Ngayau (1)
Sumber gambar: Blair dan Helmi,1991. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA : Suatu pagi yang dingin di belantara Borneo. Seorang lelaki tua berbicara pelan.
Kata-katanya mengalir seperti sungai yang mencari muara. Menghidupkan kembali ingatan yang perlahan tenggelam dalam lorong waktu: ngayau.
Apa makna ngayau?
Ukur (1971) menerangkan ngayau sebagai: pergi berperang. Dayak Jangkang mengartikan ngayau sebagai: bayang-bayang, kelebat, perang gaib. Orang Lamandau memaknai ngayau sebagai: mencari (kepala).
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Ngayau kemudian berevolusi. Ngayau berarti tanda kemenangan ketika seorang atlet membuktikannya dengan mengumpulkan sebanyak mungkin piala dalam dunia sport sebagai tanda-bukti kemenangan dalam suatu kejuaraan bergengsi.
Dan dalam dunia manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), ngayau (headhunter) adalah praktik: membajak tenaga terampil sesama/ perusahaan sejenis.
Jadi ngayau itu bermakna: positif in se (di dalam dirinya). Bahkan sangat dianjurkan. Sebagai ujud keutamaan dalam hidup yakni bentuk pencapaian, suatu achievement.
Anda yang punya curiosity tinggi, silakan membuka leksikon, kamus, ensiklopedia terkait untuk memverifikasinya!
Ngayau menjadi sepatah kata mengguncang dunia. Melekat-kuat pada Dayak sebagai klan dan komunitas. Sebagian mendengarnya sebagai kekerasan. Sebagian lainnya sebagai ritus.
Namun lebih banyak orang keliru memahaminya!
Di rumah-rumah panjang, di antara ukiran kayu yang bicara dalam diam, kepala manusia pernah menjadi lambang. Trofi perang. Namun lebih dari itu, ia adalah tanda kehidupan yang dijalani dengan takdir yang tak bisa ditolak.
Sejarah mencatat. Atau mencoba mencatat. Tangan-tangan asing menuliskannya dalam laporan perjalanan, dalam jurnal etnografi, dalam kisah petualangan yang terjual laris di Eropa. Mereka menyebut ngayau sebagai keganasan. Mereka melihat orang Dayak sebagai pemburu kepala yang harus dijinakkan, peradaban yang harus diredam.
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional
Tetapi di belantara ini ngayau bukan sekadar tentang kepala yang dipenggal. Ngayau adalah tentang kehormatan. Tentang keseimbangan.
Lencau dari Lidung Payau pernah bertanya, "Why do the Dutch stop us making war when they are having wars all time" seperti diungkapkan Lencau dari Lidung Payau sebagaimana dicatat Blair dan Helmi (1991: 123).
Ya. Mengapa Kompeni Hindia Belanda melarang Dayak saling kayau dan berperang satu sama lain dalam konteks mekanisme pertahanan-diri dan pembelaan? Sementara kompeni sendiri tak henti-hentinya memerangi dan membunuh Dayak, bahkan saban waktu dan setiap saat menjajah serta menginjak-injak Dayak? Di mana kata "adil dan jujur" terhadap sikap yang sama?
Ironi yang nyaris tak terdengar!
Tumbang Anoi, 1894, menjadi panggung kesepakatan. Damang Batu menjadi tuan rumahnya.
Para tetua bersidang. Tangan-tangan bertaut, suara-suara menggumamkan perjanjian. Ngayau dihentikan. Tetapi adakah kesepakatan yang mampu membendung ingatan? Adakah perjanjian yang bisa melawan arus sejarah?
Jadi ngayau itu bermakna: positif in se (di dalam dirinya). Bahkan sangat dianjurkan. Sebagai ujud keutamaan dalam hidup yakni bentuk pencapaian, suatu achievement.
Di tahun-tahun setelahnya, konflik tetap terjadi. Hanya saja, ia tak lagi disebut ngayau. Ia menjadi perlawanan. Ia menjadi pertahanan. Ia menjadi usaha terakhir untuk menjaga tanah yang terus menyusut, identitas yang perlahan memudar.
Buku-buku ditulis. The Headhunters of Borneo, Black Borneo —teks yang lebih sering membangun citra daripada menggambarkan kenyataan.
Rumah panjang disebut kotor. Ngayau disebut kebiadaban. Tetapi sedikit dari mereka yang menulis, yang benar-benar mendengar, yang mencoba memahami.
McKinley melihatnya dalam semiotika. Freeman menelaahnya sebagai penghormatan kepada Singalang Burong. Tetapi suara-suara dari jantung Borneo sendiri tenggelam dalam hiruk-pikuk narasi asing.
George Windsor, 1837, mencatat orang Dayak sebagai "wild Dyaks" —liar. Ia menulis tentang mereka setelah berbincang dengan residen Belanda, setelah menemui Sultan Sambas.
Baru setelah itu ia merasa pantas menilai. Label "liar" itu bertahan, seperti cap yang sulit dihapus.
Ngayau adalah sepatah kata yang menentukan bagaimana dunia luar melihat orang Dayak. Bukan sebagai manusia dengan sejarah, tetapi sebagai eksotisme. Sebagai latar bagi petualangan orang lain.
Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur
Tetapi sejarah adalah sesuatu yang bergerak. Di rumah panjang yang kini lebih sering menjadi latar foto wisata, di hutan-hutan yang semakin menipis oleh ekspansi, ngayau masih hidup dalam bisik-bisik mereka yang mengingat.
Ngayau bukan sebagai kisah kekerasan semata, melainkan sebagai sesuatu yang lebih rumit, lebih dalam. Sesuatu yang suatu hari nanti, mungkin, akan ditulis kembali. Oleh tangan yang bukan sekadar mencatat, tetapi yang memahami.
***
Ngayau dalam tradisi Dayak tidak dipahami seutuhnya oleh orang yang bukan dilahirkan sebagai Dayak. Setidak-tidaknya orang yang mengalaminya sendiri. Musykil bagi orang non-Dayak memahami, apalagi menghayati ngayau.
Terjadi mispersepsi orang luar Dayak terkait praktik ngayau. Beratus tahun lamanya. Kadang dimitoskan. Sering ngayau adalah stereotipe, persepsi, konstruksi yang sengaja dibangun.
Bahwa ngayau bukan pertama-tama soal memenggal kepala. Tetapi pada tempat pertama ngayau adalah mekanisme mempertahankan diri, bertahan, dan: survive.
Ngayau, menurut Lontaan (1975: 533-537), membawa di dalamnya lebih dari sekadar pedang dan kepala.
Ngayau mengandung motif-motif yang berakar dalam dan kokoh bagai tiang-tiang betang rumah panjang:
- melindungi ladang dari ancaman yang tak selalu tampak,
- menambah daya yang tak hanya bersifat fisik,
- membalas dendam yang lebih menyerupai tuntutan keseimbangan, dan
- meneguhkan bangunan agar tak hanya berdiri, tetapi bertahan.
Namun, di balik semua itu, ngayau adalah cara. Ngayau strategi Dayak bertahan hidup di tengah-tengah dunia yang kadang bukan saja keras tapi juga mengancam bahkan menyerang.
Ngayau sebuah mekanisme pertahanan diri untuk tetap hidup. Untuk bertahan di tengah dunia yang sewaktu-waktu bisa merenggut segalanya. Bersambung
-- Masri Sareb Putra, M.A.