Dayak Jangan Gigit Jari
Dayak jangan gigit jari menyaksikan kekayaan sumber daya alam (SDA)-nya dikeruk atas nama investasi dan pembangunan. Ilustrasi by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Amit-amit jabang bayi. Jangan sampai ini terjadi: Dayak gigit jari.
Ya, Dayak jangan gigit jari menyaksikan kekayaan sumber daya alam (SDA)-nya dikeruk atas nama investasi dan pembangunan. Sementara mereka sendiri, di tanah warisan leluhurnya, mengambil sebatang pohon dituduh: mencuri.
Sungguh ironis!
Dayak Jangan Gigit Jari
Namun, orang asingdan pendatang di Borneo menyebut perbuatan mereka: pembangunan.
Sepatah kata yang terdengar agung, berkibar di atas bendera negara, dicetak tebal dalam pidato-pidato, dan disematkan dalam berita-berita pagi yang mengabarkan datangnya alat berat ke pedalaman Kalimantan.
Baca Kapolda Dayak dan Ladang Dayak
Di layar televisi, kita melihat jalan dibuka, tanah diratakan, dan spanduk bertuliskan: “Investasi untuk Masa Depan.”
Tapi masa depan siapa?
Di pinggir hutan yang mulai botak, seorang lelaki tua Dayak menggigit jarinya. Bukan karena lapar, bukan pula karena marah. Tapi karena tak ada lagi yang bisa digenggam. Tanah leluhurnya, yang dulu ia tapaki dengan telanjang kaki, kini berparit-parit, dibelah mesin-mesin tambang. Sungai yang dahulu jernih, tempat ia mandi dan melarung sesaji, kini mengalir cokelat keruh, penuh bau minyak dan lumpur.
Orang menyebutnya: kemajuan. Tapi bagi lelaki itu, ini kehilangan.
Ia ingat, suatu kali ada seorang anak muda dari desanya yang menebang pohon—pohon yang tumbuh di wilayah adat mereka sendiri. Ia ditangkap. Dibilang mencuri. Pohon itu, katanya, milik negara. Tapi beberapa hari kemudian, ia melihat truk-truk perusahaan mengangkut kayu dalam jumlah jauh lebih besar, melewati pos keamanan tanpa gangguan. Mereka dibilang: pengusaha.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Ada ironi yang tak selesai di tanah ini. Bahwa bila perusahaan mengeruk emas dari perut Kalimantan, mereka disambut dengan karpet merah, dengan lisensi dan izin yang ditandatangani jauh di kota. Tapi bila seorang warga kampung menggali untuk hidup, ia dibilang: penjarah.
Bahwa tanah yang mereka injak selama ribuan tahun, di mana cerita, mitos, dan roh leluhur mereka tinggal, kini dijadikan kawasan industri. “Demi pembangunan,” kata mereka. Dan ketika masyarakat adat bersuara, mereka dituding: penghambat.
Saya kira, itu sebabnya lelaki tua itu menggigit jarinya. Bukan karena tak tahu melawan, tapi karena tahu: bahasa yang mereka pakai untuk menjajah kini lebih halus, lebih pintar. Mereka tak datang dengan senjata, tapi dengan dokumen legal dan undang-undang. Mereka tak merampas dengan kekerasan, tapi dengan istilah-istilah yang memabukkan: investasi, pertumbuhan, nasionalisme.
Baca Ngayau (1)
Dan mungkin yang paling menyakitkan: bahwa suara Dayak hari ini terdengar sumbang di negeri sendiri. Seolah-olah mereka yang perlu menjelaskan kenapa mereka ingin tinggal di tanah mereka. Seolah-olah mereka tamu di rumah sendiri.
Dayak jangan gigit jari.
Sebab tanah ini bukan milik kertas dan meterai. Ia milik cerita yang tak bisa dibeli: tentang hutan yang berbicara, sungai yang mendengar, dan tanah yang bukan hanya tempat berpijak—tapi bagian dari jiwa.
Advokasi itu pun: telah menghampiri Dayak
Di tengah hutan tropis Kalimantan yang lebat, suara mereka bergema lebih keras daripada gemuruh angin, lebih menggugah daripada deru mesin-mesin besar yang merusak alam. Ibu muda itu, yang selama ini hanya dikenal sebagai pengurus rumah tangga, kini berdiri di garis depan perlawanan, membawa semangat yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Baca Ngayau (6)
Ia bukan sekadar ibu, tetapi seorang pejuang. Ketika ia melihat hak-hak masyarakatnya diinjak-injak, ia tak ragu untuk berdiri dan berbicara, mengingatkan dunia bahwa Dayak adalah bangsa yang memiliki tanah, yang memiliki hak untuk hidup dalam damai di tanah leluhur mereka. “Kami tidak akan diam. Ini adalah tanah kami,” katanya dengan penuh keyakinan.
Semangat ini tidak hanya hadir dalam kata-kata. Ini adalah energi yang mengalir melalui tubuh setiap orang Dayak yang merasakan dampak dari perusakan hutan dan penggusuran tanah mereka. Ngayau, tradisi perlawanan yang telah lama mengakar dalam budaya Dayak, kini bangkit kembali. Ini bukan hanya tentang melawan penindasan, tetapi juga tentang mempertahankan eksistensi mereka, tentang memastikan bahwa sejarah dan identitas mereka tetap hidup di tengah arus perubahan yang cepat.
Dayak kini mengerti bahwa jika mereka tidak berdiri teguh, siapa lagi yang akan memperjuangkan warisan ini? Mereka tahu bahwa perlawanan bukanlah hal yang mudah, tetapi mereka siap, dengan semangat yang membara, untuk melangkah maju.
Tantangan tidak ringan
Dengan kecerdasan dan ketahanan yang telah diwariskan oleh nenek moyang, orang Dayak kini semakin paham betapa besar potensi mereka untuk mengambil kembali kendali atas tanah dan kekayaan alam mereka. Kecerdasan buatan (AI) yang kini menjadi alat yang tak terbantahkan dalam dunia modern, juga dapat digunakan untuk membantu mereka merumuskan strategi melawan kebijakan yang merugikan.
Dengan informasi yang lebih cepat, analisis yang lebih mendalam, dan kemampuan untuk menjangkau dunia luar, orang Dayak bisa lebih cerdas dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Baca Dayak yang Salah Satu Watak Dasarnya Mudah Percaya pada Orang
Tantangan terbesar bukanlah bagaimana orang Dayak harus pasrah dan menerima keadaan, tetapi bagaimana mereka memanfaatkan kekayaan intelektual dan budaya yang dimiliki untuk melawan sistem yang semakin tidak berpihak. Dulu, para leluhur Dayak mengandalkan senjata tradisional untuk mempertahankan tanah mereka, tetapi sekarang mereka dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat suara mereka. Tidak ada lagi alasan untuk diam.
Dengan semangat Ngayau yang mengalir dalam darah mereka, orang Dayak kini siap untuk melawan, tidak hanya dengan fisik, tetapi juga dengan kecerdasan, teknologi, dan solidaritas yang lebih luas.
Baca Peta Kolonial dan Peta Kapitalisme di Borneo
Kekayaan alam mereka harus dikelola untuk kesejahteraan bersama, bukan hanya untuk segelintir pihak yang datang dengan niat merusak dan mengeruk sumber daya tanpa meninggalkan manfaat bagi penduduk asli. AI bukanlah ancaman, melainkan sekutu yang bisa memperkuat daya juang mereka.
Kini Dayak tidak hanya melawan dengan mandau, tombak, dan sumpit; tetapi juga dengan data, pengetahuan, dan strategi yang lebih tajam.
Jangan biarkan kekayaan ini hilang begitu saja. Dayak wajib bangkit. Dengan polulasi sedunia tidak kurang dari 8 juta, Dayak dapat menentukan arah nasib mereka sendiri yang semakin baik, dan baik lagi. Bukan mundur, surut ke belakang. Bukan defisit, melainkan modalnya di lumbung terus bertambah-tambah.
-- Jelayan Kaki Kuta