Serba-Dayak

Dayak, Keling Kumang, Sintang, novel sejarah, RUAI-TV, Milton, gerakan, pemberdayaan, kerakyatan, ekonomi, finansial,

Apa pun kegiatannya, yang penting: serba-Dayak. Pembacaan puisi Dayak oleh Dayak pada HUT CUKK milik dan dikelola Dayak. Dayak hari ini membuktikan dirinya: serba-bisa. Dok. Munaldus.

🌍 DAYAK TODAY  |  SEKADAU: Di dunia yang bergerak cepat, ada yang tetap teguh dalam akar dan geraknya. 

Gerakan Keling Kumang adalah salah satu contoh. 

Kecil, sederhana, tetapi berdampak besar. Tidak melulu soal ekonomi, mereka juga menanamkan nilai literasi. Ada ulang tahun, ada baca puisi. Puisinya? Karya orang Dayak (Jaya Ramba dari Malaysia). Karena yang lebih penting dari sekadar perayaan adalah: menciptakan jejak bagi ingatan yang tak lekang waktu karena dicatat dalam lembaran sejarah. 

Baca Longhouse of the Dayak People: A Reflection of Living Values

Di balik tiap pertemuan, selalu ada sesuatu yang bertumbuh. Sebuah gagasan yang tidak hanya berhenti di atas panggung, tetapi berakar dalam kesadaran kolektif.

Saya teringat suatu waktu, di Sintang, 2015. 

Sebuah peluncuran buku yang tampaknya sederhana, tetapi bagi saya, itu adalah momentum besar. Novel sejarah Keling Kumang bukan hanya teks yang terbit, melainkan simbol dari keberdayaan. 

Di atas panggung, di hadapan mereka yang hadir. Saya berkata dengan penuh keyakinan, "Saya merasa bangga. Hari ini Dayak bisa lakukan apa saja yang bangsa lain —bahkan Barat sekalipun— bisa lakukan." 

Kalimat singkat itu bukan sekadar ungkapan kebanggaan, melainkan sebuah kesaksian akan perubahan yang nyata.

Lihatlah:

  1. Moderator diskusi dari TV Dayak, Ruai TV. Sebuah saluran yang tumbuh dari komunitas sendiri, menyuarakan berita dari dan untuk masyarakatnya.

  2. Narasumber, pakarnya, orang Dayak. Bukan lagi pihak luar yang berbicara tentang Dayak, melainkan orang Dayak sendiri yang memegang kendali atas wacana.

  3. Penulis buku, tentu saja, orang Dayak. Kita tidak lagi menunggu orang lain menuliskan kisah kita. Kini kita yang menulis, merekam, dan menyampaikan.

  4. Media yang meliput, orang Dayak. Narasi ini tidak hanya berhenti dalam satu ruang, tetapi disebarkan oleh tangan-tangan yang peduli pada warisan dan masa depan.

  5. Pastor yang memimpin doa dan makan bersama, orang Dayak. Tradisi spiritual tetap menjadi bagian dari perjalanan ini, merangkul semua dalam kebersamaan.

  6. Lembaga keuangan yang mendukung acara, Credit Union Keling Kumang, orang Dayak. Simbol kemandirian ekonomi, bahwa kita mampu membangun tanpa harus bergantung pada pihak luar.

  7. Bupati yang memberi sambutan, orang Dayak! (Milton pada ketika itu). Dari pemimpin formal hingga pemimpin komunitas, semua bergerak dalam satu visi: membangun dari dalam.

Lupung Coffee Sintang: Kopi, Ruang, dan Cerita di Kaki Bukit Kelam

Hari itu bukan sekadar hari peluncuran buku. Ia menjadi penanda bahwa Dayak telah menulis narasinya sendiri, berbicara dalam suara sendiri, berdiri di atas panggung sendiri. Tidak lagi hanya menjadi objek wacana orang lain, tetapi subjek dalam sejarahnya sendiri. Ini adalah manifestasi dari kesadaran kolektif bahwa Dayak bukan sekadar eksistensi yang diamati, melainkan entitas yang menentukan jalannya sendiri.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Gerakan ini, yang dimulai dari sesuatu yang kecil, telah menjadi gelombang. Keling Kumang membuktikan bahwa perubahan tidak selalu hadir dengan gemuruh. Kadang ia datang seperti gerimis di ladang—pelan, tetapi menghidupkan. 

Dan seperti ladang yang subur, ia terus ditumbuhi oleh mereka yang percaya bahwa setiap usaha kecil akan membawa perubahan besar.

Borneo telah menyaksikan banyak hal: peradaban yang berganti, tradisi yang bertahan, dan tantangan yang datang silih berganti. Tetapi satu hal yang pasti: Dayak bukan lagi cerita yang dituturkan oleh orang lain. 

Dayak adalah suara yang kini menggema dari tanahnya sendiri

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional

Dan saya percaya. Esok lusa, cerita ini akan terus tumbuh. Karena Dayak tidak lagi menunggu orang lain menuliskan kisah mereka.

Dayak menuliskannya sendiri. Dengan jemari tangan mereka. Dengan bahasa mereka.

Dengan kebanggaan yang tak tergoyahkan.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar