Kapolda Dayak dan Ladang Dayak
Orang Dayak mahir membakar ladang tanpa merusak lingkungan dan lahan bukan-ladang. Dok. Eremespe.
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Tahun 2014 saya pernah diskusi panjang dengan Irjen (Pol. Purn.) Dinar. Terkait pemahamannya pada Ladang Dayak. Memang beda! Ada solusi jika orang kita pejabat di Kalimantan, ada pengertian, dan lebih lagi ada Solusinya. Ini penting.
Di Borneo, tanah yang sejak dulu menjadi rahim bagi peradaban ladang berpindah, ada narasi yang tak lekang oleh waktu.
Baca Dayak Membakar Ladang, Bukan Membakar Hutan
Narasi itu bercerita tentang bagaimana orang-orang di pulau ini menanam, membakar, dan memanen —sebuah siklus yang bukan sekadar teknik bertani, tetapi juga upacara, penghormatan, dan simbol kehidupan. Namun, ada saatnya tradisi harus bernegosiasi dengan zaman. Kapolda Dinar adalah bagian dari negosiasi itu.
Ketika menjadi Kapolda Kalimantan Tengah, Dinar mengumpulkan para petani tradisional Dayak.
Di hadapan mereka, dan disaksikan Gubernur, ia berkata, "Kalian boleh membakar ladang, tapi jangan ada asap! Jika sampai menimbulkan asap, saya tangkap!"
Baca Ladang Orang Dayak
Sebuah pernyataan yang terdengar paradoksal, tetapi dalam praktiknya, berhasil. Setelah pertemuan itu, kebakaran hutan di Kalimantan Tengah berkurang drastis. Tidak ada asap. Tidak ada bencana. Apakah ini hanya soal larangan? Tidak. Ini tentang pemahaman.
Dinar paham bahwa hukum yang hanya berbunyi di atas kertas tidak akan mampu menyentuh realitas masyarakat yang hidup dengan aturan dan tata cara mereka sendiri. Ia bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga memahami kebudayaan.
Dinar mengerti bahwa perintah tanpa pengertian hanya akan menjadi gema kosong di hutan tropis. Maka ia memilih pendekatan lain: menjadi bagian dari solusi.
Menjadi Kapolda di Tanah Leluhur
Menjadi pemimpin di tanah kelahiran bukan hanya soal otoritas, tetapi juga empati. Dinar memahami simbol-simbol yang tidak terucap, menangkap isyarat yang tak selalu tersampaikan dalam bahasa lisan.
Orang Dayak memiliki adat yang khas. Mereka tidak serta-merta menunjukkan penghormatan kepada pemimpin. Mereka tidak akan menyapa lebih dahulu jika tidak disapa. Mereka menghormati dengan cara yang berbeda.
Dinar mengujinya dalam sebuah perjalanan patroli dengan helikopter. Ia meminta rombongannya untuk tidak menyapa penduduk saat tiba di sebuah desa. Hasilnya? Warga hanya diam, tidak peduli, tidak bereaksi. Namun, ketika mereka kembali dan menyapa lebih dulu, situasi berubah. Orang-orang keluar rumah, mendekat, menjabat tangan, bahkan berkerumun hingga sulit dibubarkan. Sebuah pelajaran kecil tentang komunikasi dalam budaya Dayak: yang pertama menyapa adalah tanda hormat.
Membakar ladang tanpa asap
Padi bagi orang Dayak bukan sekadar komoditas. Ia adalah simbol kehidupan, bagian dari narasi panjang leluhur.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Dalam siklus perladangan, membakar ladang adalah bagian dari proses. Namun, seperti yang Dinar pahami, membakar ladang dahulu berbeda dengan sekarang. Dulu, lahan luas, komunitas bekerja bersama, dan api dikendalikan dengan cermat.
Kini lahan semakin sempit. Dan cara membakar sering dilakukan sembarangan, meninggalkan asap yang menyebar hingga ke negara tetangga.
Dinar, yang tumbuh dalam tradisi ini, tahu ada cara lain. Orang-orang tua dahulu, katanya, hanya membuka ladang satu hingga dua hektare. Mereka membakar dengan perhitungan matang, menjaga batas api, memastikan ia tidak merembet. Mereka membaca arah angin, memahami tekstur tanah. Mereka tidak pernah meninggalkan api tanpa penjagaan.
Maka, ketika ia berbicara kepada para petani, ia tidak melarang mereka membakar. Ia hanya meminta mereka kembali kepada cara yang dulu. Membakar dengan hati-hati. Tanpa asap. Tanpa bahaya. Sebuah solusi yang bukan datang dari atas, melainkan lahir dari akar—dari pemahaman terhadap tradisi yang sudah ada sebelum hukum tertulis hadir.
Dinar adalah bukti bahwa menjadi bagian dari suatu komunitas bukan hanya soal kelahiran, tetapi juga soal pemahaman. Bahwa hukum, jika tidak menyentuh akar budaya, hanya akan menjadi teks yang terasing di negeri sendiri.
Baca FILSAFAT DAYAK
Dan bahwa menjadi pemimpin bukan sekadar menjalankan perintah, tetapi juga memahami bahasa yang tidak selalu terucap, dalam diam yang penuh makna.
-- Masri Sareb Putra