Entikong dan Tebedu Cermin Retak dan Utuh Wajah Dua Penjajah

Di sempadan Entekong - Tebedu. Dok. Eremespe.
🌍 DAYAK TODAY | KUCHING, SARAWAK: Perbatasan adalah garis. Tapi garis bisa kabur. Seperti warna yang melebur di kain batik, atau batas senja yang tak pernah pasti kapan berubah menjadi gelap.
Di Entikong, garis itu tampak jelas: sebuah pos lintas batas yang megah. Berdiri seperti monumen gagah kebangsaan. Sebuah wajah Indonesia, katanya. Tapi wajah tak selalu menggambarkan isi kepala.
Baca Dewi Liana: The Miss World Malaysia 2014 Who Proudly Represents the Bidayuh
Sebelum peresmian pos lintas batas di Kalimantan Barat, tiga pos lain sudah lebih dulu ada: di Entikong, Badau, dan Sambas.
Infrastruktur mengalir, dana pembangunan dikucurkan. Sebuah wujud dari Nawacita: membangun Indonesia dari pinggiran. Tapi pembangunan fisik tak selalu seiring dengan pembangunan mentalitas.
Di seberang, Tebedu, Sarawak, menyambut dengan jalanan yang halus, rapi, tanpa klakson yang memekakkan.
Di Kuching, orang berjalan tanpa tergesa, kendaraan tak saling mendahului. Rumah-rumah berdiri berjeda dari jalan, sampah tak berserakan, keteraturan seperti bahasa yang dipahami bersama.
Di Pontianak, di Jakarta, lain ceritanya. Bukan sekadar soal aspal, tetapi soal kebiasaan, mentalitas, cara melihat dunia. Ada perbedaan yang diam-diam tumbuh di antara dua negeri yang berbagi akar, berbagi sejarah. Tapi tidak berbagi nasib.
Mungkin suatu hari nanti. Entikong dan Tebedu bukan lagi dua dunia yang berbeda. Tapi untuk sekarang, garis itu tetap ada. Meski samar, meski terus berubah. Sebab itu tujuan dibukanya jalan tembus kedua negara tetangga di mana warganya satu dan sama: Dayak.
Adakah ini soal penjajahan? Sarawak dikoloni oleh Inggris. Sedangkan Kalimantan Barat dikuasai kompeni Hindia Belanda yang pelit dalam pendidikan, enggan berbagi teknologi.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Ataukah ini hanya perbedaan akibat luas wilayah dan jumlah penduduk? Mengurus yang sedikit lebih mudah daripada mengurus yang banyak. Atau, mungkin ini hanya perkara jarak.
Kalimantan jauh dari Jakarta, seperti anak tiri yang ditinggalkan, sementara Sarawak, dalam satu federasi kecil, lebih mudah mendengar suara ibu.
Lalu, ada yang lebih dalam. Soal cara berpikir, soal cara menakar diri. Sarawak punya warisan pendidikan Inggris, yang menanamkan kepercayaan diri, kemampuan berbicara di forum dunia.
Sementara di Kalimantan, jejak kolonialisme lebih samar, pendidikan lebih lambat datang, dan dengan itu, kesadaran sebagai bagian dari dunia juga lebih lambat tumbuh.
Warga Sarawak yang belajar di Inggris membawa pulang cara pandang yang lebih luas. Sementara di Kalimantan, pendidikan yang terbatas membentuk kesadaran yang lebih tertuju ke dalam, ke hutan, ke ladang, ke kampung.
Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur
Tapi ini bukan cerita tentang siapa yang lebih maju, siapa yang lebih tertinggal. Ini cerita tentang dua sisi cermin yang memantulkan bayangan berbeda, meski berasal dari satu tubuh yang sama.
Dayak di Sarawak dan Dayak di Kalimantan Barat, satu darah, satu sejarah. Tapi sejarah juga bisa membelokkan jalan, membentuk identitas yang serupa, tapi tak sama.
Garis perbatasan tetap ada. Seperti batas senja yang perlahan berubah menjadi gelap. Atau mungkin sebaliknya: fajar yang diam-diam sedang menyingsing.
Tapi garis ini bukan sekadar urusan administrasi, bukan hanya perbatasan negara. Ia adalah perbatasan mental, perbatasan cara hidup, perbatasan pemahaman tentang dunia. Satu pihak melihat keluar, menatap cakrawala, satu pihak masih bergumul dengan tanah sendiri, mempertanyakan hak, mempertanyakan masa depan.
Di pasar Serikin, orang-orang Kalimantan menjual hasil bumi, kerajinan tangan, kain tenun. Mereka menyeberang demi rezeki, tapi kembali dengan perasaan bahwa di seberang sana, ada tatanan yang lebih teratur.
Di Tebedu, anak-anak sekolah dengan seragam rapi, berbahasa Inggris, bercita-cita menjadi insinyur, dokter, pengusaha. Sementara di Entikong, anak-anak bertanya-tanya apakah mereka harus tetap di kampung atau pergi ke kota yang tak selalu ramah.
Pembangunan fisik bisa dikejar, bisa dipercepat. Tapi mentalitas tak bisa dibangun dalam satu periode pemerintahan. Ia tumbuh perlahan, seperti akar yang mencari air di tanah yang keras. Sarawak punya modal sosial yang lebih dulu ditanamkan. Kalimantan masih mencari caranya sendiri.
Mungkin suatu saat garis ini tak lagi terasa setajam ini. Mungkin suatu hari nanti. Entikong dan Tebedu bukan lagi dua dunia yang berbeda. Tapi untuk sekarang, garis itu tetap ada. Meski samar, meski terus berubah.
Seperti batas senja yang tak pernah benar-benar pasti.
19 Maret 2025
-- Masri Sareb Putra