5 Sebab VOC Bubar

Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC, bubar, korupsi, pesaing, serakah, pongah, persaingan, perang, pemberontakan, utang,

5 Sebab VOC Bubar
Depan gudang peninggalan penjajah legendaris VOC di Sunda Kelapa. Dok. Bibliopedia.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA :  Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bubar. Tanpa perlu ada yang membubarkan. Ia hancur oleh bobot kepongahannya sendiri.

Maka kepada siapa pun yang menganggap kekuasaan bisa dipertahankan dengan kebohongan, penindasan, dan korupsi, sejarah punya satu pesan sederhana: bersiaplah bubar.

 5 Sebab Mengapa VOC Bubar

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan pada 20 Maret 1602. Sebuah imperium dagang yang, dalam ilusi para pendirinya, akan bertahan selamanya. 

Dijalankan oleh 17 tuan-tuan (“Heeren XVII”), perusahaan ini bukan sekadar pedagang rempah, tapi perompak berseragam, mengangkangi Nusantara dengan senjata, diplomasi licik, dan tipu daya. 

VOC tak sekadar monopoli dagang. Kompeni ini adalah simbol kerakusan yang dilegalkan. 

Namun seperti semua yang serakah. Kompeni Hindia Belanda yang dikenal angkuh, licik, lagi pongah, itu pun tumbang.

Baca Negara Leviathan

Tahun 1799, VOC bubar. Tak perlu didorong, ia runtuh dengan sendirinya. 

Dan sejarah selalu punya cara untuk mengingatkan: sesiapa saja yang mengulang kebodohan VOC, akan berakhir sama.

  1. Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
    Korupsi bukan sekadar penyakit, tapi cara hidup dalam VOC. Para pejabat dari Belanda hingga Batavia menggarong kas perusahaan, mencuri, menyuap, dan memanipulasi laporan keuangan. VOC bukan perusahaan dagang, tapi mesin penyedot kekayaan untuk segelintir orang. Administrasi berantakan, aset raib, laba mengecil. VOC lupa bahwa membangun kekaisaran butuh kejujuran, bukan sekadar ketamakan. Negara mana pun yang percaya bahwa korupsi bisa dipelihara tanpa konsekuensi, silakan belajar dari VOC.
  2. Terkurasnya Sumber Daya dan Biaya Militer
    VOC berdagang dengan bedil. Dari Banda hingga Makassar, dari Malaka hingga Jawa, ia memaksakan monopoli dengan darah. Tapi perang adalah lubang tanpa dasar. Setiap kapal perang yang dikirim, setiap benteng yang dibangun, setiap tentara yang digaji, adalah pengeluaran tanpa imbal balik. Akhirnya, VOC membakar lebih banyak uang daripada yang bisa dihasilkannya. Negara yang mengira bisa mengontrol rakyatnya dengan senjata selamanya, akan menemukan dirinya dalam keadaan yang sama: bangkrut dan dicemooh sejarah.
  3. Utang yang Menumpuk
    Saat pemasukan tak sebanding dengan pengeluaran, VOC melakukan apa yang selalu dilakukan oleh penguasa yang panik: berutang. Kredit ditarik tanpa henti, bunga membengkak, hingga akhirnya VOC tenggelam dalam lubang keuangan yang digalinya sendiri. Pada saat ia bubar, VOC meninggalkan utang sebesar 136,7 juta gulden. Sebuah angka yang, bahkan dalam standar zaman itu, sudah mustahil untuk dilunasi. Negara yang terus berutang untuk menutupi keborosan dan kerakusan, bersiaplah: masa VOC bisa jadi cermin masa depan.
  4. Persaingan Internasional
    Dunia tak pernah kekurangan pesaing. VOC yang dulu tak tertandingi, akhirnya harus menghadapi Inggris dan Prancis yang lebih cerdik. VOC masih percaya bahwa monopoli dan pemaksaan adalah strategi terbaik, sementara pesaingnya sudah bergerak dengan taktik yang lebih fleksibel. Kesombongan adalah jebakan. Dan seperti VOC, negara mana pun yang merasa terlalu kuat untuk dikalahkan, pada akhirnya hanya sedang menunggu waktu untuk disalip.
  5. Perubahan dalam Struktur Ekonomi dan Politik
    Zaman berubah. Revolusi Industri menggeser cara dagang, rempah tak lagi semahal dulu. Belanda sendiri bergolak, Republik Bataaf yang lahir setelah Revolusi Prancis menilai VOC sebagai peninggalan masa lalu yang korup dan tak efisien. Perusahaan ini sudah terlalu besar, terlalu lamban, terlalu sarat beban untuk bisa beradaptasi. Maka ia dibiarkan mati. Negara yang menolak berubah, yang mempertahankan sistem bobrok hanya karena nyaman bagi segelintir orang, akan mengalami hal yang sama.

Baca Capital Flight

Sejarah tidak sekadar peristiwa yang berlalu. Ia mengajari (historia docet). Sejarah adalah cermin masa depan  -demikian menurut Cicero. 

Negara yang mengabaikan kesejahteraan rakyat, mengutamakan keuntungan segelintir elite, membiarkan korupsi merajalela, dan menggantungkan diri pada utang, sedang berjalan di jalur yang sama dengan VOC. 

Tidak ada kekuasaan yang abadi. Ketika kesewenang-wenangan menjadi aturan, rakyat akan menjadi hakimnya. Dan kejatuhan hanya menunggu waktu.

Baca Joker

VOC jatuh bukan karena musuh dari luar, tapi karena kebusukan dari dalam. 

Begitu pula dengan negara mana pun yang percaya bahwa ia terlalu besar untuk gagal. 

Jika hari ini kita melihat birokrasi yang korup, pemimpin yang gemar berutang, penguasa yang mengabaikan suara rakyat. 

Maka jangan heran. Jika sejarah kembali mengulang dirinya. 

Bubarnya bukan soal kemungkinan. Tapi soal waktu. 

- Rangkaya Bada 

LihatTutupKomentar