Maria Magdalena Sawit | Cerpen Rangkaya Bada

sawit, perusahaan, direktris, Ranting, Clara, Dayak, perkebunan, Pontianak, Kalimantan Barat

 

Maria Magdalena di Kebun Sawit
Maria Magdalena di Kebun Sawit ilustrasi by AI.

Direktris itu datang pakai mobil putih. 

Mengkilat. Dia turun, sepatu hak tinggi mencium tanah merah, berdebu. Tapi dia tidak peduli. Dia tinggi, cantik, dan semampai. Namanya Clara Mariani. Direktur Keuangan dari Pontianak.

“Langsung ke ruang rapat!” katanya. Pendek. Tajam. Tegas. Seperti spreadsheet.

Di ruang rapat kantor perusahaan sawit itu, kipas angin berdecit. Lalat satu dua berdengung. Tapi semua mata lelaki tertuju padanya. Lebih tepatnya, ke blus longgarnya yang agak membuka. Belahan dadanya menonjol, mulus, montok. Seperti janji manis dalam proposal pengadaan.

Di depannya duduk empat orang perwakilan warga. Semuanya laki-laki. Tapi yang duduk paling ujung, diam saja. Namanya Ranting. Pemuda Dayak. Badannya kekar, kulitnya coklat, matanya tenang tapi tajam. Seperti parang diselipkan di balik kata-kata.

Negosiasi dimulai.
Warga minta Rp 100 ribu per meter.
Perusahaan cuma mau bayar Rp 15 ribu.

“Tanah kamu bukan emas,” kata Clara, menyilangkan kaki.

“Tapi tanah itu ibu kami,” jawab seorang warga.

“Tanah tidak bisa hidup kalau tidak diolah. Kami beri kerja, kami bangun desa, kami buka jalan.”

“Tapi kalian ambil sungai kami, hutan kami, semua yang hidup di dalamnya.”

Clara tersenyum. Tipis. “Tapi kalian tetap tandatangan.”

Dia buka laptop. Klik. Klik. Tabel-tabel muncul. Angka-angka, grafik, skema pembayaran. Seperti mantra. Yang bisa bikin orang lupa.

Lalu dia melirik ke ujung meja.

Pandangan mereka bertemu. Clara dan Ranting.

Detak jantung. Macet. Lima detik.

Sang direktris, pada tatapan pertama, sudah merasa: “Srr.”
Getar aneh. Seperti kabel putus, menyetrum langsung ke tulang. Tapi… ia jaim. Profesional. Formal. Lurus. Padahal lututnya lemas.

Clara menutup laptopnya. Tangannya berkeringat. Dadanya terasa berat. Bukan karena angka. Tapi karena itu—tatapan.

“Ada yang belum setuju?” Clara bertanya. Suaranya berubah, agak parau. Lembut.

Ranting berdiri. Perlahan.

“Kami tahu perusahaan punya permainan. Harga bisa naik besok. Tapi kalian buru-buru.”

Clara melipat tangan di depan dada—yang justru membuat belahan itu semakin mencolok.

Ranting menatapnya. Tapi bukan belahan yang dia lihat. Ia lihat getar. Ada sesuatu di situ. Bukan hanya dagang tanah.

“Aku mau bicara empat mata,” kata Ranting.

Ruangan mendadak sunyi. Semua menoleh. Clara mengangguk.

Di luar, di bawah pohon sengon, mereka berdiri berdua. Angin lembut. Daun bergoyang.

“Kamu tahu,” kata Ranting pelan, “aku tahu kamu bukan cuma cari harga murah.”

Clara membuka bibir. Tapi tak ada kata keluar.

“Aku tahu kamu juga cari… pelarian.”

Clara menunduk. Pelan-pelan. Lalu angkat kepala. Matanya berair. Tapi bukan sedih. Mungkin lega.

“Aku tidak tahu kenapa… aku melihat kamu dan merasa… aku ingin tinggal.”

“Di hutan?”

“Di kamu.”

Diam.

Ranting mengulurkan tangan. Clara menyentuhnya. Ada arus aneh. Seperti listrik. Tapi juga seperti doa dari nenek moyang.

Di ruang rapat, para pria masih menghitung uang. Tapi di luar, di bawah pohon, sejarah baru dimulai.

***

Usai rapat. Mereka sempat bertukar nomor HP. Clara mengetik cepat. Singkat.


“Kalau kamu sempat malam ini, kamar 113. Hotel Bukit Raya. Jangan bilang siapa-siapa.”

Malamnya, langit kota kabupaten itu seperti menahan napas.
Mobil putih Clara sudah lebih dulu parkir. Ia duduk sendiri di ranjang. Kaus putih tipis. Rambut diikat setengah.

Ranting datang. Pelan. Tak banyak bicara.

Kamar 113 sunyi. Lalu tidak lagi.

Desahan.
Ranjang bergetar.
Dinding seakan goyang.
Clara memanggil nama Ranting seperti membaca mantra.
Ranting mencium tulang selangkanya seperti menyembah bumi.

Di kamar hotel 113 itu, gemuruh memecah seluruh bumi.

Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi setelahnya. Tapi mungkin untuk pertama kalinya, sejak perusahaan itu berdiri,
ada sesuatu yang lebih besar daripada harga tanah.

***

“Aku mau keluar dari perusahaan itu,” ucap Clara pelan. Matanya berkaca-kaca saat menatap Ranting.

Ranting terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara lirih, “Lalu, ke mana kau akan pergi?”

“Ke kamu,” bisik Clara.

Ia menatap langit yang mulai gelap. “Kalau aku mati besok,” katanya, “setidaknya aku mati bukan sebagai direktur keuangan. Tapi sebagai tumbal. Demi tanah ini. Demi kamu.”

Jika ia mati besok, pikir Clara, setidaknya ia tidak mati sebagai direktur keuangan. Tapi sebagai tumbal. Untuk tanah itu. Untuk Ranting.

Mereka berdiri di tepi hutan. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, menjadi saksi bisu dari zaman yang terus berubah. Di bawah kaki mereka, tanah masih menghitam—bekas pembakaran oleh perusahaan—namun tunas-tunas kecil mulai muncul. Hutan ini, selama berabad-abad, telah menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka. Kini, tanah ini kembali menjadi taruhan.

“Kita tidak bisa membiarkan mereka merusaknya,” ujar Clara pelan, seolah berbicara kepada bumi.

Ranting menggenggam tangannya. Pandangannya lurus ke arah hutan yang rapuh. “Mereka akan datang lagi, lebih kuat dari sebelumnya. Tapi kali ini, bukan hanya uang yang mereka bawa. Ini soal kekuasaan.”

Clara merasakan berat dari kata-kata itu. Ia tahu waktu mereka terbatas. Perusahaan dan negara telah berencana mengalihkan tanah adat mereka ke tangan korporasi besar, yang akan mengekspolitasi alam tanpa henti.

Yang lebih mengerikan, kekuatan yang mereka hadapi kini bukan hanya uang. Tentara bisa saja dilibatkan. Penggusuran secara paksa menjadi kemungkinan yang nyata.

Di dalam kamar yang sunyi, Clara duduk termenung. Dalam beberapa minggu terakhir, perusahaan-perusahaan di Pontianak menggandeng investor asing. Korupsi tumbuh subur. Keadaan makin mengkhawatirkan.

Bersama Ranting dan beberapa warga yang masih bertahan, mereka membentuk koperasi. Namun ancaman yang datang tak bisa dihadapi hanya dengan semangat gotong royong atau kilang mini. Pertaruhan mereka jauh lebih besar. Para petani dan aktivis mulai bergerak memperjuangkan hak atas tanah, tapi musuh juga tumbuh di dalam: kecemasan, ketakutan, dan keraguan.

Clara menemui kepala desa. Mereka menyusun rencana. Setiap pertemuan terasa seperti pertempuran kecil, di mana diplomasi dan strategi politik harus dijalankan bersamaan.

“Keamanan kita terancam,” kata kepala desa. “Ada kabar perusahaan besar akan menggusur tanah ini secara paksa. Kita harus bersiap.”

Clara mengangguk. Ia teringat apa yang ia pelajari selama bertahun-tahun bekerja di dunia korporasi. “Kita harus siap. Tanah ini bukan sekadar sumber penghasilan. Ini identitas kita. Kalau mereka datang, kita akan melawan.”

Tapi kepala desa menatapnya dengan mata yang ragu. “Mereka tidak hanya datang dengan uang. Mereka datang dengan kekuatan. Kamu tahu itu, Clara.”

Clara menarik napas panjang. Beban itu berat, namun ia telah memilih jalan ini. Ia memperjuangkan tanah leluhur, dan cintanya kepada Ranting.

Jakarta, 17 April 2025

LihatTutupKomentar