Bagaimana Dayak Mengubah dan Melawan Dominasi Oligarki

Dayak, oligarki, politik, Soeharto, ABRI, Sanggau, Sintang, Sekadau, Kapuas Hulu, DPR, Otonomi daerah,

Bagaimana Dayak Mengubah dan Melawan Dominasi Oligarki
Dayak berpotensi melawan dan mengimbangi Oligarki dari kekuatan "dari dalam".  Bupati Kepatang memaklumkan: Daulat Dayak di tanahnya. Dok. dayaktoday.com

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:  Sejarah tak selalu datang dengan genderang perang. Kadang ia tiba seperti angin dari hutan tua—pelan, nyaris tak terdengar, tapi membawa bau yang akrab: bau tanah yang pernah direbut, nama-nama yang pernah dilupakan, dan janji-janji yang tertunda.

Di tanah Borneo, sejarah itu pernah disingkirkan ke pinggiran. Orang Dayak dikenal sebagai penjaga hutan, peladang berpindah, pewaris adat. Tapi dalam buku sejarah besar negeri ini, mereka nyaris absen. Mereka ada, tapi tak hadir.

Baca Machiavelli Banyak Disalahmengerti

Di masa Orde Lama, tanah adat mulai terguncang oleh konsep negara bangsa. Peta digambar ulang. Hutan yang dulu rumah, jadi kawasan. Sungai yang dulu nadi, jadi batas. Soekarno bicara tentang revolusi, tapi suara Dayak tak pernah benar-benar terdengar dalam pidato itu.

Lalu datang Orde Baru. Lebih sistematis, lebih sunyi. Pembangunan datang seperti bulldozer. Hutan ditebang, sawit ditanam, tambang digali. 

Jangan gadai tanahmu!

Di Sanggau, Sintang, Sekadau, dan jauh ke pedalaman Kapuas Hulu, tanah adat digantikan oleh sertifikat. Orang Dayak diajari menjadi “modern”, tapi lupa diberi tempat dalam pengambilan keputusan. Elite lokal muncul, tapi kerap hanya jadi pelayan dari kekuasaan yang lebih tinggi.

Reformasi 1998 membawa harapan. Otonomi daerah menjanjikan ruang gerak. Lembaga adat bangkit. Tokoh Dayak naik ke DPR, ke eksekutif, bahkan jadi gubernur. Tapi apakah kekuasaan itu membawa pulang marwah Dayak yang sesungguhnya?

Hari ini, kita melihat oligarki baru. Namanya bukan lagi Soeharto atau ABRI. Namanya korporasi sawit, modal tambang, dan elite-elite lokal yang tak lagi tinggal di rumah panjang, tapi di hotel berbintang. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi diam tentang tanah yang tergadai.

Baca Machiavelli dan Manusia Dayak

Lalu kita bertanya: apakah sejarah akan berulang?

Kelebihan Dayak

Tapi Dayak punya satu kelebihan: ingatan kolektif. Di dalam gendang, di nyanyian timang, di peradilan adat yang belum mati. Orang Dayak tahu bahwa sejarah bukan garis lurus, tapi lingkaran. Yang dilupakan akan datang kembali—dalam bentuk cerita, dalam bentuk perlawanan.

Dan dalam diam itu, lahirlah air mata. Dari seorang ibu di dusun yang kehilangan tanah warisan. Dari seorang anak yang kini sekolah di kota, tapi tak tahu lagi cara menanam padi. Dari seorang tetua yang menyimpan peta leluhur di kepalanya, tapi tak punya siapa-siapa untuk diwarisi.

Sebab sejarah bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah luka yang diwariskan, dan keberanian untuk menyembuhkannya.

Jika hari ini kita menulis lagi sejarah kita —dengan bahasa kita, dengan suara kita sendiri— maka kita tak sedang mengulang masa lalu. Kita sedang menyelamatkannya.

Baca Balot (Surat Suara) Pemilihan Paus yang Dibisikkan Roh Kudus

Mungkin jalan ke depan masih panjang, dan hujan belum reda. Tapi selama masih ada yang menolak menjual tanahnya, masih ada yang menyimpan benih padi di lotang bambu, dan masih ada yang menyanyikan kelunan sambil menenun kain ikat di beranda rumah panjang—sejarah kita belum selesai.

Bagaimana Dayak mengubah dan melawan dominasi Oligarki

Dalam sejarah panjangnya, masyarakat Dayak di Borneo telah mengalami berbagai bentuk penjajahan dan dominasi, dari kolonialisme hingga ekspansi modal besar yang merampas ruang hidup mereka. Namun dalam beberapa dekade terakhir, muncul sebuah gerakan perubahan dari dalam masyarakat Dayak sendiri. 

Baca Filsafat Dayak sebagai Penanda Kebangkitan Intelektual "Dari Dalam"

Dayak tidak lagi sekadar bertahan, tetapi mulai mengubah arah sejarah, melawan dominasi oligarki dengan strategi yang cerdas, terukur, dan berbasis nilai-nilai lokal yang kuat. Perlawanan ini tidak berbentuk kekerasan, melainkan transformasi sosial-kultural dan politik yang sistemik. Lima strategi utama dapat dicatat:

1. Menolak Menjual Tanah: Tanah Adalah Roh Leluhur

Masyarakat Dayak secara kolektif mulai menegaskan kembali komitmen mereka untuk tidak menjual tanah, apapun tawarannya. Tanah bagi orang Dayak bukan sekadar aset ekonomi, tetapi identitas, warisan leluhur, dan sumber kehidupan. Di tengah ekspansi perkebunan sawit, pertambangan, dan proyek infrastruktur yang sering merampas hak ulayat, keputusan untuk mempertahankan tanah adalah bentuk nyata perlawanan terhadap oligarki ekonomi. Sikap ini tidak hanya menjadi simbol resistensi, tetapi juga fondasi dari kedaulatan pangan dan budaya.

2. Sekolah dan Sarjana: Pendidikan sebagai Jalan Pembebasan

Gerakan untuk menyekolahkan anak-anak hingga menjadi sarjana dan profesional telah menjadi strategi jangka panjang Dayak untuk keluar dari belenggu marginalisasi. Banyak keluarga Dayak rela menjual hasil panen, berhemat bertahun-tahun demi menyekolahkan anak-anak mereka. Lahirnya generasi intelektual Dayak dari kampung hingga kota membuka jalan bagi pencerahan kolektif dan perebutan posisi strategis di berbagai bidang. Pendidikan menjadi senjata utama dalam membongkar mitos bahwa Dayak hanya cocok sebagai buruh atau warga pinggiran.

3. Melek Literasi Keuangan: Credit Union sebagai Gerakan Emansipasi

Kebangkitan gerakan Credit Union (CU) di kalangan Dayak bukan sekadar solusi ekonomi, melainkan sebuah revolusi diam-diam

Melalui CU, masyarakat belajar menabung, merencanakan masa depan, dan melek literasi keuangan. Ini menjadi tameng dari ketergantungan pada lintah darat, perusahaan, atau bantuan politik yang bersyarat. CU menciptakan sistem ekonomi alternatif yang berbasis pada nilai keadilan, kebersamaan, dan belarasa. Dari CU lahirlah generasi yang lebih percaya diri secara finansial, dan mampu berdiri di atas kaki sendiri.

4. Terjun ke Politik: Kuasai Legislatif dan Eksekutif

Kesadaran politik masyarakat Dayak kini semakin tinggi. Banyak tokoh Dayak mulai masuk ke dalam sistem, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun kepala daerah. Bagi mereka, kekuasaan bukan lagi sesuatu yang harus dihindari, melainkan alat untuk mengubah struktur yang tidak adil. Dalam beberapa wilayah, orang Dayak mulai memegang kendali pemerintahan, membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, dan menghentikan praktik-praktik korup oligarki lokal. Ini adalah pergeseran besar dari pasif menjadi aktor aktif dalam tata kuasa negara.

5. Bersatu: Solidaritas sebagai Kekuatan

Kekuatan utama Dayak adalah persatuan dalam keberagaman sub-suku mereka. Dulu, perpecahan sering terjadi karena konflik identitas dan politik lokal. Kini, melalui berbagai organisasi adat, keagamaan, dan sosial, semangat belarasa Dayak kembali menguat. Mereka sadar bahwa untuk melawan dominasi yang terorganisir, mereka pun harus membangun kekuatan kolektif yang solid. Persatuan ini tercermin dalam dukungan lintas kampung, lintas kabupaten, bahkan lintas negara (Indonesia-Malaysia-Brunei) dalam memperjuangkan hak-hak Dayak sebagai satu bangsa besar.

Gerakan ini bukan sekadar perlawanan. Ia adalah narasi kebangkitan, bahwa orang Dayak hari ini tidak lagi diam. Mereka berpikir, bertindak, dan membangun masa depan mereka sendiri — bukan di bawah bayang-bayang oligarki, tetapi di atas fondasi kebudayaan dan kearifan lokal mereka sendiri.

-- Stevanus Langkui

LihatTutupKomentar