1 Wakil Gunernur + 7 Bupati Dayak di Kalimantan Barat: Not So Bad-lah!
1 Wakil Gunernur + 7 Bupati Dayak di Kalimantan Barat: Not So Bad-lah! By AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA : Satu Wakil Gubernur. Tujuh Bupati. Dari empat belas kabupaten dan kota di Kalimantan Barat, separuh lebih kini dipimpin oleh putra-putri Dayak.
Dayak meloloskan wakilnya menjadi bupati di kabupaten: Ketapang, Landak, Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Sintang, dan Kapuas Hulu. (Meski sesudah menjadi pejabat publik, Bupati telah melintas batas, milik seluruh rakyat, bukan hanya satu kaum dari mana dia berasal).
Bukan KB-1 tapi Not So Bad-lah!
Apakah ini bukan sebuah keberhasilan?
Barangkali. Tapi politik tidak hanya tentang angka. Ia tidak semata urusan siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Namun tetap, dalam gelanggang politik yang keras dan mahal —mahal secara literal, juga secara moral— fakta ini layak disebut capaian. Setidaknya, ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak kini bisa bersuara lebih nyaring, memilih lebih bebas, dan menang lebih sering.
Baca Kabinet tanpa Menyertakan Dayak : Perlu ada Partai Dayak (Lagi)
Kita pernah hidup di masa yang berbeda. Ketika nama-nama Dayak hanya mampir dalam catatan kaki sejarah, bukan terpampang di kop surat jabatan. Ketika keputusan-keputusan penting tentang tanah, hutan, dan kehidupan mereka ditentukan dari jauh. Kini, sejarah menoleh sejenak ke arah yang berbeda. Tapi sejarah juga sering lupa.
2 periode kursi KB-1 non-Dayak
Antara tahun 2008 hingga 2018, kursi KB-1 —kursi Gubernur Kalimantan Barat— diduduki oleh seorang Dayak. Dua periode penuh.
Itu bukan sekadar simbol. KB-1 itu bukti bahwa kekuasaan bisa diraih. Bahwa politik bukan ranah eksklusif segelintir elit luar, dan bahwa orang Dayak bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri. Namun kini, kursi itu kembali kosong dari perwakilan Dayak. Dan pertanyaannya mengapung pelan: apakah capaian itu bersifat sementara? Apakah itu hanya percikan, bukan nyala berkelanjutan? Ataukah ini sekadar jeda sesaat—napas panjang sebelum langkah baru?
Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan
Kita perlu melihat lebih dalam. Apakah keberhasilan elektoral ini telah diikuti oleh keberhasilan struktural?
Apakah kekuasaan yang telah diraih benar-benar membawa perubahan nyata yang dirasakan sampai ke kampung-kampung, ke ladang-ladang karet, ke tepi sungai, ke ruang tamu rumah panjang? Sebab kekuasaan, kata seorang pemikir, adalah alat, bukan tujuan. Yang lebih penting dari siapa yang duduk di sana adalah: apa yang mereka lakukan setelah duduk.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Pertanyaan itu penting. Apakah para pemimpin Dayak ini sungguh-sungguh berpihak pada rakyatnya? Ataukah mereka ikut terserap dalam logika birokrasi lama—yang lebih sibuk dengan prosedur daripada keadilan, lebih fasih bahasa anggaran daripada bahasa tanah dan air?
Sebab politik lokal tidak steril dari godaan global.
Di banyak wilayah Kalimantan Barat, tanah-tanah adat masih terancam. Perusahaan-perusahaan besar—sawit, tambang, konsesi kayu—masuk dengan restu negara. Dan terkadang, dengan diamnya pemimpin lokal. Masyarakat adat yang dahulu menjaga hutan kini dipaksa menjualnya demi janji pembangunan. Dan pembangunan, terlalu sering, berarti penggusuran.
Dalam situasi seperti ini, identitas saja tidak cukup. Yang dibutuhkan bukan sekadar pemimpin Dayak, tapi pemimpin yang belarasa Dayak—yang memahami bahwa tanah bukan barang dagangan, hutan bukan komoditas semata, dan masa depan tak bisa dibangun dari reruntuhan leluhur.
Maka tujuh bupati dan satu wakil gubernur memang bisa disebut prestasi.
Tapi jangan takabur! Politik bukan sekadar soal representasi. Ia tentang bagaimana angka-angka itu menjelma menjadi kebijakan. Tentang bagaimana suara di TPS berubah menjadi keberanian di ruang sidang. Tentang bagaimana pangkat digunakan bukan untuk memamerkan kuasa, tetapi untuk mengangkat martabat.
Goenawan Mohamad pernah menulis sekaligus mengingatkan bahwa “politik adalah seni kemungkinan.”
Tapi seni yang sebenarnya bukanlah soal merebut kekuasaan, melainkan bagaimana menggunakannya.
Baca Ngayau (1)
Mari Bung, rebut kembali!
Hari ini, politik Dayak telah melangkah lebih jauh dibanding masa lalu. Tapi jalan ke depan masih panjang dan terjal. Masih banyak desa tanpa listrik. Masih banyak generasi muda Dayak yang harus meninggalkan tanah kelahirannya demi pendidikan dan pekerjaan. Masih banyak bahasa dan kebudayaan yang perlahan memudar di bawah bayang-bayang globalisasi.
Tugas pemimpin Dayak hari ini bukan sekadar mempertahankan kursi. Tugas mereka adalah membuktikan bahwa kekuasaan bisa digunakan untuk menyembuhkan luka sejarah. Untuk melindungi tanah dan identitas. Untuk memperjuangkan pendidikan yang menghormati akar budaya. Untuk mengubah nasib rakyat yang terlalu lama bertahan di pinggiran pembangunan.
Baca Dayak: Post-Truth and the 7 Major Issues Facing the Dayak Ethnic Group Today
Prestasi dan kekosongan. Dua kata itu menggambarkan posisi kita hari ini. Prestasi karena sudah sejauh ini. Kekosongan karena belum ada jaminan bahwa semua itu membawa perubahan yang adil dan lestari.
Namun kekosongan, seperti kertas putih, bisa diisi.
Dan politik, pada akhirnya, bukan tentang masa lalu yang sudah terjadi, melainkan tentang masa depan yang bisa dibentuk. Dengan visi, keberanian, dan belarasa.
Telah 2 periode kursi KB-1 non-Dayak. Mari Bung, rebut kembali!
-- Rangkaya Bada