Ngayau (2)
Kepala hasil kayau di rumah orang Iban. Sumber gambar: Blair and Helmi
(1991: 122).
|
Baca Ngayau (1)
Bock dalam The Headhunters of Borneo (1881), seperti pelukis yang menggoreskan bayangan di atas kanvas, mencitrakan Dayak sebagai pengayau—pemburu kepala.
Imaji itu bertahan sekian abad lamanya. Lalu mengendap dalam ingatan kolektif. Ia menjelma menjadi stereotip yang sukar luruh.
Enam dekade kemudian Miller (1942) mempertebal bayangan itu melalui Black Borneo. Ia bukan sekadar mengisahkan perburuan kepala sebagai praktik barbar, tetapi sebagai sebuah ritus yang berkaitan dengan dunia supranatural.
Miller menulis bahwa kepala manusia bukan sekadar trofi, tetapi tempat bersemayamnya daya hidup.
Orang Dayak, katanya, "Percaya bahwa kekuatan itu bersarang dalam otak, dalam tulang, dalam urat yang menghubungkan dunia fisik dengan alam arwah" (hlm. 121).
Mengayau dalam narasi ini bukan hanya membunuh. Ia adalah proses transendental. Yakni pemindahan energi dari satu tubuh ke tubuh lain, dari satu jiwa ke jiwa yang lebih besar.
McKinley (1976: 95, 124) mencoba memahami ngayau melalui semiotika. Ia membaca perburuan kepala bukan sebagai tindakan kekerasan semata, tetapi sebagai bahasa.
Ada makna dalam setiap tarikan mandau, dalam setiap aliran darah, dalam tubuh yang kehilangan kepalanya. Ia adalah upacara yang diikat oleh tanda-tanda, oleh struktur yang lebih besar dari sekadar perang suku.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Freeman (1979: 234), yang meneliti ngayau di kalangan Iban, mencatat bahwa upacara ini mencapai puncaknya dalam ngelampang.
Kepala musuh tidak disimpan dalam bentuk utuh, tetapi dipotong-potong menjadi bagian kecil. Sebuah tindakan yang, bagi yang tak terbiasa, mungkin tampak brutal.
Tapi bagi orang Dayak, ada yang lebih dalam dari sekadar perbuatan itu sendiri. Ada sebuah ingatan purba, yang jauh lebih tua dari para pejuang itu sendiri.
Singalang Burong, dewa perang orang Dayak, dahulu melakukan hal yang sama. Sebongkah kepala. Yang dipecah menjadi serpihan kecil-kecil dipercaya mengandung benih kehidupan baru. Ketika ia ditaburkan, ia tak sekadar menjadi bagian dari tanah, tetapi menjelma menjadi sosok manusia yang baru. Di sini, kematian dan kelahiran bersinggungan.
Keyakinan ini tidak berhenti di satu wilayah. Ia bergerak, seperti sungai yang mengalir melintasi perbatasan.
Di Malaysia, Morrison (1957) mencatat bahwa kepercayaan serupa masih bertahan dalam upacara Begawai Kenyalang. Burung Enggang, yang dipandang sebagai manifestasi Sengalang Burong, menjadi pusat perayaan. Ia adalah simbol kemenangan, tetapi juga penghubung dengan dunia roh.
Dalam perayaan itu, di tengah denting gong dan gelombang tuak yang tak henti-hentinya dituangkan, mereka memahat patung Tenyalang.
Lalu di puncak upacara, patung itu ditegakkan di atas tiang tinggi. Di paruhnya ada selembar kulit babi segar digantungkan: sebuah persembahan bagi arwah para leluhur, bagi roh-roh yang masih berkeliaran di antara mereka (Morrison, hlm. 235).
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional
Namun sejarah bergerak. Waktu, seperti bilah mandau yang diasah berkali-kali, mengubah makna. Penghulu Ningkan, seorang pemimpin di Sarawak, menggelar upacara yang sama.
Tapi kali ini bukan untuk menyambut keberhasilan ngayau, melainkan merayakan panen yang melimpah dan kembalinya Sarawak Rangers dari perang melawan pemberontak komunis di Malaya. Ia tetap menegakkan patung Enggang, tetap menyusun pesta tiga hari, tetap menuangkan tuak dalam jumlah yang tak terhitung.
Apakah masih ada hubungan antara perayaan ini dengan Sengalang Burong?
Secara harfiah, mungkin tidak. Tapi dalam setiap tarian, dalam setiap tetes tuak yang menyentuh tanah, ada sesuatu yang tetap bertahan—ritme yang berulang, nyanyian yang menggema, ingatan yang tak pernah benar-benar hilang.
Baca Dinamika Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Dayak
Saya selalu percaya bahwa kata-kata punya tenaga. Barangkali karena itu, mantra tidak pernah sekadar bunyi—ia adalah upaya membentuk dunia. Dalam gelap yang menekan, dalam ketakutan yang belum punya nama, manusia mula-mula bersenandung, dan dari sana, suara menjelma daya.
Karena didorong oleh rsa penasaran, saya pernah menemui seorang profesor senior pakar psikologi Universitas Indonesia di kampus Depok tahun 1997, tak lama usai Tragedi Sambas yang mencekam. Ia seorang perempuan yang sudah masuk usia sepuh, yang dalam percakapan sehari-hari sering membiarkan jeda menggantung seperti meditasi yang belum selesai.
“Memang ada kaitan antara mantra, primitive songs (nyanyian primitif) dan kekuatan gaib,” katanya akhirnya. Seakan dacin yang menimbang apakah saya bisa menerima pernyataan itu tanpa skeptisisme.
Orang Dayak, sebelum ngayau atau turun ke medan perang, menggemakan dengan lantang pekik perang, tariu. Mereka tidak hanya mempersiapkan tubuh, tetapi juga merasuki diri dengan kekuatan yang tak kasatmata.
“Itu bagian dari memanggil kekuatan gaib,” ujar sang profesor, seakan dunia modern masih menyisakan ruang bagi yang tak terjelaskan.
Saya pulang dibekalinya dengan satu buku di tangan, Primitive Song karya C.M. Bowra, terbitan The New American Library tahun 1963.
Buku klasik dan mahapenting itu berbicara tentang nyanyian-nyanyian suku-suku kuno, termasuk Dayak, tentang bagaimana manusia pertama-tama bernyanyi sebelum mereka bisa menyusun kalimat dengan gramatika yang rapi.
Ada sesuatu yang lebih tua dari bahasa itu sendiri—sesuatu yang mengandung daya, semacam resonansi purba yang mengguncang, menggerakkan, membuat bulu kuduk berdiri.
Dari sana saya berpikir: mungkin, mantra adalah cara manusia meraba batas-batas dirinya sendiri. Ia bukan sekadar kata, tetapi getaran yang menghubungkan yang terlihat dan yang tersembunyi, yang fana dan yang kekal.
Dan barangkali, sebelum kita semua disibukkan oleh tanda baca dan sintaksis, kita telah lama tahu: dunia bisa diubah hanya dengan mengucapkannya.
Sebab sejarah seperti asap dupa dalam ritual. Ia tak lenyap begitu saja.
Historia berputar di udara. Ia mengendap dalam doa-doa yang tak terdengar.
Diam dalam ukiran kayu.
Dalam cerita yang terus dikisahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bersambung.
-- - Masri Sareb Putra, M.A.
Daftar Pustaka
- Bock, Carl. The Headhunters of Borneo. London: Sampson Low, Marston, Searle & Rivington, 1881.
- Bowra, C.M. Primitive Song. New York: The New American Library, 1963.
- Freeman, Derek. Iban Agriculture: A Report on Shifting Cultivation among the Iban of Sarawak. London: The Colonial Office, 1979.
- McKinley, Robert. “Human and Proud of It! A Structural Treatment of Headhunting Rites and the Social Definition of Enemies.” In Man, vol. 11, no. 1, 1976, pp. 95-124.
- Miller, Harry. Black Borneo. London: Victor Gollancz Ltd, 1942.
- Morrison, Hugh. The Hornbill and the Headhunters: Ritual and Symbolism in Borneo. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1957.