"Jangan Salahkan Kami Jika Mengibarkan Bendera Negara Tetangga" : Warga Krayan Tuntut Keadilan Pembangunan

Dayak, Krayan, konfrontasi, Malaysia, Indonesia, keadilan, terpinggirkan, jalan, bukan makan siang gratis,

Warga Krayan kecewa selama 80 tahun Indonesi merdeka, tidak diperhatikan.
DOB Krayan atau pindah Malaysia. Rakyat perbatasan sejahtera negara kuat. Tagar dan tuntuan warga Krayan. Dok. Gat Khaleb.

DAYAK TODAY - NUNUKAN: DOB Krayan atau pindah Malaysia. Rakyat perbatasan sejahtera negara kuat. Tagar dan tuntuan warga Krayan. 

Demikian yang terbaca pada spanduk yang menjadi tuntutan warga Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara menggugat Negara.

Warga Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta pada 21 Februari 2025 untuk menuntut keadilan pembangunan. 

Dari latar dua pengibar tagar pada gambar sangat gamblang bahwa aksi demo menuntut "keadilan pembangunan" wakil warga Krayan itu disampaikan di gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta. Santun bersahaja. Namun, agaknya suara hati nurani warga perbatasan Krayan itu jangankan dilakukan, didengar saja: belum.

Mereka menyuarakan kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai abai terhadap kondisi infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat perbatasan. 

Gat Kaleb, salah satu tokoh yang berbicara dalam aksi tersebut, menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah pusat.

80 Tahun Merdeka, Krayan Tetap Terpinggirkan

"Pembangunan di sana tidak diperhatikan selama 80 tahun Indo merdeka," ujarnya. Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan mendalam warga yang merasa dianaktirikan dalam kebijakan pembangunan nasional. Bahkan, Gat memberikan peringatan keras, "Jangan salahkan kami nanti mengibarkan bendera negara tetangga."

Baca Warga Adat Krayan Hulu Demo Tuntut Perubahan: Perlu Jalan bukan Makan Siang Gratis

Kondisi geografis Krayan yang berbatasan langsung dengan Malaysia semakin memperjelas ketimpangan pembangunan yang terjadi. Akses utama ke wilayah ini lebih mudah melalui Malaysia dibandingkan dari Indonesia sendiri. 

Banyak kebutuhan pokok, termasuk bahan makanan dan barang kebutuhan sehari-hari, harus didatangkan dari Malaysia karena minimnya jalur distribusi dari dalam negeri. Fakta ini menjadi ironi bagi masyarakat yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih sebagai garda terdepan NKRI.

Ketimpangan ini bukan hanya terjadi dalam aspek ekonomi, tetapi juga dalam infrastruktur dasar seperti listrik, kesehatan, dan pendidikan. Jaringan listrik masih terbatas, sementara layanan kesehatan sangat bergantung pada tenaga medis yang jumlahnya minim. 

Di sektor pendidikan, banyak sekolah kekurangan fasilitas, guru, dan akses terhadap bahan ajar yang layak. Situasi ini membuat banyak anak muda Krayan merasa tidak memiliki masa depan yang cerah jika tetap tinggal di kampung halaman mereka.

Potensi Besar, Tapi Tidak Dikelola

Dalam aksi tersebut, Gat Khaleb mengutip kajian dari Dr. Samuel Tipa Padan dalam disertasinya yang menyoroti kekayaan sumber daya alam Krayan. Menurut kajian tersebut, Krayan sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang cukup besar untuk dikelola secara mandiri, bahkan bisa menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) jika ada kebijakan yang mendukung.

"Dr. Samuel Tipa Padan pernah menghitung kekayaan SDA Krayan cukup dikelola secara mandiri untuk DOB," ungkap Gat. Ia menjelaskan bahwa konsep pembangunan Krayan seharusnya berbasis desa pertanian, desa adat, dan desa wisata, serupa dengan model pembangunan di Bali.

Krayan dikenal memiliki tanah yang subur dan menjadi salah satu sentra penghasil beras organik berkualitas tinggi. Produk-produk pertanian dari wilayah ini telah dikenal hingga ke luar negeri, terutama di pasar Malaysia dan Brunei. 

Selain itu, Krayan juga memiliki potensi besar dalam pengembangan ekowisata. Lanskap alamnya yang indah, hutan tropis yang masih asri, serta budaya adat yang unik dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Namun, tanpa dukungan infrastruktur dan kebijakan yang tepat, potensi tersebut tidak dapat berkembang optimal. Akses jalan yang masih terbatas membuat hasil pertanian sulit dipasarkan ke luar wilayah, sementara kurangnya investasi dalam sektor pariwisata menyebabkan peluang besar ini belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Warga Krayan melihat bahwa pemerintah belum serius dalam mengembangkan daerah mereka, meskipun potensinya sangat menjanjikan.

Sejarah Jasa Warga Krayan untuk NKRI

Selain menuntut keadilan dalam pembangunan, warga Krayan juga mengingatkan pemerintah tentang jasa besar mereka dalam sejarah Indonesia. Mereka merasa bahwa kontribusi mereka dalam menjaga perbatasan dan mempertahankan kedaulatan negara tidak dihargai dengan baik.

Baca Long Midang dan Misteri Era Megalitikum

"Sudah 80 tahun Indonesia merdeka, kami warga perbatasan diabaikan. Kami berjasa dalam catatan sejarah untuk NKRI, terutama pada masa konfrontasi dengan Malaysia. Namun, apa imbal-balas dan penghargaan negara kepada kami?" tegas Gat Khaleb.

Pada masa konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963–1966), masyarakat Krayan menjadi salah satu komunitas yang ikut berperan dalam mempertahankan wilayah perbatasan. Banyak warga yang terlibat dalam perjuangan menjaga kedaulatan negara, bahkan ada yang bergabung dengan pasukan pertahanan untuk melawan infiltrasi asing. Namun, setelah puluhan tahun berlalu, mereka merasa bahwa perjuangan mereka tidak mendapatkan balasan yang setimpal dari pemerintah.

Bagi mereka, nasionalisme bukan hanya sekadar slogan, tetapi telah mereka buktikan dalam sejarah. Namun, jika kondisi keterpinggiran ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan rasa kebangsaan mereka akan terkikis. 

Ketergantungan terhadap Malaysia dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari semakin menguatkan rasa ketidakadilan yang mereka rasakan.

Baca Jejak Kerajan Dayak dan Pengakuan Kolonial pada Raja Hulu Aik, Awat Tjenggoeng Singa Djaja

"Kini, warga Krayan menuntut pemerintah untuk segera bertindak. Mereka ingin kebijakan pembangunan yang lebih adil, akses infrastruktur yang memadai, serta perhatian yang lebih besar terhadap kesejahteraan masyarakat perbatasan," papar Gat kepada dayaktoday.com via chat WA, 28 Februari 2025. 

"Jika tidak ada langkah konkret, ancaman alienasi sosial dan meningkatnya ketergantungan terhadap Malaysia bisa menjadi kenyataan yang sulit dibendung," tegas salah satu aktivis mahasiswa '98 dari Universitas Kristen Indonesia (UKI).

-- Rangkaya Bada 

LihatTutupKomentar