Ngayau (6)

Dayak, ngayau, tariu, ladang, kayu, hutan, leluhur, pembalak, korporasi, Mochtar Lubis, Borneo, Ketapang, Sintang, konsesi, VOC

Ngayau dalam ujud mempertahankan wilayah dan harga diri.
Ngayau adalah ekspresi mempertahankan wilayah dan harga diri.Ilustrasi by AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA : Di hutan yang kian menipis, di sungai yang tak lagi bening, di tanah yang telah diberi garis-garis konsesi, Dayak dipaksa diam. 

Orang Dayak yang sejak zaman "semula jadi" hidup dari alam, kini disebut perusak lingkungan. Mereka yang menjaga hutan dengan sumpah adat, kini dituding sebagai ancaman.

Baca Ngayau (5)

Di Sintang, sejumlah orang Dayak ditangkap petugas keamanan yang nota bene dari luar karena berladang di lahan miliknya sendiri. Mereka menangkap dan menyeret paksa para peladang Dayak itu ke kota dengan tuduhan merusak lingkungan.

Di Ketapang, lelaki Dayak diborgol karena menebang pohon untuk bahan bikin rumahnya sendiri. 

Sementara di tempat lain, tambang ilegal mengeruk emas, perusahaan sawit menebangi hutan, HPH mengangkut kayu ratusan tahun. Dan semua itu terjadi tanpa borgol, tanpa meja hijau.

Bahkan baru-baru ini, tersiar kabar: seorang pengusaha tambang emas ilegal, asing, datang, mengeruk, mencuri. Dari perut bumi Kalimantan, ia mengangkut kekayaan bernilai triliunan. Lalu, seakan hukum tak berkuku, ia dibebaskan. Seperti angin lewat, tak ada jejak. Yang tersisa hanyalah tanah yang koyak, sungai yang keruh, dan sebuah pertanyaan: siapa sesungguhnya yang berdaulat di negeri ini?

Hukum kita ternyata punya mata, tapi ia memilih apa yang ingin dilihat.

Orang Dayak belum bisa melawan. Belum! Tapi siapa percaya bahwa ini akan berlangsung selamanya?

Mereka yang membangun istana di atas tanah curian lupa bahwa tanah Borneo ini punya pemilik sejati. Tanah ini punya ingatan. Sungai yang mengalir membawa kisah leluhur. Angin yang berembus mengingatkan bahwa suatu saat Tariu akan kembali diserukan.

Dulu, Ngayau adalah perang dengan kehormatan. Tidak membunuh yang lemah. Tidak menebas tanpa aturan. Tidak menyerang tanpa alasan. Tapi bagaimana melawan jika hukum telah berubah menjadi alat penindasan? Jika yang merusak justru dilindungi, dan yang mempertahankan justru dihabisi?

Baca Ngayau (4)

Mungkin tidak hari ini. Mungkin belum esok. Tapi peperangan ini belum selesai. Throughout history, the Dayak may have lost battles, but never the war.

Ya, Dayak mungkin kalah dalam pertempuran, tapi tidak dalam perang.

Sejarah selalu berpihak pada yang bertahan paling lama.

Lihatlah kerajaan-kerajaan besar yang dulu angkuh, kini hanya nama di buku sejarah. Lihatlah pemodal raksasa yang mengira bisa membeli segalanya, tapi lupa bahwa tanah ini bukan sekadar angka di sertifikat.

Ingatlah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan pada 20 Maret 1602. Sebuah imperium dagang yang, dalam ilusi para pendirinya, akan bertahan selamanya. Kompeni yang angkuh, pongah, dan penjajah yang ditulis dalam sejarah Indonesia sebagai penguasa omnipotens; pada saatnya pupus dari Nusantara dengan sendirinya.

Baca 5 Sebab VOC Bubar

Tanah ini punya suara.

Dan suara itu akan bangkit. Sejarah akan mengulang peristiwa yang terekam bagai dalam pita suara dalam alam yang diam.

Sebab di dalam tanah yang diinjak dengan keserakahan, masih tertanam tulang-tulang leluhur yang tak bisa dibeli. Sungai-sungai yang dinodai merkuri masih mengalirkan sumpah lama yang belum terbalaskan.

Baca Ngayau (3)

Mereka yang merampas, menebang, membakar, mencemari tanah Dayak, tunggu saja hari itu tentu tiba.

Throughout history, the Dayak may have lost battles, but never the war. Hari ini Dayak terdiam. Tapi itu bukan kekalahan. Itu hanya bagian dari waktu yang belum tiba.

Sebab perang besar belum dimulai. Di zaman ketika hukum tunduk pada modal, kata Ngayau terdengar seperti mitos. Tapi ia bukan sekadar cerita. Ia adalah hukum perang yang adil. Ia adalah pertaruhan harga diri.

Seorang lelaki Dayak tidak akan menghunus mandau kepada yang lemah. Tidak kepada anak-anak, tidak kepada ibu yang mengandung. Tidak kepada mereka yang tak bersenjata. Ngayau punya hukum. Leluhur telah menetapkan batasnya.

Tapi hari ini, di tanah Borneo, siapa yang melindungi batas itu?

Di Sintang, peladang ditangkap petugas. Bukan karena membakar hutan, tetapi karena membakar ladangnya sendiri—sebuah praktik yang diwariskan turun-temurun. 

Mochtar Lubis, dalam Bangsa Indonesia (1980, hlm. 9), menulis bahwa berladang adalah tradisi yang dijalankan dengan penuh perhitungan. Sejak 10.000 tahun yang lalu praktik berladang itu telah diterapkan. 

Jadi berladang bukan teknik kultivasi orang Dayak dengan pola pembakaran membabi buta, bukan pengrusakan. Tapi di hadapan hukum yang dibuat di balik meja, mereka yang menjaga tradisi malah diperlakukan seperti kriminal.

Baca Ngayau (2)

Di Ketapang, lelaki Dayak ditangkap karena menebang pohon untuk membangun rumahnya sendiri. Mereka yang hanya mengambil secukupnya, yang hanya mengambil untuk bertahan hidup, diperlakukan lebih buruk dari perampok.

Sementara itu, HPH dengan alat beratnya dibiarkan masuk, menebangi kayu-kayu yang ratusan tahun telah tumbuh di tanah ini. Dibiarkan mengeruk, mengangkut, menjual ke luar negeri. Hutan yang dahulu dijaga dengan pantangan, kini habis tanpa hukum.

Tambang-tambang ilegal beroperasi di tanah Dayak. Emas diambil, sungai-sungai diracuni merkuri, tanah dijadikan lumpur. Tapi tak ada yang ditangkap. Tak ada yang diseret ke pengadilan.

Di mana keadilan?

Dulu, jika kehormatan dicederai, jika hak atas tanah ulayat terancam, orang Dayak menyerukan Tariu—memanggil leluhur untuk turun tangan. Bantuan dari dunia gaib pun datang.

Sekarang, kepada siapa harus meminta tolong?

Hukum tidak lagi adil. Perang yang dulu punya aturan, kini berubah menjadi perampasan tanpa batas. Jika dulu Ngayau adalah pertarungan antara prajurit yang setara, hari ini, Dayak tidak diberi kesempatan untuk bertarung. Tanahnya direbut, hutannya dibabat, sungainya diracuni, lalu mereka dipaksa diam.

Dan Tulah —kutukan bagi mereka yang melanggar pantangan itu —dulu adalah sesuatu yang tak terelakkan. Tapi hari ini, siapa yang akan menerima Tulah?

Tentu dia yang telah berkhianat pada kemanusiaan. Dan yang mengeruk hasil bumi dan alam Kalimantan tanpa batas.

Baca Ngayau (1)

Kita sudah melihatnya. Banjir besar datang tanpa permisi, menelan jalanan, merendam rumah-rumah, mengubah kota-kota menjadi lautan yang beraroma lumpur. Tanah longsor merobek perbukitan, menyeret desa-desa ke dalam kubangan, menghancurkan mimpi yang ditanam di ladang-ladang. Hujan turun sesuka hati, kadang tak datang berbulan-bulan, lalu tiba-tiba mencurah tanpa henti, seakan hendak mengguyur dosa-dosa yang terlanjur mengakar di bumi Borneo.

Dulu, Sungai Kapuas adalah cermin langit, jernih berkilau, membiaskan bayangan hutan lebat di tepinya. Kini, ia hanya membawa arus yang hitam pekat, berat oleh lumpur, limbah, dan racun. 

Sungai-sungai yang membelah pulau ini telah kehilangan nyawanya. Air yang menghidupi, kini menjadi ancaman yang mengintai. Merkuri mengalir bersama arus, meresap ke tanah, masuk ke tubuh-tubuh yang menggantungkan hidup pada sungai.

Dan kita? Masihkah kita berpura-pura buta? Masihkah kita berpaling, berkata bahwa ini bukan salah kita?

Borneo berteriak. Hutan-hutannya yang ditebang tanpa ampun telah kehilangan daya untuk menahan air. Tambang-tambang emas yang rakus mengeruk tanah, meninggalkan lubang-lubang menganga yang mengalirkan racun ke sungai. Sawit yang merajalela merampas akar-akar yang dulu menjaga keseimbangan.

Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah luka yang kita goreskan sendiri.

Sungguh, bumi dan alam Borneo dalam keadaan SOS.

Dulu, jika lawan menyerah, ia meletakkan tempayan siro’ somah—tanda bahwa perang harus dihentikan. Tapi hari ini, siapa yang akan meletakkan tempayan itu bagi Borneo?

Siapa yang akan berkata cukup?

Mungkin Tariu hari ini bukan seruan kepada dunia gaib, melainkan panggilan kepada mereka yang masih mencintai tanah ini. Kepada mereka yang masih percaya bahwa tanah tidak bisa dijual, bahwa hutan bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, bahwa sungai bukan tempat limbah dibuang.

Mungkin Ngayau hari ini tidak lagi menghunus mandau, tapi menghunus kesadaran. 

Bahwa keadilan harus diperjuangkan. 

Bahwa tanah warisan leluhur harus dipertahankan. Sebab jika tidak, bukan hanya hutan yang akan hilang. Yang lenyap adalah seluruh makna sebagai dan menjadi Dayak. (Bersambung)

-- Masri Sareb Putra, M.A.

LihatTutupKomentar