Peta Kolonial dan Peta Kapitalisme di Borneo
Pelabelan ”Dajaks” dalam peta tahun 1917. Sumber: Collins, 2017: 303. |
🌍 DAYAK TODAY | KUCHING, SARAWAK: Pada tahun 1917. Pada ketika Eropa bergolak dalam Perang Dunia Pertama di mana jutaan nyawa terenggut dan batas-batas negara dipertaruhkan. Para pejabat kolonial di Hindia Belanda duduk nyaman di kursi empuk mereka.
Para Heer van overzee (tuan dari seberang lautan) itu tak perlu merunduk menghindari peluru. Tak usah menyaksikan kota-kota luluh lantak.
Alih-alih bekerja memeras tenaga yang mengeluarkan keringat. Para borjuis sibuk dengan tugas yang tampak lebih damai. Malah asyik menggambar ulang batas-batas etnis di sebuah pulau yang jauh dari medan perang.
Borneo, tanah yang hijau dan luas, dipetakan. Wilayah-wilayah diberi warna berbeda-beda dalam peta Volkenkaart van Borneo. Suku-suku diberi nama, digolongkan, dan dipisahkan dalam garis-garis yang tegas.
Garis-Garis yang mengikat identitas
Ada sesuatu yang ironis di sini: sementara di Eropa batas-batas negara bisa berubah karena perang dan revolusi. Di Borneo batas-batas suku justru dipertegas oleh tangan-tangan para kartografer kolonial.
Seakan-akan identitas bisa dikemas rapi dalam kotak-kotak, seakan-akan manusia tak berubah, seakan-akan mereka tak bisa melintasi sungai, mendaki gunung, atau menikah dengan orang dari seberang batas yang baru digariskan itu.
Lebih dari sekadar peta, Volkenkaart adalah representasi kekuasaan. Ia adalah alat untuk mengatur, mengendalikan, dan mungkin juga memecah belah.
Baca Dewi Liana: The Miss World Malaysia 2014 Who Proudly Represents the Bidayuh
Garis-garis yang digoreskan pada tahun 1917 itu tidak hanya mendefinisikan suku, tetapi juga menentukan batas administratif dan wilayah hukum yang kelak diwarisi oleh negara pascakolonial.
Politik etnisitas ini bukan hanya tentang pemetaan, tetapi juga tentang bagaimana pemerintah kolonial mengelola penduduk. Dengan membagi suku-suku dalam batas yang tegas, pemerintah kolonial menciptakan ilusi keteraturan dan stabilitas. Namun, seperti semua ilusi, ia hanya bertahan sejauh orang-orang mempercayainya.
Banyak aspek peta ini dan hubungannya dengan konseptualisasi penjajah yang dapat dibicarakan. Volkenkaart ini bukan sekadar peta bahasa, melainkan peta politik dan peta etnisitas.
Di Kalimantan Barat (Wester-Afdeeling), hanya lima suku “Dajak” yang dinamakan dan ditunjukkan lokasinya, yaitu "Land Dayaks, Moealang, Ot Danoem, Bukitan," dan "Kayans."
Peta tahun 1917 memperlihatkan kepentingan penjajah: penamaan suku (Dayak, Melayu, Jawa, Bugis), batas kuasa politik, dan sedikit bayangan tentang distribusi suku yang melintas batas-batas tersebut. Secara kasar dan kabur, terdapat sedikit informasi yang berkaitan dengan bahasa.
Namun, peta ini bukanlah satu-satunya upaya untuk memahami kompleksitas etnisitas di Borneo.
Sekitar 40 tahun lalu Australian National University menerbitkan atlas yang memang berfokuskan bahasa. Language Atlas of the Pacific Area (Wurm dan Hattori, 1983) memuatkan peta Pulau Kalimantan dalam Bagian 2 atlas tersebut.
Penyusun atlas itu, khususnya dalam peta Kalimantan, memanfaatkan bukan saja terbitan kolonial tapi juga berbagai terbitan yang dihasilkan sesudah kemerdekaan Indonesia.
Baca Bagaimana Dayak Mengubah dan Melawan Dominasi Oligarki
Jika Volkenkaart adalah peta yang dibuat untuk mengatur dan mengontrol, Language Atlas adalah peta yang mencoba memahami dan merekam kenyataan yang lebih kompleks.
Peta Kolonial kejam, peta Kapitalisme lebih kejam lagi
Seabad kemudian, kita masih bergulat dengan garis-garis itu. Identitas suku seringkali lebih dahulu ditanyakan sebelum nama. Seorang Dayak Iban, seorang Kanayatn, seorang Kendayan: mereka tahu di mana mereka berdiri dalam peta yang dibuat para kolonialis.
Tetapi, di luar peta itu orang-orang telah bergerak. Mereka telah beradaptasi, menikah, bermigrasi.
Di kota-kota, identitas kesukuan memudar, bercampur dengan yang lain, lalu berubah. Namun, dalam administrasi negara, kategori etnis masih melekat, seolah-olah garis-garis dalam peta itu adalah sesuatu yang kodrati dan tidak berubah.
Baca Entikong dan Tebedu Cermin Retak dan Utuh Wajah Dua Penjajah
Namun kini, peta kolonial telah berevolusi menjadi peta baru: peta tambang, peta lahan, serta peta kawasan industri. Garis-garis yang dahulu ditarik untuk membatasi suku dan identitas, kini digunakan untuk membagi wilayah eksploitasi sumber daya.
Hutan yang dulu dipetakan sebagai rumah bagi suku-suku tertentu kini berubah menjadi lahan konsesi. Sungai yang dulu menghubungkan komunitas kini menjadi jalur transportasi logistik industri.
Dayak dan penghuni Kalimantan tidak banyak yang sadar: tanah warisan leluhur mereka telah dibagi-bagi oleh orang luar dari jauh, namun menguasainya dari dekat.
Garis-garis baru ini tak lagi berbicara tentang etnisitas, tetapi tentang kepemilikan, tentang korporasi, tentang batas-batas wilayah pertambangan dan perkebunan skala besar.
Peta telah berubah, tetapi kuasa yang mengendalikannya tetap sama: mereka yang melihat Borneo dari kejauhan, tetapi mengatur nasibnya dari dekat.
Tapi peta tetap ada. Seperti monumen tua yang mengingatkan pada masa ketika para penguasa bisa menentukan siapa kita hanya dengan sehelai kertas dan pena.
Garis-garis itu mungkin sudah pudar di atas kertas, tetapi dalam pikiran banyak orang, mereka masih tajam.
Pertanyaannya: apakah kita masih hidup dalam warna-warna yang mereka goreskan?
Ataukah sudah saatnya kita menggambar ulang diri kita sendiri?
Apakah mungkin untuk melampaui garis-garis yang dibuat oleh tangan yang tak lagi berkuasa, tetapi masih membentuk cara kita melihat dunia?
Kalimantan yang digambar ulang Oligarki dan Kapitalis
Di kota-kota metropolitan, para Heer van overzee bermain golf dengan tenang. Mereka menyesap anggur di sela rapat, membolak-balik peta yang tak lagi hanya menunjukkan sungai dan gunung, tapi garis-garis baru yang tak kasatmata.
Batas-batas etnis, batas-batas kuasa, digambar ulang seperti sketsa yang selalu bisa dihapus dan diubah. Pulau itu, yang dulu begitu jauh, kini tak lebih dari angka dalam laporan tahunan, grafik yang naik-turun, saham yang berpindah tangan.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Di tempat lain, jauh dari meja-meja rapat dan lapangan hijau, tanah itu pecah dan terbuka. Hutan yang dulu teduh kini berlubang-lubang. Sungai yang dulu panjang dan jernih kini mengalir dengan warna yang tak lagi bisa dijelaskan.
Orang-orang yang telah tinggal di sana berabad-abad, yang mengenal setiap jejak burung dan arah angin, kini menjadi siluet yang perlahan memudar. Nama mereka ada dalam dokumen, tapi tak ada dalam keputusan.
Dan kini mereka belajar untuk bertahan. Di kota yang tak mereka kenal, di tanah yang tak lagi mereka miliki.
Mitos-mitos yang dulu diceritakan sebelum tidur kini hanya tinggal gema di kepala. Sebab yang tersisa bukan lagi kisah tentang leluhur, bukan lagi dongeng tentang sungai yang bernyanyi.
Tapi tanya yang menggantung: seberapa lama lagi mereka harus bertahan di negeri yang seharusnya mereka sebut rumah?
-- Masri Sareb Putra, M.A.