Naypyidaw dan IKN: Ibukota yang Gagal Dicintai
Joko Widodo ketika akan meresmikan IKN: Kota yang belum berhasil dicintai. Dok. Helena. |
Indonesia bisa belajar dari Naypyidaw: jangan membangun kota untuk pemerintah, tapi bangun kota yang hidup oleh dan untuk rakyat.
Jika IKN hanya jadi simbol kekuasaan, tanpa melibatkan masyarakat adat. Tanpa menjawab ketimpangan struktural di luar Jawa. Dan tanpa menjamin kehidupan yang layak maka kegagalannya hanya tinggal soal waktu.
Kota yang lahir dari Ketakutan
Naypyidaw dibangun dalam diam. Pada suatu pagi di November 2005, para pegawai negeri bangun dan mendapati kantor mereka telah dipindah 320 kilometer dari Yangon.
Tak ada perayaan. Tak ada pengumuman besar. Hanya deretan truk militer dan bisikan bahwa para jenderal tidak lagi nyaman di kota lama.
Baca Ngayau (1)
Di antara spekulasi —dari posisi strategis militer, hingga kepercayaan astrologi— satu hal tampak pasti: ibu kota baru itu bukan dibangun dari harapan rakyat, tapi dari kegelisahan penguasa.
Jalan-jalan lebar membentang hingga delapan lajur. Bangunan megah berdiri, tetapi sepi.
Kota itu luas, namun kosong. Lebih mirip panggung raksasa daripada rumah manusia. Naypyidaw adalah contoh ketika negara menciptakan ruang tanpa mengundang kehidupan. Seperti patung yang dipahat dengan indah, tapi tanpa roh.
Kota yang gagal dicintai
Indonesia menamai ibu kota barunya “Nusantara”. Sebuah nama yang menggema dari masa lampau, dari catatan Hayam Wuruk dan lautan purba. Tapi tak semua yang lahir dari puisi akan menjelma jadi kenyataan.
Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan
IKN dibayangkan sebagai kota hijau, kota pintar, kota masa depan. Ia akan menampung ribuan aparatur sipil negara, menjadi pusat pemerintahan yang tidak lagi terbenam oleh beban Jakarta. Ada rencana, undang-undang, presentasi, dan infografik.
Jika IKN hanya jadi simbol kekuasaan, tanpa melibatkan masyarakat adat. Tanpa menjawab ketimpangan struktural di luar Jawa. Dan tanpa menjamin kehidupan yang layak maka kegagalannya hanya tinggal soal waktu.
Di balik semua itu, tanah-tanah adat dipetakan ulang. Masyarakat Dayak di Kalimantan Timur bertanya-tanya: Akankah kami jadi bagian dari masa depan ini, atau justru hanya jadi latar belakang pembangunan?
Perbandingan Naypyidaw (Myanmar) dan IKN
Aspek | Naypyidaw (Myanmar) | IKN Nusantara (Indonesia) |
---|---|---|
Waktu Pemindahan | 2005 | Mulai 2022, target operasional awal 2024-2025 |
Alasan Resmi | Tidak jelas, spekulatif (strategi militer, astrologi) | Mengurangi beban Jakarta, pemerataan pembangunan, keberlanjutan lingkungan |
Model Pengelolaan | Sentralistik oleh militer | Melalui UU IKN, ada Otorita IKN, semi-otonom |
Partisipasi Publik | Hampir tidak ada | Terbatas, banyak kritik karena kurang libatkan masyarakat lokal |
Daya Tarik dan Kehidupan Kota | Dijuluki “kota hantu” karena sepi, tidak alami | Dirancang sebagai kota pintar dan hijau, tapi belum teruji |
Kesiapan Infrastruktur | Jalan dan bangunan luas tapi tidak terpakai | Infrastruktur bertahap, masih dalam pembangunan |
Kesiapan Sosial | Minim fasilitas, pegawai enggan pindah | Ada potensi konflik lahan dan eksklusi masyarakat adat |
Hubungan dengan Masyarakat Lokal | Terpisah dari rakyat dan budaya lokal | Risiko marginalisasi masyarakat adat Dayak jika tak dilibatkan serius |
Letak Geografis | Di tengah Myanmar, daerah tandus dan panas | Kalimantan Timur, daerah subur dan relatif aman dari bencana |
Simbolisme | Simbol kekuasaan militer | Katanya Simbol transformasi dan modernitas Indonesia, meski lebih merecusuar serta ambisi pribadi. |
Risiko Gagal | Terwujud: kota besar tanpa kehidupan sosial | Masih ada celah potensi, bergantung pada pelibatan rakyat dan keberlanjutan proyek |
Tidak seperti Naypyidaw, IKN memang tak dibangun secara diam-diam. Tapi seperti Naypyidaw, ia rawan menjadi simbol yang dipahat terlalu tinggi, hingga tak bisa dijangkau oleh mereka yang seharusnya tinggal di dalamnya.
Dihitung dari batu dan beton
Sebuah ibu kota bukan hanya tempat berpindahnya kursi kekuasaan. Ia adalah ruang simbolik.
Tempat pertemuan antara sejarah dan masa depan. Namun bila ia lahir dari keputusan di ruang rapat yang jauh dari suara rakyat, kota itu bisa menjelma seperti Naypyidaw: megah, namun sepi. Terencana, tapi tanpa napas.
Baca Banjir, Jalan Rusak, Sembako Mahal: Derita Kalimantan yang Tak Pernah Sampai ke Telinga Jakarta
IKN berada di persimpangan itu. Sebuah simpang jalan sejarah, tempat arah tak lagi ditentukan oleh peta semata, tapi oleh kesadaran yang lebih dalam: apakah negeri ini ingin sekadar memindahkan batu, atau membentuk ulang fondasi keadilan?
Kota baru itu katanya menjanjikan Indonesia baru. Tetapi janji, sebagaimana dalam politik maupun puisi, tidak selalu berarti penggenapan. Kadang ia hanya gema dari kehendak semata, bukan suara yang lahir dari kenyataan.
Keadilan spasial bukan perkara memindah istana dari satu pulau ke pulau lain. Ia soal melihat yang selama ini tak terlihat, mendengar yang tak pernah sempat bersuara.
Apakah IKN akan menyapa hutan-hutan yang bisu karena ditebang? Apakah ia akan mendengarkan sungai yang menyempit karena ditambang?
Bila tidak, ia hanya akan jadi gema kota-kota lain: Jakarta yang ditegakkan di atas rawa, lalu ditinggalkan karena tenggelam oleh beban sendiri.
Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)
Tapi sejarah bukan hanya tentang niat yang luhur. Ia juga tentang bagaimana kekuasaan berjalan. Dan kekuasaan, sebagaimana air, cenderung mengalir ke tempat yang rendah—bukan untuk merendah, tapi untuk meluber. Maka pertanyaannya adalah: adakah tempat bagi suara lokal dalam alur besar ini? Adakah rumah bagi bahasa-bahasa ibu, adat-adat tua, dalam ruang rapat yang luas dan dingin itu?
Dan mungkin pertanyaan paling sunyi, tapi paling mendasar: apakah IKN diterima sebagai anak oleh ibu yang mengandungnya?
Kalimantan bukan lahan kosong. Ia tubuh dengan sejarah panjang, luka, dan pengharapan. Jika kota itu lahir tanpa peluk orang Dayak, Banjar, Kutai, Paser, dan semua yang menenun makna pulau ini—maka ia hanya akan jadi anak yang asing: tak dikenal, tak diakui. Seperti tamu yang membangun rumah, tapi lupa mengetuk pintu.
Akar IKN = masyarakat setempat
Kota, seperti manusia, butuh akar. Dan akar bukanlah infrastruktur. Ia tumbuh dari penerimaan, dari belarasa, dari keterhubungan. Jika tidak, IKN akan menjadi kota lain dalam daftar panjang modernitas yang pincang: megah di luar, hampa di dalam. Maka biarlah kota ini bertanya dulu kepada tanah, kepada angin, kepada para penjaga hutan—sebelum menancapkan tiang pertama. Sebab masa depan tak dibangun dengan tergesa, melainkan dengan mendengar.
Di masa depan, orang mungkin tak hanya bertanya di mana ibu kota berada. Tapi bagaimana kota itu hadir dalam hati warganya. Apakah ia tempat tinggal, atau hanya proyek?
Baca Krayan: Sebuah Sunyi yang Tak Didengar Negara
Karena pada akhirnya, kota yang gagal bukanlah kota yang tak selesai dibangun. Melainkan kota yang tak pernah benar-benar dicintai.
- Apai Deraman