Dayak Membakar Ladang, Bukan Membakar Hutan
Lihatlah ladang orang Dayak: Tidak ada api merembet membakar di luar lahan ladang. Sebab ketika membakar, dijaga dengan kearifan tradisional Dayak. Maka post-truth narasi yang dibangun: Dayak membakar hutan. Ngawur itu! Dok. Masri Sareb.
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Di Jawa. Gunung api meletus.
Lava mengalir. Menyapu desa-desa. Meruntuhkan rumah, membakar hutan.
Abu menutup langit. Membuat siang sepekat malam.
Orang-orang berlari, kehilangan. Mereka tahu, rumah yang hilang bisa dibangun lagi, sawah yang tertutup abu bisa kembali hijau.
Setelah bencana itu reda, tanah menjadi subur. Sawah hijau kembali, tanaman tumbuh dengan dahsyat.
Padi merunduk berat berisi, pohon-pohon berbuah lebat. Abu yang jatuh dari langit adalah berkah, meski datang dengan ketakutan.
Baca Ladang Orang Dayak
Tapi, siapa yang harus dituduh? Tuhan? Alam?
Atau kebetulan yang terlalu sempurna? Tidak ada yang protes. Tidak ada yang menggugat. Gunung api hanya menjalankan tugasnya: meletus, menghancurkan, lalu memberi kehidupan baru.
Di Kalimantan, gunung api tak ada. Tidak ada lava yang membakar, tidak ada lahar yang menggulung sawah, tidak ada abu vulkanik yang mengubah tanah tandus menjadi subur.
Kalimantan harus mencari jalannya sendiri. Tanah yang mereka pijak bukan warisan gunung api, melainkan hasil kerja tangan, cangkul, dan api yang dikendalikan.
Orang Dayak membakar ladang, bukan membakar hutan. Api dijaga, dikurung, dipastikan tak meluas. Dari abu yang tersisa, tanah yang tadinya miskin unsur hara menjadi kaya.
Sebuah siklus, warisan leluhur yang telah teruji berabad-abad. Menurut Mochtar Lubis (1980: 9), praktik peladangan sudah ada di bumi Borneo sejak 10.000 tahun yang lalu.
Maka adalah sumir, post truth, tuduhan keji pada Dayak sebagai merusak hutan yang menjadi napas hidup dan rumahnya sendiri. Suatu kesengaajaan yang pasti punya motif ekonomi, selain: poltik menguasai Dayak dan tanahnya.
Pembakaran ladang bukan sembarang api yang dilepas ke hutan. Ini bukan bara yang ditiup angin liar, bukan nyala yang dibiarkan menjalar liar. Ini ilmu. Ini kehati-hatian. Ini kepercayaan kepada kebijaksanaan alam, yang diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tapi dunia modern melihatnya lain. Mereka menyebutnya ancaman. Mereka menyebutnya kriminal.
Baca FILSAFAT DAYAK
Di Sintang, Kalimantan Barat, petugas menangkapi para peladang Dayak. (Nama-nama pelaku penangkapan itu tertulis abadi dalam sejarah Dayak).
Lalu menyeret mereka ke meja pengadilan. Tuduhan dilayangkan, berita disebar. Seolah-olah, para peladang adalah perusak hutan, pelaku kejahatan lingkungan, pengganggu keseimbangan ekosistem. Seakan mereka adalah orang asing yang baru saja datang dan tidak tahu cara hidup di tanah mereka sendiri.
Dayak marah. Ini bukan hanya soal ladang. Ini soal harga diri. Ini soal warisan nenek moyang yang dicabut paksa. Ini soal cara hidup yang dikriminalisasi.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Yakobus Kumis, angkat protes dan bicara. Ia pasang badan.
"Kami tidak terima peladang Dayak dikriminalisasi. Menangkap peladang Dayak dengan tuduhan kriminal, sama saja dengan menyalahkan adat dan budaya nenek moyang kami. Tidak ada kata lain, selain: lawan!" tegas Kumis, orasi, menyatakan pendapat.
Orang Dayak tahu bagaimana menjaga tanah mereka. Mereka tahu batas. Mereka tahu bahwa hutan adalah rumah, bahwa sungai adalah kehidupan, bahwa ladang adalah sumber penghidupan.
Dayak bukan membakar hutan, tidak menghanguskan lahan dan kebun orang lain. Mereka menjaga api agar tidak lepas dari kendali. Mereka tahu kapan angin datang, kapan hujan turun, kapan api harus dikendalikan. Ini bukan tindakan sembrono. Ini adalah kearifan.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Tapi dunia luar melihat asap, bukan tangan yang mengendalikannya. Dan dari kesalahpahaman itu, hukuman dijatuhkan.
Apa yang membedakan abu gunung api di Jawa dan abu dari ladang Dayak? Mengapa yang satu disebut anugerah, yang lain disebut kejahatan? Mengapa jika alam yang membakar, itu disebut siklus kehidupan, tetapi jika manusia yang melakukannya dengan ilmu dan aturan, itu disebut perbuatan terlarang?
Baca Ngayau (1)
Menuduh peladang Dayak sebagai kriminal adalah menuduh sejarah dan adatnya sebagai kesalahan. Tapi siapa yang lebih tahu tanah ini—mereka yang menumpahkan tinta di meja rapat atau mereka yang sejak lahir membaca angin dan api di ladang mereka sendiri?
Mungkin dunia hanya memilih untuk tidak melihat. Atau mungkin, mereka memang lebih suka melihat sesuatu terbakar—entah itu ladang, sejarah, atau kebenaran.
-- Masri Sareb Putra