Negara Leviathan
Politik Dayak adalah bagaimana bertahan dalam sistem yang terus berubah. Ilustrasi: AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA : Hobbes menulis tentang summum malum: kejahatan tertinggi. Yaitu ketakutan akan kematian yang kejam.
Leviathan, sebuah kitab yang ditulis Thomas Hobbes pada abad ke-17 barangkali lebih dari sekadar risalah politik. Ia adalah sebuah lanskap pikiran. Tempat manusia dan kekuasaan saling mengintai dalam bayang-bayang ketakutan.
Diterbitkan pada 1651, di tengah pusaran perang saudara Inggris. Buku ini hadir sebagai suara yang tajam, dingin, nyaris tanpa ilusi.
Baca Who’s Destroying Borneo’s Forests? The Corporate Takeover of Dayak Lands
Hobbes, dengan kejernihan yang menggetarkan, menatap manusia dalam keadaan alamiahnya: soliter, miskin, jahat, brutal, dan pendek umur.
Siapa di antara kita yang sudah baca buku mahapenting ini? Ist. |
Dari sana lahirlah kesadaran akan kebutuhan sebuah Leviathan. Yaitu kekuasaan absolut yang menaungi, menundukkan, dan, barangkali, menyelamatkan.
Negara Leviathan
Lebih dari seribu halaman, Leviathan mengulir gagasannya dengan ketelitian yang nyaris matematis. Ia bukan sekadar membahas bentuk pemerintahan, tetapi juga membongkar struktur jiwa manusia, kecenderungannya pada ketakutan, dorongan untuk bertahan hidup, dan kesediaannya menyerahkan kebebasan demi ketertiban.
Di dalam buku klasik ini ada desah panjang tentang kedaulatan: sosok penguasa yang bukan hanya memerintah, tetapi menjadi satu dengan hukum itu sendiri.
Dan di sini kita pun bertanya: Apakah Hobbes seorang realis atau sekadar pesimis yang putus asa?
Apakah Leviathan adalah kebutuhan atau sebuah keniscayaan yang menekan?
Meski buku ini berusia hampir 4 abad, tetap hidup. Seperti semua karya besar, ia lebih dari sekadar teks. Ia adalah cermin bagi zaman yang terus berubah, di mana ketakutan dan kekuasaan selalu saling mengejar dalam bayang-bayang sejarah.
Thomas Hobbes percaya bahwa masyarakat politik dapat diarahkan dan dikendalikan melalui ketakutan ini.
Ketakutan yang inheren dalam diri manusia adalah sumber kekuatan bagi penguasa. Sebab dengan ketakutan, manusia cenderung menyerahkan kebebasan dan hak-haknya kepada otoritas yang lebih besar.
Seperti dalam narasi lama tentang monster laut, Leviathan, negara adalah makhluk raksasa yang terbentuk dari orang-orang yang mengorbankan kebebasannya demi keamanan.
Baik dan buruk, dalam pandangan Hobbes, bukanlah entitas absolut. Hal itu hanyalah ekspresi dari kehendak individu. Apa yang diinginkan seseorang disebut baik; apa yang ia hindari disebut buruk.
Dengan demikian, moralitas bersandar pada subjektivitas manusia, bukan pada hukum ilahi atau prinsip metafisika. Harapan, menurutnya, adalah perpaduan antara keinginan dan keyakinan bahwa sesuatu dapat dicapai.
Semua tindakan manusia diarahkan oleh dorongan menuju kesenangan dan menjauhi penderitaan. Ini adalah fondasi bagi kontrak sosial yang ia usulkan: manusia menerima kekuasaan yang absolut karena ketakutan mereka akan kehidupan tanpa hukum.
Hobbes mengkritik teologi politik yang berkembang pada masanya. Ia menyatakan bahwa filsafat skolastik terlalu banyak terjebak dalam permainan bahasa.
Istilah seperti "substansi tak berwujud" adalah contradictio in terminis —sebuah kontradiksi dalam istilah. Baginya, segala sesuatu harus dapat dipahami dalam konteks materi dan gerak. Tidak ada yang berada di luar hukum-hukum fisika.
Karena itu, kedaulatan negara haruslah bersifat duniawi, tanpa campur tangan metafisika atau agama.
Relevan untuk segala zaman
Buruk-buruk papan jati. Demikianlah Leviathan. Ditulis lebih dari tiga abad lalu, tetapi tak kehilangan daya kritisnya. Negara tetap menjadi mesin kekuasaan, politik tetap arena kepentingan, dan rakyat tetap menjadi objek propaganda. Ketakutan tetap menjadi instrumen untuk mengukuhkan ketaatan. Yang berubah hanya caranya.
Baca The Dayak Stigma and Unintended Consequence
Hobbes menggambarkan kondisi manusia sebelum negara ada sebagai keadaan anarki total, di mana semua orang hidup dalam ketakutan satu sama lain. Bellum omnium contra omnes: perang semua melawan semua.
Untuk menghindari kehancuran, manusia membuat perjanjian sosial. Mereka menyerahkan sebagian besar haknya kepada negara, yang bertindak sebagai Leviathan, sang monster yang menjaga keteraturan.
Hobbes bersikeras bahwa kedaulatan harus absolut. Tak boleh ada kekuasaan yang terfragmentasi. Tak boleh ada individu yang cukup kuat untuk mengancam otoritas negara. Jika tidak, anarki akan kembali. Karena itu, ia cenderung mendukung monarki absolut. Yakni pemerintahan yang berpusat pada satu penguasa.
Politik bukan hanya tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Tetapi tentang bagaimana sebuah komunitas bertahan dalam sistem yang terus berubah.
Bagi Hobbes, suatu pemerintahan lebih baik ditakuti tetapi stabil, daripada bebas tetapi kacau. (Nilai sendiri: Apakah kita pada kondisi ditakuti tidak stabil, bebas, dan kacau?)
Namun, ia juga menyadari: kekuasaan tanpa batas bisa berubah menjadi tirani. Hukum, bagi Hobbes, adalah perpanjangan dari kehendak negara, tetapi juga batas bagi penguasanya.
Sebuah perdebatan yang tak pernah selesai, tentang sejauh mana negara berhak mengatur individu.
Mengapa Dayak mesti melek politik?
Leviathan tetap menjadi cermin bagi masyarakat kita. Politik bukan hanya tentang siapa berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan bekerja—dan kepada siapa ia berpihak.
Dalam sejarah panjang bangsa ini, orang Dayak telah menyaksikan janji-janji yang manis di permukaan, tetapi pahit di ujungnya. Kepekaan politik adalah benteng pertama untuk mempertahankan diri. Buta politik bukan sekadar kehilangan hak suara, tetapi juga kehilangan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Baca Oevaang Oeray: First Dayak Governor of West Kalimantan
Dayak harus bisa melihat niat jahat yang tersembunyi di balik awal yang tampak baik. Tidak semua pembangunan membawa kemajuan, tidak semua investasi dimaksudkan untuk kesejahteraan.
Sejarah mengajarkan bahwa mereka yang terlalu percaya, sering menjadi yang pertama dikorbankan. Maka memahami politik bukanlah sekadar pilihan, tetapi keharusan. Sebab tanpa itu, kita hanya akan menjadi angka dalam statistik yang disusun oleh mereka yang berkuasa.
Orang Dayak harus membangun kapasitasnya sendiri, jangan terlalu banyak menggantungkan harapan pada negara. Leviathan, sebagaimana yang digambarkan Hobbes, hanya sekuat ketakutan yang kita berikan padanya.
Ketika komunitas memiliki kemandirian ekonomi, pendidikan yang kuat, serta kesadaran politik yang tajam, mereka tak akan mudah digiring.
Politik bukan hanya tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Tetapi tentang bagaimana sebuah komunitas bertahan dalam sistem yang terus berubah.
-- Masri Sareb Putra, M.A.