Jalan Lingkar Dataran Tinggi Borneo yang Terampas dan yang Putus Itu Bernama Krayan

Krayan, Negara, perbatasan, utang, Konfrontasi Malaysia, Lingkar Krayan, putus, sembako, mahal, kehadiran Negara, Ba' Binuang

Jalan Lingkar Dataran Tinggi Borneo yang Terampas dan yang Putus Itu Bernama Krayan
Mobil yang lelah berjalan melalui Lingkar Krayan berlumpur dan berkubang. Di mana kehadiran Negara? Dok. YTP.

🌍 DAYAK TODAY  | TARAKAN:  Trenyuh. Sepatah kata yang barangkali sudah aus dipakai, tetapi hari ini, tetap menggema. 

Di ujung utara Borneo, jalan itu—yang katanya “lingkar”—sebenarnya sebuah luka. Ia tak melingkar, tak pula menyambung. Ia terputus, menganga, seperti urat nadi tubuh besar bernama Indonesia yang rusak, remuk, dan dibiarkan begitu saja.

Saya membayangkan: kalau tubuh bernama Indonesia ini benar milik bersama, bukankah Krayan adalah bagian tubuh itu juga? 

Tapi Jakarta, yang barangkali merasa sebagai kepala. Atau lebih tepatnya: sebagai orang tua, justru menutup mata, menutup telinga. Bukan sekadar lalai. 

Ini bukan hanya tentang lupa. Ini tentang sikap yang tak sudi tahu. Tentang sebuah pengkhianatan halus dari ibu dan ayah kepada anaknya sendiri.

Pindah warganegara

Dan ketika warga Krayan menyeberangi lumpur, menerabas patahan, hanya untuk pulang; Jakarta justru bersolek. Menata anggaran. Merencanakan penyambutan bagi tamu asing yang entah siapa, entah untuk apa. Seolah-olah ruang rumah ini tak cukup sempit untuk anak-anaknya sendiri.

Sungguh terlalu, kata seseorang dengan getir yang tak bisa lagi dipoles dengan tata krama. 

Maka beberapa waktu lalu, di Senayan, suara-suara kecil dari perbatasan itu naik nadanya. "Lebih baik kami pindah kewarganegaraan," katanya. 

Dan ini bukan gertak sambal. Ini jerit dari sebuah luka lama—sejak Konfrontasi itu—yang tak pernah benar-benar dirawat, apalagi ditebus.

Dulu, mereka diminta berjaga di perbatasan, menjadi pagar negeri. Kini mereka dibiarkan memeluk sepi di batas peta. Seolah utang negara pada mereka adalah kenangan yang boleh dilupakan begitu saja.

Dan luka itu bertambah perih ketika kabar itu datang: ribuan triliun menguap di tubuh raksasa bernama Pertamina. Angka-angka yang bahkan tak bisa dibayangkan oleh petani garam atau penjual bensin eceran. Sementara itu, di Krayan, satu sedrum bensin pun harus ditunggu seperti menanti mukjizat. Seperti menunggu negara yang tak pernah datang.

Di mana negara?

Di mana keadilan distributif? Di mana negara? Inilah yang diprotes segelintir warga Krayan di Senayan, beberapa waktu lalu. Tapi hanya suara. Belum ada respons berarti.

"Jangan Salahkan Kami Jika Mengibarkan Bendera Negara Tetangga" : Warga Krayan Tuntut Keadilan Pembangunan

Barangkali negara hanya hadir di rapat-rapat resmi. Di podium-podium megah. Tapi tidak di jalanan Krayan. Tidak di lumpur yang lengket dan tak kunjung mengering. Negara, mungkin, hanyalah ide yang tak pernah benar-benar bertubuh.

Dan luka itu bertambah perih ketika kabar itu datang: ribuan triliun menguap di tubuh raksasa bernama Pertamina. Angka-angka yang bahkan tak bisa dibayangkan oleh petani garam atau penjual bensin eceran. Sementara itu, di Krayan, satu sedrum bensin pun harus ditunggu seperti menanti mukjizat. Seperti menunggu negara yang tak pernah datang.

Di mana keadilan distributif? Di mana negara?

Barangkali negara hanya hadir di rapat-rapat resmi. Di podium-podium megah. Tapi tidak di jalanan Krayan. Tidak di lumpur yang lengket dan tak kunjung mengering. Negara, mungkin, hanyalah ide yang tak pernah benar-benar bertubuh.

Dan ketika Jalan Lingkar Krayan putus—dari Malinau sampai Ba’Binuang—bukan hanya aspal yang terbelah. Segalanya macet. Sembako mandek. Pendidikan terganggu. Pelayanan kesehatan lumpuh. Tapi yang lebih sunyi, dan lebih dalam, adalah ini: tali halus yang mengikat persaudaraan dengan republik ikut terurai.

Ada yang pelan-pelan menjauh dalam hati

Bukan karena benci. Tapi karena rasa diabaikan, berulang kali. Krayan bukan hendak melawan. Ia hanya menanyakan: masihkah kami bagian dari kalian? Masihkah kami ini saudara sebangsa?

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Barangkali ini yang paling tragis dari sebuah negara: bukan ketika warganya miskin, atau tertinggal. 

Tapi ketika mereka merasa sendiri. Ketika sebuah kampung di ujung negeri, yang dulu disebut “beranda depan,” kini serasa halaman belakang yang ditutup tirai.

Mungkin itulah yang disebut “putus hubungan.” Bukan hanya karena banjir atau longsor. Tapi karena perasaan tak lagi penting. Tak lagi dianggap.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar