Prof. Anhar Gonggong: Tak Satu pun Presiden Menjalankan Pancasila

Dayak, Krayan, Kalimantan Utara, merdeka, Pancasila, Anhar Gonggong, Ibu Kota Nusantara, IKN, keadilan sosial




Prof. Anhar Gonggong: Tak satu pun Presiden menjalankan Pancasila. Tangkapan layar: Rmsp.

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Prof. Anhar Gonggong, sejarawan yang telah lama mencatat denyut patah republik ini, pernah berkata dengan getir namun jujur:
"Tak satu pun presiden yang benar-benar menjalankan amanah Pancasila. Yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Kalimat itu bukan tudingan, bukan pula sekadar keluhan. Ia seperti cermin besar yang kita paksa untuk tak kita pandangi. Tapi bayangan yang buram tetap ada di sana: menantang kita untuk mengakui bahwa janji kemerdekaan belum ditepati.

Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan


Di mana negara?

Anhar menyibak lembar sejarah. Dalam salah satu acara Indonesia Lawyers Club (ILC) ia berkisah bahwa Bung Karno, dalam pidatonya tentang Lahirnya Pancasila, pernah berkata bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas. Ia bukan tujuan, tetapi jalan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Sebuah kalimat yang bergema dari naskah pembukaan UUD 1945, tempat cita-cita republik ditulis dengan darah dan air mata.

Namun, hari ini jembatan itu terasa hanya sampai di kota-kota besar. Sementara di pedalaman Borneo —yang kini disebut Kalimantan—orang Dayak masih bertanya-tanya: di mana negara?

Di Krayan, jalan putus, dan anak-anak sekolah harus berjalan berjam-jam di tengah lumpur. Di hulu-hulu sungai, banjir bukan hanya menyapu kampung, tetapi juga menyapu harapan. Hutan, yang bagi orang Dayak adalah ibu yang memberi makan, telah ditebang. Diganti dengan sawit. Diganti dengan tambang.

Baca Jalan Lingkar Dataran Tinggi Borneo yang Terampas dan yang Putus Itu Bernama Krayan

Negara, yang katanya melindungi segenap bangsa, justru memberi izin kepada perusahaan-perusahaan untuk mengeruk tanah adat. Dengan dokumen berjudul Hak Guna Usaha (HGU) mereka datang dengan alat berat, dan orang Dayak dipaksa menjauh dari tanah yang diwariskan leluhur.

Baca Jalan Lingkar Dataran Tinggi Borneo yang Terampas dan yang Putus

Sengketa tanah semakin sering. Suara mereka kadang tak sampai ke meja gubernur, apalagi ke istana.

Ketidakadilan sosial di Kalimantan

Kita bicara tentang Pancasila, tapi sila kelima —keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia— terasa semakin asing di tanah Kalimantan.

Bahkan, dalam zaman yang sibuk dengan digitalisasi, kecerdasan buatan, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), orang Dayak masih berjuang untuk hal yang paling sederhana: jalan yang layak, sekolah yang berdiri kokoh, tanah yang tidak dirampas, sungai yang tidak tercemar.

Apa makna negara bila yang paling dasar pun tak diurus? Apa arti pembangunan bila ia datang menghancurkan rumah sendiri?

Baca Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan

Goenawan Mohamad pernah menulis, “Sejarah adalah pengingat, bukan penghukum.”

Maka biarlah kita diingatkan—oleh kata-kata Prof. Anhar Gonggong, oleh air mata orang Dayak, oleh banjir yang menenggelamkan kampung, oleh jalan-jalan yang tak pernah selesai.

Bahwa republik ini lahir dari janji. Dan janji itu belum ditepati.

Pertanyaannya tetap bergema dari pedalaman Kalimantan sampai ke gedung-gedung tinggi Jakarta:

  1. Apakah kita sudah menyeberangi jembatan emas itu bersama-sama?
  2. Atau hanya segelintir yang telah lewat, dan sisanya kita tinggalkan di seberang?
-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar