: memberi rasa pada realitas yang getir.
Masri Sareb Putra, pengarang prolifik dari jantung Borneo, anak dari Angkatan 2000 dalam lanskap sastra Indonesia, kembali menulis. Ia membawa kita ke Kalimantan Barat—bukan sebagai latar yang eksotis, melainkan sebagai arena luka dan intrik. Sawit, perusahaan, tanah yang dijual murah, tubuh yang disewakan, politik yang tak bersih—semuanya menjadi panggung bagi drama yang lebih besar.
Namun ia tahu, tanpa roman, pembaca akan cepat lelah. Maka cinta dimasukkan, seperti garam yang ditaburkan secukupnya. Ada pengkhianatan. Ada intrik. Ada intimasi. Tapi juga ada muslihat dan kekuasaan yang menyamar dalam kemeja rapi dan dasi merah.
Bara api asmara kadang pemantik, semacam pintu masuk bagi pembaca menamatkan sebuah Novel. Apalagi konflik sosial eksistensi perkebunan sawit yang hampir selalu bersentuhan dengan pencaplokan tanah ulayat, demo dan tuntutan masyarakat, intrik-intrik politik internal perusahaan hingga persaingan korporasi; tanpa "bumbu penyedap" berupa sentuhan bernama asmara; terasa hambar. Asmara menjadi semacam bumbu-wajib dalam ilmu menulis agar Pembaca tidak meninggalkan sepatah kata dalam cerita --dan membacanya hingga Tamat.
Tentu tak semua orang paham Roman Simbolik aliran Kitab Wahyu ini. Ia bisa saja dikira sebagai karya yang mengeksploitasi tubuh suci seorang perempuan demi memuaskan imajinasi laki-laki. Bukan! Bukan itu maksudnya. Sebagai orang filsafat yang mengakrabi “ontologi” dan melihat “perkawinan” sebagai metafora ilahi, novel ini adalah: Roman Simbolik. Dimuat bersambung—hingga tamat.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta, tapi tentang tanah, tubuh, dan siapa yang menguasai keduanya.
Selamat membaca!
DIREKTRIS
itu datang pakai mobil putih. Mengkilat. Dia turun, sepatu hak tinggi mencium
tanah merah, berdebu. Tapi dia tidak peduli. Dia tinggi, cantik, dan semampai.
Namanya Magdalena Mariani. Direktur Keuangan dari Pontianak.
“Langsung
ke ruang rapat!” katanya. Pendek. Tajam. Tegas. Seperti spreadsheet.
Di
ruang rapat kantor perusahaan sawit itu, kipas angin berdecit. Lalat satu dua
berdengung. Tapi semua mata lelaki tertuju padanya. Lebih tepatnya, ke blus
longgarnya yang agak membuka. Belahan dadanya menonjol, mulus, montok. Seperti
janji manis dalam proposal pengadaan.
Di
depannya duduk empat orang perwakilan warga. Semuanya laki-laki. Tapi yang
duduk paling ujung, diam saja. Penduduk menyapanya: Janting. Pemuda Dayak.
Badannya kekar, kulitnya coklat, matanya tenang tapi tajam. Seperti parang
diselipkan di balik kata-kata.
Negosiasi
dimulai.
Warga minta Rp 100 ribu per meter.
Perusahaan cuma mau bayar Rp 15 ribu.
“Tanah
kamu bukan emas,” kata Magdalena, menyilangkan kaki.
“Tapi
tanah itu ibu kami,” jawab seorang warga.
“Tanah
tidak bisa hidup kalau tidak diolah. Kami beri kerja, kami bangun desa, kami
buka jalan.”
“Tapi
kalian ambil sungai kami, hutan kami, semua yang hidup di dalamnya.”
Magdalena
tersenyum. Tipis. “Tapi kalian tetap tandatangan.”
Dia
buka laptop. Klik. Klik. Tabel-tabel muncul. Angka-angka, grafik, skema
pembayaran. Seperti mantra. Yang bisa bikin orang lupa.
Lalu
dia melirik ke ujung meja.
Pandangan
mereka bertemu. Magdalena dan Janting.
Detak
jantung. Macet. Lima detik.
Sang
direktris, pada tatapan pertama, sudah merasa: “Srr.”
Getar aneh. Seperti kabel putus, menyetrum langsung ke tulang. Tapi… ia jaim.
Profesional. Formal. Lurus. Padahal lututnya lemas.
Magdalena
menutup laptopnya. Tangannya berkeringat. Dadanya terasa berat. Bukan karena
angka. Tapi karena itu—tatapan.
“Ada
yang belum setuju?” Magdalena bertanya. Suaranya berubah, agak parau. Lembut.
Janting
berdiri. Perlahan.
“Kami
tahu perusahaan punya permainan. Harga bisa naik besok. Tapi kalian buru-buru.”
Magdalena
melipat tangan di depan dada—yang justru membuat belahan itu semakin mencolok.
Janting
menatapnya. Tapi bukan belahan yang dia lihat. Ia lihat getar. Ada sesuatu di
situ. Bukan hanya dagang tanah.
“Aku
mau bicara empat mata,” kata Janting.
Ruangan
mendadak sunyi. Semua menoleh. Magdalena mengangguk.
Di
luar, di bawah pohon sengon, mereka berdiri berdua. Angin lembut. Daun
bergoyang.
“Kamu
tahu,” kata Janting pelan, “aku tahu kamu bukan cuma cari harga murah.”
Magdalena
membuka bibir. Tapi tak ada kata keluar.
“Aku
tahu kamu juga cari… pelarian.”
Magdalena
menunduk. Pelan-pelan. Lalu angkat kepala. Matanya berair. Tapi bukan sedih.
Mungkin lega.
“Aku
tidak tahu kenapa… aku melihat kamu dan merasa… aku ingin tinggal.”
“Di
hutan?”
“Di
kamu.”
Diam.
Janting
mengulurkan tangan. Magdalena menyentuhnya. Ada arus aneh. Seperti listrik.
Tapi juga seperti doa dari nenek moyang.
Di
ruang rapat, para pria masih menghitung uang. Tapi di luar, di bawah pohon,
sejarah baru dimulai.
(Bersambung)