Tanah Kuning | Cerpen Rangkaya Bada

Sekadau, dompeng, peti, emas, tanah kuning, pengusaha, investor, Cina, Dayak,

Ilustrasi sebuah cerpen.
Tambang, investor, dan gadis Dayak. Ilustrasi by AI.

Tamu dari Cina itu datang bersamaan dengan Cap Go Meh di Singkawang.

 “Apa salah tanah kuning?”

Ia seperti mengulang masa lalu.

Kalimat itu dulu tertulis di dinding balai desa. Entah siapa yang menulis. Mungkin anak kecil. Mungkin Tuhan. 

Tapi sekarang dindingnya sudah diplester ulang, dan pertanyaannya menguap bersama suara mesin dompeng.

Tamu dari Cina itu tidak bicara banyak. Hanya tersenyum, memotret barongsai, dan mencicipi kue keranjang. Tapi ketika malam tiba, ia singgah di Sekadau. Disambut Bun Thung Kho dengan semangkuk masakan Tiu Ciu dan sebotol arak buatan pengusaha lokal.

“Dia suka budaya kita,” kata Bun Thung Kho, menepuk-nepuk punggungnya sendiri. “Dan katanya, masakan Dayak... lebih kuat dari masakan manapun di dunia.”

Tapi bukan hanya sambal minyak hitam yang membuat tamu itu berkeringat.

Malam itu, Lulong Laun datang.
Daun muda. Gadis Dayak berkulit sawo kemerahan dan rambut hitam yang harum seperti kopi hitam hutan pagi hari. Ia melangkah masuk kamar hotel dengan suara senyap seperti bayangan.

Tamu itu menatapnya lama, lalu berkata:

“Perempuan Dayak... jauh lebih lezat daripada masakan Cina. Masakan Dayak kuat. Bumbunya tajam. Rasanya menampar lidah dan membuat tubuh ingin berlutut.”

Ia tertawa keras, lalu meneguk arak. Lalu tertawa lagi.
Tangannya gemetar, mulutnya masih mengecap-ngecap kenikmatan yang belum selesai.
Ia menyuruh Lulong duduk di pangkuannya, lalu mulai melepas bajunya sendiri, satu per satu, sambil mengeluarkan lembaran uang dari kantong.

“Ini untukmu,” katanya sambil mengeluarkan semua isi sakunya.

“Dan ini... dan ini... ambillah semua. Saya ingin tinggal di malam ini selamanya.”

Sampai tak ada lagi pakaian.
Sampai tak ada lagi uang.
Sampai yang tersisa hanya tubuh telanjang dan mimpi-mimpi yang menempel di dinding kamar seperti nyamuk mati.

Dan ayam pun berkokok.

Esok harinya, tambang dibuka.
Dompeng-dompeng berderak di sungai.
Peti besar mencabik-cabik tebing.
Orang-orang bilang: “Hanya ambil tanah kuning, kok. Untuk timbun jalan.”

Tapi jalan itu menuju mana?

Lulong Laun menghilang.
Ada yang bilang ia ke Pontianak. Ada yang bilang ia hamil.
Ada juga yang yakin ia berubah jadi batu, duduk di pinggir sungai, menyimpan semua rahasia malam itu.

Dan kemudian datang marahnya tanah.

Longsor menelan tujuh pekerja.
Manajer tambang mati karena paku.
Bun Thung Kho kena stroke saat membalik daging babi di dapur.
Dan tamu dari Cina?

Mobilnya masuk parit saat hendak ke Bandara Supadio.
Tiga jam menarik tubuhnya keluar dari lumpur. Ia telanjang, lumpur menempel di sekujur badan seperti kutukan.
Ia kehilangan pesawat.
Ia kehilangan sepatu.
Ia kehilangan Lulong Laun.

Di hotel, ia duduk diam, menghadap dinding.
Katanya lirih:

“Apa bisa saya beli mimpi itu lagi?”

Tapi tak ada yang menjawab. Karena mimpi itu sudah berubah jadi kenangan pahit di mulut tanah.

Di warung kopi, Pak Turai berkomentar:

“Dulu kita jual karet. Lalu jual kayu. Sekarang jual tanah. Tapi yang paling mahal—yang paling tak bisa dibeli kembali—adalah tubuh gadis yang seharusnya dijaga.”

“Dan kita? Kita jual semuanya. Karena kita pikir itu cinta.”

Pak RT menambahkan:
“Apa salah tanah kuning?”
Dan langit jadi mendung. Tapi hujan tetap menolak jatuh.

Jakarta, April 2025

LihatTutupKomentar