Ngayau (3)

Dayak, ngayau, Dayak, Iban, headhunter, George Windsor, McKinley, Miller, tariu, primitive songs, survive, mekanisme pertahanan diri, Bock

 

Ngayau bentuk mempertahankan diri dan klan di masa lampau.
Orang Dayak ngayau selincah berburu hewan di hutan. Model: Pagu Kalvin.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA : Di balik lebatnya rimba Borneo, di antara desir angin yang menyusup di sela dedaunan raksasa. Sebuah jejak sejarah terukir dalam darah dan legenda: Ngayau. 


Ngayau adalah sepatah kata lebih dari sekadar praktik kuno di masa lampau sejarah Dayak. Ia lebih dari bayangan kepala yang dipenggal dan dikalungkan. Kemudian digantungkan bagai piala depan rumah agar kelihatan sebagai pertanda dan tanda kemenangan.


Ngayau adalah bahasa yang tak diucapkan. Sebuah komunikasi yang tertanam dalam akar terdalam jiwa etnis Dayak. Praktik tradisi yang hanya bisa dipahami secara utuh-menyeluruh oleh mereka yang menghidupinya.


Dalam terang hermeneutika Hans-Georg Gadamer (1900–2002), ngayau bukan sekadar aksi, melainkan teks yang hidup. Sebagaimana dipaparkan dalam Wahrheit und Methode (1960), Gadamer menekankan bahwa pemahaman tidak terjadi dalam ruang hampa. 

Baca Ngayau (2)

Ia adalah hasil dari pengalaman yang diturunkan dari generasi ke generasi, yang terjalin dalam jaring tradisi. Kita tidak pernah sepenuhnya dapat melepaskan diri dari sejarah kita sendiri, kata Gadamer, karena kita adalah anak-anak tradisi yang melahirkan kita.

Hermeneutika dalam Ngayau

Jika hermeneutika, dalam esensinya, adalah seni sekaligus ilmu memahami, maka ngayau harus dibaca sebagai simbol yang lebih dalam dari sekadar kekerasan yang dikeankan orang luar Dayak. 

Tonton dan simak sampai habis Hermenutika Dayak:
Analisis Hermeneutika Dayak | Masri Sareb Putra & Albert Rufinus

Seperti dikemukakan Womack (2005), "Symbols are, above all, a means of communication." Dalam konteks ini, Ngayau adalah wicara dalam bentuk yang paling purba, ekspresi dari kehendak untuk bertahan dan mengukuhkan eksistensi. Ia adalah jawaban ketika bahasa lisan dan tulisan tak lagi cukup, ketika hukum dan diplomasi menjadi rapuh.

Namun, hanya mereka yang berasal dari tanah ini yang dapat menangkap makna sesungguhnya dari ngayau. Orang luar hanya dapat menafsir, tetapi tidak pernah benar-benar memahami. 

Ngayau bukan sekadar aksi, tetapi manifestasi dari keterikatan dengan leluhur, dengan alam, dengan roh penjaga. Para akademisi luar boleh menulis, tetapi hanya orang Dayak sendiri yang dapat menjelaskan ngayau dengan pemahaman yang berakar dalam.

Baca Ngayau (1)

Ada yang bertanya, mengapa setelah Perjanjian Tumbang Anoi (1894), yang digadang-gadang sebagai akhir dari headhunting, bayang-bayang ngayau masih muncul di beberapa sudut waktu dan tempat? Apakah ini sekadar keinginan akan darah, atau ada makna lain yang tersimpan dalam lingkaran hermeneutika Gadamerian?

Menurut Gadamer, pengalaman manusia adalah sebuah aliran yang tak pernah berhenti, selalu berubah, selalu mengundang pemaknaan ulang. Begitu pula dengan ngayau. Jika kita melangkah lebih jauh ke dalam pusaran sejarah, kita akan menemukan bahwa ngayau, dalam wajahnya yang terdahulu, adalah sebuah ritual yang disucikan, dipenuhi dengan tata cara yang tak hanya berurusan dengan fisik, tetapi juga dengan dunia yang tak kasat mata. Ia adalah penanda keseimbangan kosmos, sebuah simfoni antara dunia manusia dan dunia arwah.

Namun, ketika dunia berubah, makna ngayau pun ikut bergeser. Pascaperjanjian Tumbang Anoi, ngayau yang dulunya merupakan ekspresi kolektif berubah menjadi strategi pertahanan diri. Dalam pusaran kolonialisme, migrasi besar-besaran, dan modernisasi yang sering kali abai pada lokalitas, identitas Dayak menghadapi ancaman eksistensial. Ketika semua jalan telah tertutup, ketika hukum tak lagi berpihak, maka komunikasi kembali dilakukan dalam bahasa yang paling purba: kepala dipenggal, pesan dikirimkan.

Deetz (1976) dan Boldonova (2008) menegaskan bahwa hermeneutika tidak hanya berkutat pada teks yang terlihat, tetapi juga pada teks yang tak tertulis, pada makna yang tersembunyi di balik narasi. 

"The interlocutor calls the expectation of meaning a force-conception of completeness: this solves the problem of contradiction between something unknown and the familiar."

Dalam konteks ini, ngayau harus dipahami tidak hanya sebagai tindakan, tetapi sebagai bagian dari upaya kolektif untuk menjaga keteraturan dalam sistem sosial yang bergejolak.

Melampaui teks, memahami konteks

Sejarawan dan pelancong asing yang menuliskan kisah tentang Dayak sering kali menggambarkan ngayau dalam narasi yang menakutkan. 

Dari laporan-laporan kolonial abad ke-18 hingga catatan Richard Lloyd Parry dalam In The Time of Madness (2005), ngayau ditampilkan sebagai kegilaan tanpa makna. Namun, seperti dikatakan Cirino (1971), teks tidak pernah berdiri sendiri. Ia ada dalam koeksistensi dengan sejarah dan tradisi pada zamannya.

Di sinilah koreksi harus diberikan "dari dalam Dayak" kepada Richard Lloyd Parry. Sebab yang luput dari amatannya bukan sekadar detail, melainkan semesta makna. Bukan sekadar bagaimana sebuah peristiwa dituturkan, melainkan bagaimana ia diterjemahkan dalam cara berpikir seorang asing yang hanya menangkap apa yang gemuruh, yang berdarah, yang mengancam.

Harusnya judul bukunya bukan In The Time of Madness, melainkan: In The Time of The Dayaks Communicate When The Channel is Closed. Sebab ini bukan sekadar soal kekacauan dan sudut pandang orang luar —madness--  yang hanya menampakkan permukaan, tetapi sebuah komunikasi yang tak kasatmata, yang bergerak dalam ritme sendiri, di antara jeda yang dipahami mereka yang ada di dalam.

Karena orang Dayak tidak hanya berbicara dengan kata-kata, tetapi juga dengan diam. Tidak hanya dalam terang, tetapi juga dalam teduh. Dan di situlah, mungkin, Lloyd Parry gagal memahami: bahwa ada kalanya saluran tertutup bukan berarti pesan berhenti. Namun, lebih dari itu ia sedang mencari jalan lain untuk bisa sampai.

Dalam sejarah lisan Dayak, ngayau bukan hanya tentang kepala yang diambil, tetapi tentang kehormatan yang ditegakkan, tentang harmoni yang dikembalikan. Ia adalah bagian dari kosmologi yang lebih besar, di mana kehidupan dan kematian bukan sekadar fenomena biologis, melainkan bagian dari siklus yang harus dijaga keseimbangannya. 

Dalam pandangan ini, ngayau bukanlah kekerasan tanpa arah, tetapi sebuah pesan yang diukir dalam darah dan waktu.

Baca A Review of Ngayau: A Tapestry of Dayak Culture, Myth, and History

Maka untuk memahami ngayau, kita tidak bisa hanya membaca teks. Kita harus menyelami konteks, memahami bahwa dalam setiap aksi yang tampak kejam, terdapat sejarah panjang yang menyelimutinya, sebuah warisan pengalaman yang membentuk identitas kolektif.

 Gadamer mengajarkan kita bahwa pemahaman tidak pernah selesai, bahwa interpretasi selalu terbuka. Namun, hanya mereka yang hidup dalam tradisi ngayau yang dapat menjelaskan dengan kearifan yang diwarisi. 

Tidak cukup hanya membaca, meneliti, atau mengamati dari kejauhan. Karena ngayau bukan sekadar peristiwa, tetapi sebuah warisan spiritual yang hanya dapat dipahami oleh darah yang mengalir di tanah Borneo. --Bersambung

-- Masri Sareb Putra, M.A.

Daftar Pustaka

  • Boldonova, L. (2008). Hermeneutic Circle in Communication Studies.

  • Cirino, M. (1971). Media Bias and Interpretation.

  • Deetz, S. (1976). The Hidden Dimensions of Communication.

  • Gadamer, H.-G. (1960). Wahrheit und Methode [Truth and Method].

  • Parry, R. L. (2005). In The Time of Madness.

  • Womack, M. (2005). Symbols and Meaning in Communication.

LihatTutupKomentar