Capital Flight
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA : Modal adalah makhluk gelisah. Ia selalu mencari tempat yang lebih aman, lebih menjanjikan laba. Ia tidak mengenal batas negara, tidak memiliki kesetiaan pada bendera. Ia bergerak dalam keheningan, mengalir keluar tanpa pamit, meninggalkan celah yang menganga.
Capital flight—dua kata yang terdengar teknokratis, tetapi menyimpan dentuman yang bisa mengguncang sebuah negeri. Ia bukan sekadar arus uang yang beralih ke luar negeri, tetapi juga gejala dari sesuatu yang lebih dalam: hilangnya kepercayaan. Ketika rakyat mulai meragukan stabilitas, ketika pebisnis mencium bau ketidakpastian, modal pun angkat kaki. Bukan karena ia takut, tetapi karena ia tahu bahwa ketidakpercayaan adalah awal dari keruntuhan.
Kita telah menyaksikannya. Berkali-kali.
Tahun 1998, Indonesia belajar dengan cara yang pahit. Ketidakpercayaan bukan hanya kepada ekonomi, tetapi kepada penguasa. Rakyat marah. Bukan sekadar karena harga melangit, tetapi karena sistem yang busuk, oligarki yang mencengkeram, tirani yang membusungkan dada. Dan ketika gelombang kemarahan itu pecah, bukan hanya modal yang pergi, tetapi juga sebuah rezim.
Baca Negara Leviathan
Hari ini, 19 Maret 2025. Kita kembali melihat tanda-tanda itu.
Suasana yang Membara
Di Senayan, ribuan orang berkumpul. Mereka bukan sekadar demonstran, tetapi cerminan dari kegelisahan yang menjalar di seluruh negeri. Mahasiswa berbaris dengan spanduk, buruh mengangkat tangan dengan kepalan, petani dan nelayan berjalan dengan langkah berat—karena mereka tahu, harga pupuk dan solar terus naik, tetapi hidup mereka justru kian murah.
Teriakan mereka membelah udara Jakarta yang gerah—bukan hanya oleh panas matahari, tetapi juga oleh ketidakadilan yang kian membakar. Gedung parlemen menjadi sasaran. Di balik jendela kaca, para politisi mungkin masih sibuk menghitung kepentingan mereka, bernegosiasi bukan untuk rakyat, tetapi untuk menyelamatkan diri sendiri.
Baca Peta Kolonial dan Peta Kapitalisme di Borneo
Di layar-layar televisi, para pengamat ekonomi berbicara dengan bahasa yang rumit, menutupi satu kenyataan yang sederhana: Indonesia tidak baik-baik saja.
Rupiah melemah, indeks saham goyah, harga kebutuhan pokok melambung. Daya beli merosot. Para investor mulai menarik modal mereka, bukan karena sekadar angka-angka yang buruk, tetapi karena suasana yang berbau busuk. Mereka yang memahami pasar tahu: uang tak suka ketidakpastian, dan saat negara tak bisa menjanjikan stabilitas, modal akan pergi tanpa menoleh ke belakang.
Sementara itu, di gang-gang sempit, di pasar-pasar rakyat, di warung kopi yang menghadap jalan raya, percakapan tentang harga beras menggantikan gosip selebritas. Minyak goreng kembali naik, harga cabai seperti roller coaster, sedangkan penghasilan tetap—jika tidak berkurang.
Di pabrik-pabrik, pemilik usaha mulai menggulung tikar, PHK terjadi dalam gelombang yang lebih besar. Anak-anak muda, yang dulu digadang-gadang sebagai tulang punggung ekonomi digital, kini lebih banyak menganggur. Startup runtuh satu per satu. Teknologi yang dulu dielu-elukan sebagai masa depan, kini justru menjadi penanda dari kegagalan masa kini.
Korupsi yang Telanjang, Hukum yang Kerdil
Di tengah semua ini, kasus-kasus korupsi terus bermunculan. Angka-angka yang disebutkan di berita sudah begitu besar, sampai kehilangan makna. Sepuluh miliar? Seratus miliar? Triliunan? Apa bedanya?
Orang-orang kaya tetap bertambah kaya. Sementara di pinggiran kota, seorang ibu menangis karena tidak bisa membeli susu untuk anaknya. Seorang bapak mengeluh karena gajinya tak cukup untuk ongkos ke tempat kerja.
Baca Belajar Koperasi dari Credit Union (CU)
Sementara itu, mereka yang berkuasa tetap tenang di atas kursi empuk mereka. Hukum kian tampak seperti dagelan. Kasus yang melibatkan penguasa lambat diproses, sementara seorang rakyat kecil yang mencuri sekilo beras langsung dihakimi.
Rakyat melihat.
Mereka tahu bahwa keadilan bukan lagi soal benar dan salah, tetapi soal siapa yang punya kuasa. Bahwa hukum lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahwa negara ini, yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini lebih mirip perusahaan keluarga—dijalankan oleh segelintir orang untuk kepentingan segelintir orang lainnya.
Kepercayaan melayang.
Dan modal, yang selalu tahu kapan harus pergi, kini sudah bersiap-siap menyeberangi lautan. Mereka yang berkuasa mungkin berpikir badai akan berlalu. Tetapi modal tahu lebih baik: uang bisa kembali, tapi kepercayaan yang melayang tak mudah ditangkap lagi.
Sejarah telah menuliskannya.
Dan tampaknya, kita masih enggan membaca.
***
NEGARA sering kali tak lebih dari musim yang berubah-ubah: panas terik janji, hujan deras utang, angin kencang kebijakan yang tak menentu. Tapi Dayak tidak hidup dalam musim yang sekadar diterima. Mereka membangun perlindungan sendiri—dari hutan, dari sungai, dari tanah yang mereka sebut rumah.
Di tengah gemuruh krisis kepercayaan, mereka punya sesuatu yang kerap hilang di tempat lain: kesetiaan pada gagasan kebersamaan. Credit Union bukan hanya soal uang yang diputar, tetapi ikatan yang dikuatkan. Sebuah lembaga yang bekerja karena ada keyakinan: bahwa seseorang meminjam bukan untuk menipu, tetapi untuk bangkit. Bahwa seorang pemimpin bukanlah penguasa, tetapi perpanjangan tangan dari yang dipimpin.
Di luar sana, kepercayaan sudah lama menjadi barang langka. Institusi besar bicara tentang kepastian, tapi justru gagal memberi rasa aman. Sementara itu, di tepian sungai, di ladang-ladang yang nyaris terlupakan, Dayak merawat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar angka dalam laporan: janji yang dipegang erat, tanggung jawab yang dijalankan, hak yang tak perlu diperjuangkan karena memang sudah sepantasnya ada.
Mungkin, di sinilah letak ironi itu. Bahwa yang dianggap kecil justru yang mengajarkan bagaimana menjadi besar. Bahwa bertahan bukan soal menunggu negara menata diri, melainkan soal bagaimana tetap tegak di tengah badai.
Karena percaya satu sama lain.
-- Rangkaya Bada