Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan

Dayak , hijau, penjaga, pewaris, Kalimantan, deforestasi Kalimantan oleh perusahaan, tambang, industri, ladang, berpindah, Borneo

 

Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan
Titik hijau Kalimantan saat ini adalah pemukiman Dayak. Titik gundul = industri, pertambangan, dan perusahaan sawit. 
Landssource: https://www.grida.no/resources/8324

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Perhatikan dengan saksama peta Borneo dalam ilustrasi!


Wilayah hijau di Borneo menunjukkan permukiman Dayak yang masih menjaga keindahan alamnya. Sebaliknya, 
titik gundul adalah kawasan industri, pertambangan, dan perusahaan sawit. 

Apa artinya?

Dayak bagian dari makrokosmos

Orang Dayak hidup selaras dan ada dalam alam. Dayak bukan hanya menjadi penjaga yang tak terpisahkan dari cara hidup mereka dengan alam, tetapi Dayak adalah mikro dan makrokosmos semesta ini. Alam kulkas. Hidup dan napas orang Dayak. Dayak bagian dari alam-semesta yang lebih besar (makro-kosmos). Inilah konsep, sekaligus falsafat, kosmologi dan kosmogoni orang Dayak!

Baca Jalan Lingkar Dataran Tinggi Borneo yang Terampas dan yang Putus Itu Bernama Krayan

Maka merusak alam sama saja dengan Dayak merusak hidupnya sendiri. Sekaligus menghentikan denyut nadi dan menahan helaan napasnya.

Namun, perubahan terus terjadi. Beragam tafsir muncul, menimbulkan pertanyaan tentang maknanya.

Ladang yang dibiarkan bera adalah bagian dari kearifan lokal. Siklus alam akan segera kembali; tak lama lagi, kehijauan akan tumbuh kembali. 

Ladang yang dibakar untuk menghasilkan abu dan arang yang memperkaya tanah akan menerima hujan. Segera, ladang hijau itu akan dipenuhi sayur-mayur, padi, jagung, dan tanaman lainnya.

Baca Longhouse of the Dayak People: A Reflection of Living Values

Tetapi lebih berbahaya dari ladang: mengapa tambang dibiarkan, bahkan didorong?

Area tambang merusak lokasi. Butuh 50 hingga 100 tahun untuk pemulihan. Di banyak tempat, lahan bekas tambang menjadi kubangan yang mencemari lingkungan, meninggalkan merkuri yang merusak alam.

Merkuri, logam yang sering digunakan dalam pertambangan, terutama untuk emas dan bijih logam lainnya, mencemari air dan tanah, beracun bagi makhluk hidup, serta berbahaya bagi manusia dan hewan yang mengonsumsi hasil pertanian dari tanah yang tercemar.

Deforestasi di Borneo terjadi karena HPH, pertambangan, dan perkebunan besar. Oleh karena itu, perlu ada pengelolaan dan pengawasan ketat agar pencemaran dan dampak negatif tambang bisa dikendalikan.

Ladang = Tata Alam Dayak

Dalam upaya menjaga lingkungan dan budaya Borneo, hanya segelintir yang benar-benar peduli. Keturunan etnis dan pecinta alam adalah yang terpenting. Namun, sejak 1950 hingga 2020, hutan Borneo semakin menyusut akibat deforestasi.

Baca Belajar Koperasi dari Credit Union (CU)

Wilayah hijau dalam peta menunjukkan tanah adat Dayak yang masih bertahan, terutama di dataran tinggi Borneo. Sementara itu, area putih atau merah dalam peta berarti: kawasan yang mengalami deforestasi akibat HPH, tambang, dan perkebunan besar.

Tuduhan bahwa Dayak penyebab deforestasi adalah narasi keliru.

Mereka telah hidup berdampingan dengan alam secara bijak sejak zaman dahulu. Tuduhan bahwa ladang berpindah merusak lingkungan adalah informasi menyesatkan yang harus dilawan dengan fakta sejarah.

Sistem Ladang Dayak: Sejak 10.000 Tahun Lalu

Sejak kapan orang Dayak mengenal sistem ladang berpindah? 

Sejak mereka ada dan menetap di Borneo. Bukti sejarah menunjukkan keberadaan manusia Dayak di Gua Niah, Miri, Malaysia, sejak 46.000 tahun lalu. Sejak itu pula, mereka telah mengenal sistem ladang berpindah.

Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1989:9) menulis:

"Hingga hari ini, masih ada dua juta orang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lainnya yang menggantungkan hidup mereka pada teknologi pertanian yang telah ada 10.000 tahun sebelum Nabi Isa."

Membakar untuk menghidupkan

Ladang berpindah bukan sekadar metode bertani bagi Dayak, tetapi bagian dari tatanan hidup yang selaras dengan alam. Pembakaran menghasilkan abu dan arang yang menyuburkan tanah, sebagaimana abu vulkanik menyuburkan lahan di Jawa. Proses ini memberi kesuburan sementara pada tanah yang dibuka, memungkinkan panen yang melimpah.

Baca Krayan: Sebuah Sunyi yang Tak Didengar Negara

Setelah beberapa tahun, lahan dibiarkan bera untuk memulihkan kesuburannya. Siklus ini memungkinkan tumbuhan baru tumbuh, memperkaya keanekaragaman hayati. Dengan demikian, dampaknya terhadap lingkungan tetap terkendali.

Jika ingin melestarikan hutan hujan Borneo sekaligus menghormati budaya Dayak, maka kearifan lokal harus menjadi bagian dari strategi konservasi. Pemahaman mereka tentang ladang berpindah—termasuk bagaimana abu dan arang menyuburkan tanah—adalah wawasan berharga dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan.

Praktik ini memastikan bahwa hanya lahan yang sedang digarap yang terkena dampak, sementara area lain tetap lestari dan menjalankan fungsi ekologisnya.

Dengan mengintegrasikan pengetahuan tradisional dalam upaya konservasi serta memastikan hak tanah Dayak, kita bisa menciptakan strategi yang efektif secara ekologis dan menghormati budaya.

Pendekatan ini tidak hanya menjaga hutan hujan Borneo tetapi juga mendukung cara hidup Dayak yang seimbang dengan alam.

Post truth: Dayak, kambing hitam Deforestasi Borneo

Dalam wacana mutakhir, Dayak kerap dijadikan kambing hitam atas deforestasi dan kebakaran hutan di Borneo. Narasi ini menyesatkan, mengabaikan sejarah panjang pengelolaan lahan yang lestari oleh Dayak.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Selama lebih dari 10.000 tahun, Dayak telah menggunakan teknik ladang berpindah tanpa menyebabkan degradasi lingkungan yang berarti.

Masalah deforestasi dan kebakaran hutan yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan oleh pembalakan liar, pertambangan, dan ekspansi perkebunan sawit—bukan oleh praktik tradisional Dayak.

Sistem ladang Dayak adalah pembakaran terkendali, bersiklus, yang menyuburkan tanah dan mendukung keanekaragaman hayati. Ini sangat berbeda dengan dampak destruktif aktivitas industri.

Ada yang tak selesai ketika kita menuding, bahkan dengan kalimat yang terdengar ilmiah: "Dayak penyebab krisis lingkungan." Tuduhan itu bergema di ruang-ruang konferensi, dalam laporan berkala, bahkan di layar berita yang cepat berpindah gambar. Namun ada yang luput: suara hutan yang berbisik dalam bahasa yang lebih tua dari statistik. Suara orang-orang yang menapak tanah dengan hati-hati, seolah setiap akar yang mereka lewati menyimpan kisah leluhur yang tak ingin dilupakan.

Kita hidup di zaman post-truth, kata orang. Di mana kebenaran bukan lagi tentang kenyataan, tetapi tentang siapa yang paling sering mengulang narasi. Di sini, Dayak menjadi korban dari bahasa yang dipelintir: pengetahuan mereka tentang rotasi ladang, tentang siklus hutan dan sungai, ditukar dengan label “perusak.” Padahal, yang menghancurkan hutan datang dengan alat berat, izin tambang, dan janji pembangunan yang samar.

Perlu ada jeda. Jeda untuk mendengar bagaimana sebuah ladang tidak dibakar sembarangan, tetapi dibuka dengan ritus, dengan izin alam. 

Perlu keberanian untuk membedakan api yang membumihanguskan demi ekspansi sawit, dan api kecil yang dijaga dalam kalender tanam orang Dayak. Ini bukan soal romantisasi, tapi kejujuran pada sejarah dan praktik ekologis yang telah teruji ratusan tahun. Yang satu membakar untuk pasar, yang lain menanam untuk hidup.

Dayak tak mungkin merusak habitat dan hidupnya

Ironis, ketika justru mereka yang hidup paling dekat dengan alam dituduh sebagai ancaman bagi alam itu sendiri. Di tengah aliran sungai dan rimbun pohon, 

Baca Peta Kolonial dan Peta Kapitalisme di Borneo

Dayak menjaga keseimbangan bukan karena konsep “pembangunan berkelanjutan,” tetapi karena kesadaran bahwa hutan adalah perpanjangan tubuh. Menghancurkannya berarti melukai diri sendiri. Sebuah prinsip yang terlalu sunyi untuk didengar dari balik ruang ber-AC dan layar Excel.

Barangkali, tugas kita hari ini bukan lagi sekadar membantah narasi palsu. Tapi menulis ulang—dengan telinga yang lebih peka dan mata yang tak hanya mencari bukti, tapi juga makna. Dayak bukan penjajah alam. Mereka penjaga ingatan bumi. Dan dalam dunia yang kerap kehilangan arah, ingatan semacam itu adalah kompas paling jujur.

Apakah Anda ingin ini dimuat dalam buku atau artikel panjang bertema lingkungan dan identitas?

Tanpa memahami perbedaan ini, kebijakan konservasi akan terus keliru dalam menyasar akar masalah yang sebenarnya.

- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar