Ngayau (4)
Tengkorak hasil kayau dahulu kala dipajang di beranda rumah sebagai trofi. Kredit gambar: Van Hulten, 1983. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA : Ngayau mengenal aneka puspa-ragamnya. Namun, esensinya sama. Di kalangan Ibanik, ada dua: kayau anak dan kayau besai.
Kayau anak adalah perang terbatas, sekadar balas dendam dalam lingkup keluarga. Tak melibatkan kampung, tak membangunkan seluruh komunitas. Hanya mereka yang bersangkutan yang bertikai, dan hanya mereka yang menyelesaikan.
Baca Ngayau (3)
Tapi kayau besai lain lagi. Ia perang besar. Ia panggilan untuk semua. Warga kampung bersiap. Klan menghadapi klan. Wilayah berhadap dengan wilayah. Dalam pusaran ini, ada dendam yang menumpuk, ada sejarah yang mengendap, ada ikatan yang dibangkitkan oleh satu kata: ngayau.
Di hampir setiap subsuku Dayak, ngayau tak pernah terjadi tanpa alasan yang kuat. Harus ada sebab yang masuk akal, yang bisa diterima secara kolektif. Tanpa itu, ngayau hanya menjadi kebrutalan yang tak punya tempat dalam hukum adat.
Jika seseorang —atau sekelompok orang— memprovokasi perang tanpa alasan yang sah, mereka bisa terkena sanksi berat. Hukum adat tak mentoleransi kebohongan, tak memberi ruang bagi manipulasi. Ada tanggung jawab besar di balik ajakan untuk ngayau, karena darah yang tumpah bukan sekadar darah individu, melainkan bagian dari keseimbangan semesta.
Lalu ada Mangkok Merah. Ia bukan sekadar benda. Ia adalah pesan. Ia seruan yang tak bisa diabaikan. Mangkok Merah adalah tanda bahaya. Mangkok Merah dapat dikatakan sebagai alarm bagi kampung-kampung. Isinya bukan sekadar simbol: mangkok berisi darah ayam, abu, daun kajangk, batang korek api, dan bulu ayam. Setiap unsur membawa makna. Darah ayam sebagai pengikat janji, abu melambangkan kehidupan yang bisa lenyap, daun kajangk sebagai pengingat akan hutan yang memberi perlindungan, batang korek api tanda kesiapan, dan bulu ayam sebagai simbol keberanian.
Baca Ngayau (2)
Mangkok Merah disampaikan dari tangan ke tangan, dari kampung ke kampung, tanpa boleh menginap. Ia harus terus bergerak, seperti pesan yang tak boleh terputus. Pembawanya tak hanya sekadar kurir, tetapi juga juru bicara. Ia harus menjelaskan maksudnya, memastikan bahwa mereka yang menerima paham akan isyarat itu. Tanpa pemahaman, Mangkok Merah kehilangan daya magisnya. Tanpa kejelasan, pesan ini bisa menimbulkan kegelisahan yang tak perlu.
Dalam hukum adat Dayak Jangkang, disebut jelas: Mangkok Merah tak boleh sembarangan diedarkan. Harus ada pertimbangan dari para tetua adat. Harus ada perhitungan yang matang. Sebab, jika alasan lemah, jika panggilan ini hanya lahir dari kepentingan pribadi atau amarah sesaat, maka ia akan menjadi bumerang. Orang yang mengedarkannya tanpa dasar yang sah bisa dijatuhi hukuman adat, disebut sebagai pelaku Pomomar Doya (Darah) yakni berbohong kepada publik, menciptakan kekacauan yang tidak perlu. Dan bagi masyarakat Dayak, kejujuran adalah fondasi yang tak boleh digoyahkan.
Saat Mangkok Merah sudah beredar, saat semua orang telah menerima panggilannya, maka tibalah saatnya upacara "tariu". Orang Bidayuh menyebutnya "nosu minu" yakni ritual menyerukan atau memanggil datang roh leluhur untuk membantu.
Upacara tariu atau nosu minu ini bukan sekadar seremoni. Ia adalah pemanggilan semangat. Ia adalah perwujudan keberanian.
Dalam pekik perang yang bergema, ada getaran yang membangkitkan. Mantra-mantra dilantunkan, ramuan-ramuan dicampurkan, mengisi udara dengan aroma yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Keberanian bukan hanya lahir dari hati, tetapi juga dari dunia yang tak kasatmata. Ngayau bukan sekadar perang fisik. Ia adalah perang spiritual. Dan ia, pada akhirnya, harus diselesaikan dengan kemenangan.
Tapi banyak yang keliru memahami ngayau.
Carl Bock, dalam catatannya tahun 1881, hanya menyebutnya sebagai ‘headhunting’. Reduksi yang sempit. Bias yang menyebar begitu luas. Sejak lama, kesadaran manusia dikonstruksi oleh media. Sebuah symbolic reality. Dan orang Dayak, yang tak menulis di masa lalu, tak memiliki alat untuk meluruskan itu. Maka citra mereka pun terbentuk oleh orang luar. Sebuah gambaran yang tak utuh. Sebuah narasi yang pincang.
Baca Ngayau (1)
Padahal ngayau bukan sekadar memenggal kepala. Ngayau adalah bagian dari sejarah yang lebih besar. Fridolin Ukur (1971) menyebutnya sebagai ‘pergi berperang’.
Di pustaka berbeda Lontaan menulis bahwa kayau berarti ‘musuh’.
Dan pada tahun 1894, di Tumbang Anoi, para pemimpin Dayak dari berbagai penjuru sepakat: ngayau harus diakhiri. Dari 22 Mei hingga 24 Juli, sebuah perundingan besar terjadi. Borneo Raya dipersatukan dalam keputusan itu. Sebuah babak baru dimulai.
Ada keyakinan bahwa kepala musuh bukan hanya trofi, melainkan bagian dari harmoni semesta. Di dalamnya terkandung makna spiritual: menambah daya rohaniah bagi pelaku, mengukuhkan ketahanan komunitas, serta menegaskan batas yang tidak boleh diterobos.
Tapi mengapa ngayau dilakukan? Apa yang mendorongnya? Setidaknya, ada lima motivasi yang bisa diidentifikasi:
Melindungi pertanian. Ladang adalah sumber kehidupan. Jika ia terancam, ngayau adalah jawabannya.
Menambah daya rohaniah. Ada keyakinan bahwa ngayau membawa energi baru bagi jiwa dan raga.
Balas dendam. Kehormatan keluarga tak bisa dibiarkan tercoreng begitu saja.
Kepala musuh, diyakini, memperkuat daya tahan sebuah bangunan. Kepala bukan sekadar trofi, tetapi bagian dari keseimbangan dunia.
Bertahan hidup. Ketika pilihan hanya ada dua: membunuh atau dibunuh, ngayau menjadi jalan satu-satunya.
Ngayau tak bisa dipisahkan dari keyakinan yang dianut oleh masyarakat Dayak. Mereka percaya bahwa mereka adalah keturunan makhluk langit. Bahwa mereka turun ke bumi bukan sebagai manusia biasa, tetapi sebagai yang paling mulia.
Maka Dayak sebagai pewaris Borneo yang berhak menjaga keseimbangan dunia. Mereka yang menjaga, mereka yang mempertahankan, mereka yang memastikan bahwa segala sesuatu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan dalam perjalanan sejarah yang panjang, ngayau bukan hanya soal perang. Ia adalah bagian dari narasi yang lebih besar. Ia adalah bagian dari kehidupan.
***
Ngayau dalam sejarahnya bukan sekadar ritual kekerasan. Ia lahir dari kebutuhan mendasar: menjaga kehidupan, kehormatan, dan keseimbangan. Ladang, sebagai sumber penghidupan utama, harus dilindungi dari ancaman.
Dalam dunia Dayak, tanah bukan hanya sepetak lahan, melainkan ruang hidup yang menyatu dengan kosmos. Mengayau, dalam konteksnya yang paling dalam, adalah tindakan menjaga keseimbangan, bukan sekadar aksi balas dendam.
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional
Ada keyakinan bahwa kepala musuh bukan hanya trofi, melainkan bagian dari harmoni semesta. Di dalamnya terkandung makna spiritual: menambah daya rohaniah bagi pelaku, mengukuhkan ketahanan komunitas, serta menegaskan batas yang tidak boleh diterobos.
Namun, sejarah bergerak. Kolonialisme dan modernitas menggeser nilai-nilai itu. Ngayau dilarang, dicap sebagai kebiadaban oleh kekuasaan yang tidak memahami konteksnya. Tapi, benarkah roh ngayau benar-benar sirna?
Kini ancaman datang dalam rupa yang berbeda. Bukan lagi serbuan musuh dengan tombak dan mandau, melainkan korporasi yang merampas tanah adat dengan dalih pembangunan.
Ladang-ladang yang dulu dijaga dengan darah kini dirampas dengan tanda tangan di atas kertas. Hutan-hutan dihancurkan, sungai dikotori, dan orang Dayak terusir dari tanah mereka sendiri. Kehormatan yang dulu dijaga dengan nyawa, kini diinjak tanpa perlawanan yang setimpal.
Di era digital ini, pertanyaan besar muncul: apakah spirit ngayau masih relevan?
Tentu bukan dalam bentuknya yang lama, tetapi dalam semangatnya—sebagai daya perlawanan. Jika dulu kepala musuh dijadikan simbol keseimbangan, kini pengetahuan, literasi, dan kesadaran hukum harus menjadi senjata utama.
Perjuangan kini bukan lagi dengan mandau terhunus, tetapi dengan advokasi, media, dan hukum.
Mengayau di era ini berarti: merawat ingatan, membangun kesadaran, dan menolak tunduk pada ketidakadilan.
Jika tanah dan hak-hak Dayak terus diinjak, lalu apa artinya hidup tanpa harga-diri, jika bukan melalui perlawanan?
***
Kepala hasil ngayau di masa lalu (seperti Pembaca saksikan dalam ilustrasi narasi ini) bukan sekadar trofi. Ia adalah simbol keberanian, perlindungan, dan keseimbangan.
Dipajang di bagian depan rumah, kepala itu menjadi penanda bahwa rumah ini, komunitas ini, dijaga dengan segenap nyawa. Ia bukan sekadar hiasan, tetapi peringatan bagi siapa pun yang berniat jahat: ada batas yang tidak boleh diterobos.
Kepala musuh yang terpajang mencerminkan kekuatan sebuah keluarga atau suku, sekaligus menjadi saksi bisu akan perjuangan mempertahankan tanah dan kehormatan.
Namun zaman berubah.
Tradisi memajang tengkorak sebagai trofi ini perlahan ditinggalkan, sebagian karena tekanan dari kekuasaan kolonial dan modernitas, sebagian lagi karena kesadaran bahwa cara bertahan hidup pun harus berevolusi.
Baca Damang Batu dengan Kaki Bertumpu pada Gong
Tetapi, meski kepala musuh tak lagi dipajang di beranda rumah, apakah esensinya benar-benar lenyap? Bukankah simbol keberanian itu masih dibutuhkan, terutama ketika tanah Dayak kini dirampas dengan dalih pembangunan?
Jika dulu kepala musuh adalah trofi yang mengukuhkan kedaulatan sebuah komunitas, kini trofi itu harus diwujudkan dalam bentuk lain: pengetahuan, kesadaran, dan perjuangan hukum.
Di era digital, kepala yang terpajang bukan lagi tengkorak musuh, melainkan gagasan-gagasan yang menggetarkan. Artikel, buku, video dokumenter, riset akademik, dan gerakan advokasi menjadi ‘kepala’ yang dipajang di ruang-ruang publik modern.
Jika di masa lalu ngayau dilakukan dengan mandau, hari ini perlawanan bisa dilakukan lewat data, hukum, dan kesadaran kolektif.
Mengapa demikian? Sebab yang dipertaruhkan tetap sama: tanah, kehormatan, dan keberlanjutan hidup orang Dayak di tanah mereka sendiri.
(Bersambung)
-- Masri Sareb Putra, M.A.