Machiavelli dan Manusia Dayak

Dayak, Machiavelli, berdaulat, merdeka, tanah warisan, dimiliki orang luar, inverstor, perkebunan, pertambangan, konflik, agraria, tanah, sertifikat,


Kedaulatan Dayak terancam di tanahnya.

Dayak bersatu mempertahankan wilayahnya by AI.

🌲 DAYAK TODAY  | ENTIKONG:

Niccolò Machiavelli, melalui karyanya Il Principe, menulis tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya bertindak demi menjaga kekuasaan dan stabilitas wilayahnya. Ia bicara soal kebijakan tanpa ilusi, kekuasaan tanpa selubung moral, dan realitas politik yang keras. 

Bagi Machiavelli, mempertahankan wilayah berarti harus memahami siapa kawan, siapa lawan, dan kapan harus menggunakan kekuatan, kapan harus menggunakan tipu daya.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Orang Dayak adalah masyarakat adat yang berurat di tanah Borneo, dengan kosmologi yang mengakar pada hutan, sungai, dan tanah leluhur. Bagi orang Dayak, tanah bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga tempat bersemayam roh, sejarah, dan identitas. Tapi tanah ini juga, sejak era kolonial hingga zaman konsesi tambang dan sawit, jadi medan rebutan kekuasaan.

Dan di sinilah benang halus itu mengikat.

Orang Dayak, secara historis, tidak sepenuhnya "naif" dalam berpolitik. Mereka punya adat, yang dalam konteksnya bisa dianggap sebagai hukum tak tertulis dan strategi kolektif bertahan hidup. Dalam menghadapi negara, korporasi, dan kuasa luar, mereka sering dipaksa untuk berpolitik secara Machiavellian, walau tak mengutip Il Principe.

Kedaulatan adalah merawat pengetahuan lokal

Berdaulat bagi orang Dayak bukan berarti mendirikan negara baru, tapi bisa berarti:

  1. Mengelola hutan dan tanah sesuai pengetahuan lokal.

  2. Memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan pembangunan.

  3. Menentukan masa depan anak cucu tanpa dipaksa menyerahkan tanah kepada perusahaan yang mereka tak kenal.

Namun berdaulat juga berarti harus menghadapi negara, perusahaan, bahkan sesama anak Dayak yang sudah masuk dalam sistem. Di sinilah konflik batin muncul: antara menjaga adat atau menyesuaikan diri.

Baca Ngayau (1)

Seorang kepala adat yang memilih bertahan melawan perusahaan bisa dibilang lebih Machiavellian daripada pejabat daerah yang menyerahkan tanah demi proyek.

Seperti Niccolò Machiavelli yang mengamati kekuasaan di Firenze, orang Dayak menyaksikan perubahan dari ladang, dari hutan, dari sungai yang mereka kenali sejak dahulu.

Orang Dayak tak hanya bertahan di tanahnya, mereka juga merefleksikan zamannya. Mereka, seperti semua yang mengakar pada tanah dan sejarahnya, berada di antara yang lalu dan yang akan datang. 

Baca Lupung Coffee Sintang: Kopi, Ruang, dan Cerita di Kaki Bukit Kelam

Borneo bukan sekadar hamparan hijau dalam citraan romantik. Ia adalah ruang politik, sosial, dan ekonomi. Ia adalah medan di mana tanah bisa bertahan atau berpindah tangan, di mana budaya bisa menguat atau tergerus. 

Orang Dayak tahu itu. Mereka telah melihat bagaimana tanah mereka dijual, bagaimana sawit menggilas hutan, bagaimana aliran sungai yang dulu jernih kini membawa lumpur dan kenangan.

Dayak bersatu mempertahankan wilayahnya

Saya mengingat kembali data: populasi Dayak tak kurang dari 8 juta. Sebuah jumlah yang tak kecil, namun sering kali diperlakukan seolah tak berpengaruh. Mereka tersebar di Indonesia, Malaysia, Brunei. Namun, tanah yang mereka sebut rumah, perlahan mengecil. Seperti Firenze bagi Machiavelli, Borneo bagi Dayak adalah sebuah realitas politik yang harus dibaca dengan teliti.

Baca Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan

Dayak juga tahu, seperti Machiavelli tahu, bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang berdiri di atas moral ideal. Il Principe bukan ajakan untuk menghalalkan segala cara, ia adalah risalah tentang realitas politik: mengapa penguasa bisa jatuh, mengapa yang kuat bisa runtuh. 

Orang Dayak tahu itu. Mereka tahu bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang datang sendiri, ia dibentuk, ia diperebutkan.

Di Sekadau, di Sintang, di banyak tempat di Borneo, saya melihat bagaimana orang-orang membaca sejarahnya sendiri. Bagaimana mereka mencoba merekam, menulis, menyatakan dirinya. Bagaimana mereka ingin menjadi tuan di tanah sendiri. Tak ingin sekadar jadi catatan kaki dalam laporan perusahaan atau statistik pemerintah.

Ada yang bertanya, apakah semua ini hanya nostalgia? Bukan. Ini bukan romantisme rumah panjang semata. Ini bukan sekadar meratapi yang hilang. Ini adalah kesadaran sejarah. 

Machiavelli menulis Discorsi untuk menyatakan pilihannya: bukan kerajaan, bukan tirani, bukan anarki. Ia tahu bahwa politik adalah pergulatan yang tak pernah selesai.

Baca Pulang Kampung

Orang Dayak kini juga berada dalam pergulatan itu. Mereka tahu tanah bukan sekadar benda, ia adalah kehidupan. Mereka tahu hutan bukan sekadar kayu, ia adalah identitas. Mereka tahu bahwa sawit, tambang, dan jalan-jalan baru yang dibuka, bukan hanya membawa janji, tetapi juga ancaman.

Di antara belantara Borneo, di antara sungai-sungai yang mengalir dari pedalaman ke kota-kota pesisir, ada pertanyaan yang terus bergema: apakah tanah ini akan tetap milik kita? Apakah kita akan bertahan sebagai bangsa yang hidup dari dan untuk tanah ini? Seperti Machiavelli, orang Dayak tak hanya bertanya. Mereka juga mencari jawabannya.

Dayak mencari jalan keluar

Machiavelli mengajarkan bahwa kekuasaan harus dipertahankan dengan kecerdikan dan keberanian. Orang Dayak, meski tak menulis dalam bahasa Florentina, sedang menjalani bab-bab Il Principe dalam versinya sendiri: di tengah rimba, di ruang-ruang musyawarah adat, dan di lobi-lobi pengadilan.

Baca Cornelis Sounds the Alarm: Protect West Kalimantan’s Credit Union Movement

Karena menjadi berdaulat di Borneo hari ini bukan soal siapa yang paling kuat. Tapi siapa yang paling mampu membaca peta kekuasaan, dan tetap menjaga akar di tengah angin besar zaman. (X-5/dayaktoday.com)

LihatTutupKomentar