Ngayau (5)

Dayak, ngayau, mangkok merah, tariu, van Hulten, Nieuwenhuis, headhunter, jujur, mantra, pomorah doya, ladang, harga diri, trofi

Tahun 1894 Dayak sepakat menghentikan praktik Hakayau.
Suasana Pertemuan Tumbang Anoi, 1894, antara lain menyepakai menghentikan praktik Hakayau (pengayauan). Repro: Masri Sareb.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA :  Orang-orang menuliskan Ngayau dengan berbagai cara. Sejarah melihatnya sebagai jejak darah yang menempel di tebing waktu. Antropologi memahaminya sebagai ritus, mekanisme sosial yang lahir dari hukum tak tertulis. 


Bagi sebagian orang Dayak, pengayauan bukan sekadar cerita tua. Ia adalah warisan yang dulu menghidupi. Lalu disingkirkan. Dan kini hanya tersisa dalam kata-kata yang disusun kembali, dalam nada yang barangkali lebih lunak.

Baca Ngayau (4)

Pengayauan bisa defensif, bisa ofensif. Seperti segala sesuatu yang lahir dari pergolakan manusia, ia tak bisa ditakar dengan hitam putih.

Praktik ngayau tumbuh dari ketegangan. Dari batas-batas yang tak selalu jelas antara kehormatan dan keberanian, antara perlindungan dan agresi. Ada masa ketika batas sebuah wilayah tidak ditentukan oleh peta, tetapi oleh kepala-kepala yang dikumpulkan.

Baca Ngayau (3)

Namun, apakah seluruh orang Dayak menjalankan tradisi mengayau? 

Dari hasil kajian, ternyata: Tidak! Herman Josef van Hulten menulis dalam Hidupku di Antara Suku Daya (1992):

“Waktu itu (1956), Daya Iban masih terpencar-pencar dan dikenal sebagai pengayau ulung. Mereka tinggal di rumah panjang, dan hingga kini di serambi rumah itu masih tergantung tengkorak manusia, hasil mengayau.”

Sebuah serambi rumah panjang. Di sana, angin membawa bunyi kayu yang bergesekan. Di sana, tengkorak menggantung, bukan hanya sebagai trofi, tetapi juga sebagai penanda. Mereka yang pernah dikalahkan tidak hilang begitu saja—mereka tetap ada, diam, diayun perlahan oleh udara, seakan mendengar, seakan mengingatkan.

Baca Ngayau (2)

Tengkorak itu, di mata Nieuwenhuis, menjadi paradoks. 

Ia menulis bahwa Dayak Iban menggabungkan “kebiadaban” dengan “keramahan” yang berlebihan. Orang-orang yang bisa tertawa lepas di siang hari, yang bisa menyambut tamu dengan ramah, adalah orang yang di malam hari bisa mengangkat parang dan berjalan dalam senyap, mencari kepala manusia sebagai tanda keberanian.

Tetapi keberanian itu bukan sekadar keinginan untuk menumpahkan darah. Dalam tafsir Petebang (1998), pengayauan bukan tindakan sembrono. Ia adalah adat. Dan dalam adat, ada aturan yang harus ditaati. Darah tak boleh tumpah sembarangan. Jika seseorang melukai yang lain hingga darah mengalir, hukumannya berat. Ada keseimbangan yang harus dijaga, ada aturan yang mengikat semua orang dalam lingkaran tak kasatmata.

Di antara banyak suku, ada beberapa yang lebih sering disebut dalam sejarah pengayauan: Iban, Punan, Kayaan, Bukat, Taman Ambaloh di Kapuas Hulu. Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah. Sepanjang Sekayam, Jangkang di Sanggau. Sungkung, Banyuke, Kandayatn di Pontianak, Landak, dan Bengkayang (Petebang, 1998).

Nama-nama ini seperti suara yang berulang di antara pohon-pohon yang tinggi. Lambat laun membentuk resonansi. Semacam cadence — ritme alami yang muncul dari pilihan kata dan struktur kalimat ynng menggema di antara sungai yang mengalir tanpa henti. 

Maka setiap nama yang empunya kepala membawa kisahnya sendiri. Setiap suku memiliki caranya sendiri untuk menafsirkan keberanian, untuk mengingat para leluhur, untuk menjaga keseimbangan antara dunia yang terlihat dan yang tak terlihat.

Tetapi waktu tak pernah diam. Pada tahun 1894, di sebuah kampung kecil di pedalaman Borneo, sesuatu yang besar terjadi.

Tumbang Anoi. Di sana, para kepala suku berkumpul. Mereka datang dari berbagai penjuru. Mereka duduk dalam lingkaran, mendengar, berbicara, memperdebatkan masa depan. Keputusan akhirnya lahir: pengayauan harus dihentikan.

Tak ada lagi kepala manusia yang digantung di serambi rumah panjang. Tak ada lagi dendam yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Keputusan itu, barangkali, lahir dari kelelahan. Dari kesadaran bahwa darah yang tertumpah tak pernah benar-benar kering. Dari pemahaman bahwa kehormatan bisa dijaga dengan cara lain.

Namun, Tumbang Anoi sendiri perlahan memudar.

Kampung itu, yang dulu menjadi pusat keputusan besar, kini tak mudah ditemukan. Nama yang dulu disebut dengan tegas dalam pertemuan-pertemuan adat kini seperti gema yang samar. Mungkin ia masih ada, mungkin tidak. 

Di pedalaman sungai Kahayan, di antara hutan yang merapat dan jalan setapak yang jarang dilewati, mungkin ada seseorang yang masih bisa menunjukkan di mana dulu para kepala suku duduk bersama, di mana dulu keputusan itu diambil.

Ngayau (1)

Damang Batu, kepala adat yang mengambil inisiatif pertemuan, bukan hanya menyatakan kesiapan sebagai tuan rumah. Ia mengambil tanggung jawab. Ia, seorang dari hulu, berdiri di hadapan para pemimpin lain dan menyatakan: kita harus berubah.

Keputusan itu disetujui oleh Residen Banjarmasin. Sejarah mencatatnya sebagai momen penting. Tetapi sejarah juga memiliki cara untuk melupakan.

Kini, lebih dari satu abad berlalu.

Pengayauan tinggal dalam cerita. Di museum, dalam tulisan para peneliti, dalam fragmen-fragmen yang diucapkan oleh para tetua. Di beberapa rumah panjang, masih ada tengkorak yang menggantung—bukan sebagai ancaman, bukan sebagai kebanggaan, tetapi sebagai pengingat bahwa ada masa ketika semua ini berbeda.

Pertanyaannya: apakah warisan itu benar-benar hilang?

Ataukah ia hanya berubah bentuk?

Orang Dayak tak lagi mengayau dengan parang. Tetapi mungkin mereka masih bertarung—dengan cara lain. Dengan pena, dengan suara, dengan keberanian yang tak lagi diukur dari kepala manusia yang dibawa pulang, tetapi dari gagasan yang mereka sampaikan, dari tanah yang mereka pertahankan, dari identitas yang tak bisa dihapus begitu saja.

Dulu, batas wilayah dijaga dengan darah. Sekarang, batas itu dijaga dengan ingatan.

Dan ingatan, seperti sejarah, tak pernah benar-benar selesai. (Bersambung)

-- Masri Sareb Putra, M.A.

LihatTutupKomentar